Ada betina terseduh di cangkir kopiku sore itu. Samar terlihat wajah terbungkus kulit kuning sederhana. Wajah yang tak secantik Irish Bella, tetapi mampu memutar balikkan duniaku. Dia berdiri, hanya berdiri. Sesekali bergerak menyibak rambut yang tak seberapa panjang. Gerakan itu meninggalkan aroma biskuit panggang yang menghampiri hidungku. Seketika dada ini serasa dihimpit berton-ton batu bata. Sesak.
Aku terpaku. Ingin menoleh ke arah sumber bayangan, kemudian berpikir jika kualihkan pandanganku, rupa jelita di cangkir bisa saja menghilang. Menit selanjutnya, kuberanikan diri menggerakkan kepala ke belakang. Seseorang yang bayangannya baru tercetak di cangkir, kini memenuhi mataku. Mulutku terbuka tertutup, ragu ingin menyapa.
"Kurasa kau lebih cantik tanpa ampas kopi yang mengelilingi." Kata-kata itu lolos begitu saja dari mulut sialku.
Kedua tanganku segera membungkamnya agar tak keceplosan lagi. Kegugupan ini membuat otak tak terkendali. Mata gadis itu melotot bingung, menimbulkan percikan-percikan listrik menyengat seluruh nadiku. Aku membayangkan sesuatu terjadi dalam tubuhku. Gumpalan darah yang menuju jantung bersenggolan satu sama lain, mendorong jantungku ingin meloncat keluar. Gaduh sekali.
Sejenak aku menoleh kaca pembatas untuk menata rupa. Bukan kalangan pria tampan memang, tapi cukup rapi. Kujamin aku takkan memalukan jika diajak kondangan.
"Maaf, aku tadi melihat bayanganmu dalam cangkir kopiku." Kuharap kalimat klarifikasiku dapat dia mengerti.
Jarinya menyibak poni sambil berkata, "Oh."
Oh, hanya oh. Tak ada yang lain. Aku menatapnya, menunggu sesuatu keluar dari bibir berlapis merah jambu -- entah merah jambu ataukah fuschia gadis-gadis itu menyebutnya, aku tak paham.
"Namaku Tawang," ujarku tiba-tiba.
"Terima kasih infonya."