Paruh kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak awal diwarnai pro dan kontra. Salah satu penyebabnya adalah terciumnya aroma oligarki. Yaitu bentuk kekuasaan politik yang secara efektif hanya dipegang elite terbatas. Siapakah mereka? Jelas pihak berkepentingan yang memberikan kontribusi dan suntikan mega dana bagi kemenangan penguasa dalam ajang pemilu ataupun masa sebelum itu.
Sejak susunan kabinet periode kedua diumumkan pada Oktober 2019, publik menyoroti sesosok menteri yang peranannya sangat dominan. Departemen yang dipimpinnya pun mengundang tanya. Bagaimana bisa bidang kelautan dipimpin oleh sosok yang sama dengan bidang investasi. Dan sosok ini ternyata adalah seorang pengusaha besar yang sukses. Kekhawatiran publik pun mulai memuncak ketika terjadi konflik kepentingan antara tugas kenegaraan dan penggunaan fasilitas jabatan bagi kepentingan usahanya.
Aroma oligarki ini makin menyengat ketika Presiden Joko Widodo memperkenalkan tujuh orang dari kalangan milenial sebagai staf khususnya di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (21/11/2019). Perkenalan tujuh staf khusus yang merupakan bagian dari 13 staf khusus Presiden tersebut nantinya akan bertugas membantu kerja-kerja kepala negara. Jokowi berharap keberadaan para milenial di jajaran staf khusus dapat memberi masukan segar demi kemajuan bangsa dan negara. Karena ketujuh staf khusus tersebut memiliki prestasi di bidangnya masing-masing dan juga mempunyai latar belakang pendidikan lulusan universitas ternama, baik di dalam maupun di luar negeri. (www.kompas.com/22/11/2019).
Langkah Jokowi memilih tujuh staf khususnya dari kalangan milenial menuai polemik di kalangan elit politik dan masyarakat. Selain tupoksi yang belum definitif, seperti yang disampaikan oleh Jokowi bahwa staf khusus tidak ada kewajiban mereka bekerja secara penuh dan tidak harus berkantor di Istana setiap hari. Mereka juga merupakan pengusaha muda yang memimpin perusahaan masing-masing.
Ironisnya, ketujuh staf khusus ini mendapatkan gaji yang sangat fantastis, yaitu sekitar Rp 51 juta perbulan. Luar biasa.
===
Yang tak kalah menyita perhatian publik adalah polemik kartu Pra Kerja yang digagas sebagai program pengembangan kompetensi kerja di bawah naungan Kemenko Bidang Perekonomian. Anggaran proyek senilai Rp 20 triliun itu berupa pelatihan online. Program kartu Pra Kerja ini telah menguras anggaran hingga Rp 5,6 triliun. Apalagi Skill Academy --unit usaha Ruangguru, perusahaan penyedia layanan pendidikan berbasis teknologi terbesar di Asia Tenggara- ditunjuk sebagai salah satu mitra resmi kartu Pra Kerja. Padahal salah satu pendiri perusahaan itu adalah Adamas Belva Syah Devara yang tak lain Staf Khusus Presiden.
Kritik pun kembali mengalir, seperti disampaikan politikus Partai Demokrat Rachland Nashidik yang menilai pemerintah tidak transparan dalam menentukan delapan startup yang menjadi mitra program kartu Pra Kerja dan membuka kesempatan korupsi.
Publik menjadi bingung. Sebetulnya program kartu Pra Kerja ini sasarannya untuk siapa? Membantu rakyat yang belum bekerja, ataukah bentuk akal-akalan untuk 'menggemukkan' perusahaan unicorn. Yang lebih aneh lagi, stafsus yang terlibat unicorn kartu Pra Kerja mendadak mengundurkan diri sebagai stafsus. Namun perusahaan unicornnya tetap mendapat bagian proyek. Sungguh naif dan menggelikan.
===
Melihat berbagai fakta ini, para elit politik yang mewakili publik mulai mengkritisi dan berteriak lantang. Peran sosok menteri yang super dominan mulai disorot dengan mengkritisi kinerjanya. Begitupun kinerja dari staf khusus milenial yang sampai detik ini tak kunjung nampak. Mereka digaji begitu besar dari uang rakyat tapi kinerjanya meragukan. Berbagai kritikan menyeruak bersamaan dengan mewabahnya Covid-19. Serangkaian kebijakan Presiden Jokowi tampak nyata, makin menguatkan politik oligarki dalam pemerintahannya.