Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Anak Kecil Itu, Pejuang Lingkungan

31 Agustus 2023   21:39 Diperbarui: 31 Agustus 2023   21:49 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sadar atau tidak, setiap hari banyak sekali aktivitas kita yang tidak luput dari upaya meningkatkan produksi sampah. Tidak sedikit dari kita yang membuang sampah tersebut dengan cara sembarangan.

Sebenarnya membuang sampah pada tempatnya saja pun, bukanlah akhir dari permasalahan sampah, bisa jadi hal itu merupakan awal dari kisah sampah yang menimbulkan masalah lebih besar. Apalagi dengan cara membuang sampah sembarangan.

Permasalahan sampah di muka bumi ini, hingga sekarang belum bisa teratasi dengan baik. Bahkan telah banyak dampak negatif yang mengerikan ditimbulkan karena permasalahan sampah tersebut.

Baik itu dampak pada buruknya kesehatan, kerusakan lingkungan, matinya berbagai makhluk hidup, dan masih banyak lagi.

Peran kita, dari tindakan terkecil sekali pun, tentu sangat dibutuhkan. Intinya, harus benar-benar tumbuh kesadaran dari setiap insan, tentu agar permasalahan sampah terselesaikan atau setidaknya permasalahan sampah semakin minimal.

Perlu kita sepakati, untuk urusan penanganan sampah, sesungguhnya tidak ada kata pembatasan. Semua memiliki kesempatan untuk mendukung kegiatan tersebut. Baik itu dari suku bangsa mana pun, kaya atau miskin, pria atau wanita, dewasa atau anak kecil.

Lihat saja contoh sosok yang satu ini. Amilia Agustin, atau yang kerap dipanggil Ami.

Masa kecil yang seharusnya dimanfaatkan untuk banyak bermain dengan teman sebayanya, tetapi sebaliknya, justru turut memilih berkontribusi memecahkan permasalahan sampah.

Saat masih berusia anak-anak, sekitar 12 tahun, merupakan masa awal hadirnya keresahan dan kegelisahan dalam diri Ami, terutama ketika melihat tumpukan sampah yang ada di sekitar lingkungan sekolah.

Pada sebuah kesempatan, saya pernah mendengar pemaparan langsung dari sosok yang lahir di Bandung 20 April 1996 itu.

Awal keprihatinan dan kegelisahannya tentang sampah bermula saat Ami mengikuti pelajaran olahraga dan kesehatan di sekolah.

Saat mengikuti pelajaran olahraga dan kesehatan tersebut, Ami bersama teman-temannya harus berlari mengelilingi lapangan sekolah. Nah, ketika mereka sedang beristirahat dari aktivitas berlari, Ami pun melihat ke arah tempat pembuangan sampah.

Di sana ada pemandangan yang membuat dirinya merasa iba. Ternyata di sana, di dekat gerobak sampah, ada seorang kakek yang sedang mengambil nasinya dan memakannya.

Spontan di benak Ami muncul pertanyaan.

"Itu kan tumpukan sampah? Bagaimana kalau kakek itu benar-benar sakit?"

Tak hanya itu pertanyaan yang muncul di benaknya.

"Tempat sampah itu kan berada di depan sekolah kami. Jangan-jangan, sampah itu dari sekolah kami? Apalagi saya juga turut membuang sampah setiap harinya."

Lantas, Ami pun berusaha menyimpulkan.

"Jangan-jangan kalau kakek itu sakit, bisa saja itu karena ulah sampah saya juga."

Sejak peristiwa itu, Ami pun mulai memikirkan kira-kira apa yang dapat dilakukan seorang anak kecil seperti dirinya sebagai bentuk kepeduliannya pada lingkungan, apalagi hal itu juga bisa menjadi upayanya untuk membantu kakek yang pernah dilihatnya.

Tidak selesai hanya memikirkan masalah tersebut, sepertinya Ami tidak puas kalau tidak melakukan sebuah tindakan nyata. Tetapi karena keterbatasannya, Ami pun mencoba bertanya dan berdiskusi kepada orang-orang dewasa, seperti ibu dan gurunya.

Melalui salah seorang guru pengampu mata pelajaran Biologi, Ibu Nia, akhirnya turut tergerak untuk mencari berbagai informasi tentang tempat belajar seputar sampah.

Nah, dari upaya tanya sana sini, akhirnya Ibu Nia mendapatkan informasi tentang Komunitas Sahabat Kota dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) ITB.

Komunitas itulah yang kemudian hari menjadi tempat Ami dan teman-temannya belajar banyak hal tentang sampah ketika sudah pulang sekolah.

Dari berbagai pengalaman dan pembelajaran yang mereka dapatkan, pada akhirnya Ami dan teman-temannya menggalakkan sebuah kegiatan "Zero Waste School".

Melalui "Zero Waste School",  berharap ke depannya sekolah mereka menjadi sekolah yang bebas sampah.

Ami dan teman-temannya pun mulai menggagas untuk membuat pemilahan sampah di dalam kelas, baik itu sampah organik atau sampah anorganik.

Lalu, sepulang sekolah mereka pun mencoba untuk kumpulkan sampah dari setiap kelas dan tidak lupa untuk memilah-milahnya.

Tentunya kegiatan mereka bukan tanpa tantangan, karena butuh kesabaran untuk melakukan edukasi ke beberapa teman-teman mereka di sekolah yang belum menyadari pentingnya pemilahan sampah organik dan anorganik.

Bukan itu saja tantangan mereka, ternyata kepala sekolah pun menyarankan agar mereka menghentikan kegiatan tersebut, dengan harapan mereka langsung pulang ketika pelajaran berakhir dan tidak mengurusi sampah sampai pukul lima sore.

Semangat Ami dan teman-temannya ternyata tidak ada kata surut. Mereka tetap bahagia dan menikmati kegiatan tersebut, karena mereka tahu apa tujuan mulia yang mereka lakukan. Bahkan terkadang mereka pun menambah aktivitas mereka pada hari Sabtu dan Minggu.

Seperti kata pepatah, bahwa usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Itu pula yang mereka dapatkan dari berbagai usaha dan kelelahan yang mereka lakukan selama ini.

Akhirnya pada tahun 2009, Ami dan teman-temannya mendapat penghargaan dari Young Changemakers dari Ashoka Indonesia untuk Karya Ilmiah Remaja "Go To Zero Waste School" yang mereka ajukan.

Program yang diinisiasi sejak 2005 tersebut, adalah progran yang berusaha membuka peluang kepada kaum muda usia 12-25 tahun untuk mempraktikkan prinsip-prinsip sosial entrepreneurship.

Penghargaan yang mereka raih memang bukan tujuan mereka sejak semula, tetapi dengan penghargaan itu menjadi penyemangat bagi mereka serta menjadi sarana mengembangkan kegiatan berikutnya.

Dengan penghargaan tersebut, mereka juga memulai untuk membeli biofori dan keranjang kompos.

Tidak berhenti sampai di situ, Ami dan teman-temannya kemudian melibatkan warga sekitar. Mereka mulai memberdayakan warga untuk membuat kerajinan dari sampah, kemudian hasilnya dijual,  sementara hasil penjualannya dibuat menjadi tabungan pendidikan anak.

Sekarang impian anak kecil itu untuk berkontribusi menanggulangi permasalahan sampah telah menjadi nyata. Bukan saja turut menjaga kebersihan lingkungan, menularkan semangat menjaga lingkungan di sekolah, ternyata juga mampu berperan lebih luas, hingga menimbulkan berbagai semangat pemberdayaan kepada warga.

Untuk sesuatu yang mereka lakukan, ternyata telah mendapat respons baik dari berbagai pihak. Tahun 2010, bahkan ada yang menyarankan supaya kegiatan yang mereka lakukan didaftarkan pada program Astra, "SATU Indonesia Award".

Sebagai informasi "SATU Indonesia Award" itu merupakan singkatan dari Semangat Astra Terpadu Untuk Indonesia Award.

"SATU Indonesia Award" tersebut merupakan ajang penghargaan Astra kepada generasi muda yang telah memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar, yang memiliki kepeloporan dan perubahan kepada masyarakat dalam berbagai bidang.

Ada pun bidang-bidang yang dimaksudkan adalah bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, kewirausahaan, dan teknologi.

Kembali pada kisah Ami.

Pada akhirnya Ami pun mengikuti berbagai saran, kemudian membuat karya tulis dua halaman tentang kegiatan yang sudah mereka kerjakan selama ini.

Di luar dugaan, ternyata Ami ternyata berhasil meraih penghargaan "SATU Indonesia Award" di bidang lingkungan pada tahun 2010.

Kemenangan ini tentu menjadi kemenangan para pejuang lingkungan, bukan kemenangan Ami saja.

Melalui kisah Ami, sudah saatnya kita semakin peduli dan sadar untuk merawat dan menjaga  lingkungan. Mari mulai dari diri kita, dan lingkungan terkecil kita. Dengan demikian, bumi yang kita tempati ini, tetap menjadi tempat yang nyaman dan sehat bagi anak cucu.

Salam "SATU Indonesia".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun