Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Bersinergi Menghadapi Ancaman Konflik Laut Cina Selatan

30 Mei 2024   22:51 Diperbarui: 31 Mei 2024   00:13 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: tangkapan layar dari webinar ISDS

"Penarikan garis apa pun, klaim apa pun yang dilakukan harus sesuai dengan UNCLOS 1982."

Demikian respons tegas Retno Marsudi (Menteri Luar Negeri Republik Indonesia) ketika China merilis Peta Standar China edisi 2023 pada 28 Agustus 2023 lalu.

Kehadiran peta tersebut tentu bukan saja menjadi sorotan Indonesia, tetapi juga beberapa negara lain yang merasa dirugikan.

Pasalnya, pada peta baru tersebut memperlihatkan garis putus-putus berbentuk huruf "U" yang menutupi sekitar 90 persen Laut China Selatan (LCS).

Mau tahu wilayah mana saja yang diklaim masuk pada Peta Standar China edisi 2023 tersebut? Berikut adalah wilayah yang dimaksudkan.

Arunachal Pradesh (India), dataran tinggi Aksai Chin (India), Taiwan, wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, Brunei, Filipina, Indonesia, dan Vietnam.

Sumber gambar: tangkapan layar dari youtube Kompas.com
Sumber gambar: tangkapan layar dari youtube Kompas.com

Protes terhadap peta baru tersebut, tentu bukan tanpa alasan. Peta yang baru dirilis tersebut ternyata berbeda sekali dengan ketentuan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1982 tentang Hukum Laut atau yang dikenal dengan "United Nation Convention of Law of The Sea" (UNCLOS).

Kalau semula area tersebut dibatasi oleh "nine-dash line" atau sembilan garis putus-putus, kini area tersebut meluas menjadi "ten-dash line" atau sepuluh garis putus-putus.

Nah, kalau ditanya kapan sesungguhnya permasalahan LCS ini dimulai?

Tentu bukan hal baru. Bahkan dari berbagai sumber menyampaikan bahwa konflik LCS ini telah mencuat sejak 1970-an.

Hanya Indonesia mulai terlibat dengan sengketa LCS ini yakni sejak 2010. Tepatnya ketika China melakukan klaim terhadap ZEE Indonesia di bagian utara Kepulauan Natuna.

Kemudian berlanjut ketika kapal penangkap ikan asal China melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna pada tahun 2016. Hingga sekarang, sengketa itu masih terus berlanjut.

Sebagai negara berdaulat, permasalahan ini tentu tidak boleh didiamkan begitu saja. Jika tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin akan menjadi ancaman besar terhadap kedaulatan negara kita ke depannya.

Selain itu, akan menimbulkan keraguan dan ketakutan bagi masyarakat yang melakukan aktivitas di wilayah sengketa tersebut, yang walaupun itu sangat nyata adalah bagian dari wilayah kita.

Pertanyaannya, apa yang bisa kita lakukan untuk mengantisipasi ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, baik itu di masa sekarang atau di masa mendatang.

Menurut hemat saya, ada satu kata yang bisa kita lakukan bersama, yakni sinergi. Semua anak bangsa harus memiliki kesepakatan, bahwa pertahanan negara bukan saja urusan tentara, tetapi juga masyarakat sipil.

Bukankah hal itu jelas termaktub dalam Pasal 30 ayat 1 UUD 1945? Bahwa, "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara."

Bahkan di ayat berikutnya  (Pasal 30 ayat 2) disampaikan kalau rakyat itu dalam hal pertahanan negara adalah kekuatan pendukung.

Selain di dalam UUD 1945 itu, kita juga bisa menemukannya pada Undang - Undang No.3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara.

Kontribusi Pelajar dalam Mendukung Pertahanan dan Kedaulatan Bangsa

Nah, kalau bicara tentang pernyataan "Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara," maka sesungguhnya pelajar juga sejatinya memiliki andil dalam mendukung pertahanan dan kedaulatan bangsa.

Sebagai seorang guru, saya pernah mengajak pelajar untuk mendiskusikan tentang kontribusi pelajar dalam mendukung pertahanan dan kedaulatan negara. Kemudian mempersilahkan mereka memaparkan hasil diskusi kelompok di depan kelas.

Ada kelompok yang menjawab begini.

"Bahwa pelajar harus sungguh-sungguh mengerti sejarah bangsa. Kita tahu sendiri, bahwa di dalam catatan sejarah bangsa, ada banyak upaya mempertahankan kedaulatan bangsa. Setidaknya melalui pelajaran sejarah tersebut, pelajar dapat menemukan berbagai gagasan, inspirasi dan keteladanan untuk berkontribusi mendukung pertahanan dan kedaulatan bangsa."

Saya pun mengapresiasi hal tersebut, sekaligus menyampaikan pesan Bung Karno yang mengingatkan kita agar tidak melupakan sejarah. Pernyataan Bung Karno tersebut tentu sudah sering kita dengar dengan sebutan  "Jasmerah", jangan sekali-kali melupakan sejarah.

Kelompok berikutnya pun tidak mau kalah dengan kelompok sebelumnya.

Mereka menyampaikan, "Pelajar harus banyak belajar tentang materi ilmu hukum internasional dan hubungan internasional. Dengan penguasaan terhadap ilmu tersebut, tentu menjadi kekuatan untuk memahami  tentang cara mengatur hubungan antar bangsa atau negara, serta melakukan praktik diplomasi untuk kepentingan bangsa di masa mendatang."

Ternyata ada juga yang tidak kalah menarik. Kelompok yang satu ini mengatakan bahwa, "penting sekali belajar banyak hal dari para diplomat ulung Indonesia, seperti Juanda."

Barangkali rekan pembaca pernah mendengar nama tersebut. Beliau adalah sosok yang memperjuangkan wilayah laut Indonesia melalui sebuah deklarasi. Deklarasi tersebut sangat terkenal dengan sebutan Deklarasi Juanda.

Perlu kita ingat kembali, bahwa Deklarasi Juanda tersebut merupakan salah satu bentuk nyata perjuangan anak bangsa berhubungan dengan batas wilayah laut Indonesia.

Melalui Deklarasi Juanda, bangsa kita hendak menyampaikan kepada dunia tentang keberadaan laut Indonesia. Bahwa wilayah laut Indonesia itu termasuk "laut sekitar", "di antara" dan "di dalam" kepulauan Indonesia. Hal itulah yang menjadikan Indonesia satu kesatuan wilayah di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Luar biasanya, Deklarasi Juanda itu pun akhirnya menghasilkan buah yang manis. Bangsa kita akhirnya berhasil memperluas wilayah laut teritorial dan disusul kemudian dengan ZEE.

Tentu kita bisa bayangkan kalau wilayah laut teritorial itu tidak diperjuangkan. Wilayah laut Indonesia itu, hanyalah tiga mil yang diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Hal itu sesuai dengan ordonansi yang dibuat zaman Belanda (1939) yakni "Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie."

Dengan kesuksesan Deklarasi Juanda, maka Indonesia sangat diuntungkan. Selain wilayah laut kita yang berubah dari 3 mil menjadi 12 mil yang diukur dari garis dasar ke arah laut lepas, juga berdampak pada pertambahan jumlah pulau di Indonesia.

Semangat Sinergi, Semangat Mempertahankan Kedaulatan Masa Kini

Mengingat perjuangan Deklarasi Juanda itu merupakan semangat untuk menguatkan kedaulatan negara dan integrasi bangsa, sudah selayaknya hal ini menjadi inspirasi bagi kita dalam menjalankan ketahanan untuk menghadapi berbagai ancaman. Dalam hal ini termasuk ancaman konflik LCS.

Bahkan semangat untuk menguatkan kedaulatan negara dan integrasi bangsa ini sejatinya harus terjadi sinergi. Baik sinergi militer dan masyarakat sipil, sinergi Indonesia dan negara lain.

Terhadap ancaman konflik LCS, saya pun sangat tertarik dengan yang disampaikan oleh Laksdya TNI Dr. Irvansyah, S.H., M.Tr.Opsla., selaku Kepala Bakamla RI pada sebuah kesempatan webinar yang diselenggarakan Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS).

Masalah pertahanan di Laut China Selatan tidak serta merta mengedepankan TNI, karena yang kita hadapi ini lebih banyak kapal-kapal sipil. Beliau pun berpandangan, apabila yang dimajukan militer itu cenderung menimbulkan "tensinya" naik.

Lantas sebagai bagian dari Badan Kemanan Laut (Bakamla), beliau juga berpendapat bahwa yang harus diperkuat itu adalah "coast guard", bahkan para "coast guard" yang ada di sekitar ASEAN perlu diperkuat dan dipererat kerja samanya. Sehingga yang tercipta itu adalah tertib sipil, bukan darurat militer.

Nah, untuk solidaritas "coast guard" ASEAN itu sendiri sesungguhnya sudah ada forum yang menaunginya seperti "ASEAN Coast Guard Forum". Forum seperti ini tentu diharapkan menjadi ajang diskusi dan bertukar informasi terkait upaya untuk menjaga keamanan dan keselamatan laut di kawasan Asia Tenggara khususnya.

Ternyata pendapat yang disampaikan oleh Laksdya TNI Dr. Irvansyah, senada dengan hasil survei kerja sama antara Indonesia Strategic and Defence Studies (ISDS) dengan Litbang Kompas tentang potensi ancaman kedaulatan di Laut Natura Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.

Sumber gambar: tangkapan layar dari webinar ISDS
Sumber gambar: tangkapan layar dari webinar ISDS

Adapun survei tersebut diadakan untuk mengukur persepsi masyarakat tentang kedaulatan di Laut China Selatan.

Salah satu item survei tersebut yakni mengukur persepsi terhadap kehadiran China di Laut China Selatan. Pada item ini, ternyata diperoleh data 78.9 persen yang menyatakan bahwa kehadiran China di Laut Cina Selatan adalah ancaman bagi negara-negara ASEAN. Sementara 73,1 persen menyatakan sebagai ancaman bagi Indonesia.

Pada item berikutnya, tentang mitra yang tepat untuk memperkuat kedaulatan Indonesia di wilayah Laut China Selatan adalah ASEAN. Anggapan bahwa mitra yang tepat adalah ASEAN berada pada angka 39,1 persen.

Sementara yang dianggap sebagai negara ASEAN yang paling tepat bermitra dengan Indonesia adalah negara Malaysia, yakni berada pada angka 49,5 persen. Kemudian disusul dengan Singapura dan Filipina, masing-masing pada angka 15,8 persen dan 12,7 persen.

Kesimpulan

Menyikapi ancaman konflik Laut China Selatan, tentu membutuhkan berbagai strategi. Mengingat bahwa klaim sepihak yang dilakukan China berdampak pada banyak negara, maka ini dapat berubah  menjadi sebuah kekuatan bersama.

Karena itu, solusi dan strategi yang tepat bagi pihak yang dirugikan adalah membangun sinergi. Kerja sama dan solidaritas harus dipikirkan lebih matang demi kekuatan untuk menyikapi berbagai ancaman konflik yang mungkin semakin besar.

Bagi bangsa Indonesia sendiri, kita juga harus bersinergi dengan semua elemen anak bangsa. Ada pepatah yang berkata "bersatu kita teguh bercerai kita runtuh". Persatuan bangsa hendaknya dikedepankan, sehingga kita kuat menghadapi berbagai ancaman baik itu dari dalam dan dari luar demi kedaulatan bangsa.

Selain itu, belajar dari sejarah akan membantu kita untuk melihat sosok nasionalis dan patriotik yang rela berkorban demi bangsa dan negara. Semangat itu pula yang membuat kita tetap mementingkan kepentingan bangsa daripada kepentingan diri sendiri. (TS)

* Rangkuman tulisan ini, bisa juga dibaca di "Threats IG"

___________

Sumber Referensi:

youtube kompas.com -- bnpp.go.id -- jurnal.dpr.go.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun