Belakangan ini tengah terjadi hiruk pikuk perbincangan mengenai sebuah kampus yang dikenal dengan istilah “Kampus Kerakyatan”. Bukan tanpa alasan, namun hal itu terjadi menyusul keresahan yang dirasakan oleh para mahasiswanya terkait beberapa kebijakan baru, seperti biaya pendidikan yang semakin meningkat, dihapuskannya anggaran beasiswa Bantuan Biaya Pendidikan Peningkatan Prestasi Akademik (BBP PPA), direlokasikannya kantin Bonbin yang cukup legendaris, dan lain sebagainya.
Meningkatnya biaya UKT (Uang Kuliah Tunggal) dianggap oleh mahasiswa tidak relevan, mengingat masih adanya pemungutan biaya yang lain diluar UKT, diabaikannya aspek lain dalam menggolongkan biaya UKT di luar penghasilan kotor orang tua, seperti berapa jumlah tanggungan dalam keluarga, dan lain sebagainya. Seolah tidak cukup sampai di situ, mahasiswa semakin dikejutkan dengan kebijakan penghapusan anggaran beasiswa BBP dan PPA tahun ini. Kedua beasiswa yang tadinya merupakan angin segar ditengah “mencekiknya” biaya UKT, kini justru ditiadakan.
Hal tersebut yang membuat mahasiswa semakin gelisah dan mempertanyakan, “di mana titel kerakyatan yang selama ini digaungkan?"
Bukan mahasiswa kalau hanya diam saja tanpa menyampaikan aspirasi mereka, terutama ketika kegelisahan tengah melanda. Dengan berbagai permasalahan yang terjadi, ketika negosiasi maupun audiensi yang terlaksana tak kunjung berbuah manis, maka muncul lah sebuah gagasan dari mahasiswa untuk mengadakan aksi pesta rakyat guna mengekspresikan segala keresahan dan kepedulian mereka terhadap peliknya isu yang terjadi di dalam kampus.
Pesta Rakyat Hanyalah Simulasi
Amarah mahasiswa semakin dipicu ketika pada hari Minggu (1/5/2016), Ibu Rektor Dwikorita Karnawati dalam siaran langsung acara talkshow yang diadakan oleh satu radio di Yogyakarta mengungkapkan statement mengejutkan, bahwa aksi pesta rakyat tersebut merupakan simulasi geladi demonstrasi yang difasilitasi oleh UGM. Hal tersebut menjadi sarana bagi mahasiswa untuk melatih kepekaan mereka akan isu yang sedang terjadi di kampus.
“Aksi tersebut merupakan praktikum lapangan bagi mahasiswa untuk berlatih mengemukakan pendapatnya” tuturnya.
Pendapat tersebut langsung menuai protes dari mahasiswa. Sekumpulan mahasiswa pun berbondong-bondong menyambangi kantor radio tersebut untuk melakukan klarifikasi. Mereka menyatakan bahwa pesta rakyat yang akan mereka adakan bukanlah simulasi seperti yang dikatakan oleh Dwikorita, melainkan murni berdasarkan inisiatif mahasiswa yang berlandaskan kepedulian mereka akan kondisi kampus saat ini.
Undangan untuk Pesta Rakyat Gadjah Mada
Pesta Rakyat Gadjah Mada #bUKTicinta
Kegiatan yang bertajuk “Pesta Rakyat Gadjah Mada” diselenggarakan pada 2 Mei 2016, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Acara tersebut dapat dikatakan sebagai demonstrasi besar-besaran karena tidak hanya melibatkan ribuan mahasiswa secara keseluruhan, melainkan juga beberapa tenaga pendidik, serta pihak-pihak lain yang turut terlibat dalam merasakan dampak dari kebijakan yang ada.
“2 Mei 2016 bukanlah sebuah perang, melainkan ekspresi serta bukti cinta kita terhadap kampus. Jika negosiasi telah gagal total, maka massa aksi yang kreatif dan tidak anarkis adalah jawabannya,” ungkap seorang mahasiswa yang turut meramaikan pesta rakyat tersebut.
Lautan mahasiswa UGM kini tengah menyatakan cintanya. Berbagai nyanyian yel-yel serta panggilan agar ibu rektor mau menemui mereka pun dikumandangkan di halaman Balairung. Namun, sang rektor yang menjadi objek pernyataan cinta mereka belum juga terlihat mau menemui mereka. Bahkan, sang ibunda tercinta masih menganggap bahwa aksi tersebut adalah sebuah simulasi.
Jadi, harus menanti berapa purnama agar rektor mau menemui mahasiswanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H