Sungguh! Keisengan itu tidak membawa faedah. Sebaliknya, membuat masyarakat resah. Apalagi kondisi hidup lagi susah. Harusnya menjadi berkah, bukan menambah masalah.
Beberapa waktu lalu, akhirnya Bareskrim Polri menangkap dua orang penyebar informasi palsu (hoaks) soal penarikan uang simpanan besar-besaran disejumlah bank.
Pelaku yang berinisial AY dan IS itu, mengaku bahwa tindakan yang mereka lakukan ternyata bermotif iseng dan mengacu pada peristiwa 1998. (baca: okezone)
Kejadian seperti ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi kita, agar menjauhkan tindakan yang tidak terpuji. Kita harus prihatin ditengah-tengah masa pandemi ini. Masyarakat sudah terkuras energinya memikirkan situasi yang terjadi. Begitu juga dengan aparat dan pemerintah yang sedang berjuang menjalankan tugasnya. Jadi, tidak perlu lagi menambah beban kekhawatiran dan kebingungan masyarakat.
Sebagai orang yang pernah melalui krisis 1997-1998, menyaksikan betul apa yang menjadi risiko dari penarikan uang secara besar-besaran di bank atau yang dikenal dengan istilah rush. Ekonomi makin tak terkendali, sistem perbankan terpuruk, bahkan beberapa bank harus gulung tikar.
Untuk menyegarkan kembali hakikat bank, kita dapat membuka Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998, di sana kita dapat melihat fungsi dan tujuan perbankan tersebut.
Menurut pasal 3, "Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat".
Sementara pada pasal 4 berbunyi, "Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak".
Nah, dari kedua pasal tersebut, tentu kita dapat menyimpulkan bahwa apa yang akan terjadi kalau masyarakat luas melakukan tindakan rush. Tentu masalahnya bukan hanya berhubungan dengan bank tersebut, tetapi ada banyak masalah turunan lainnya yang ditimbulkannya. Termasuk memperdalam jurang krisis.
Untuk memahami bagaimana sebenarnya krisis itu bisa terjadi, kita dapat menyaksikan analogi pada video yang dibuat Bank Indonesia berikut. Pada 1998, tindakan rush merupakan salah satu yang memperparah krisis di negeri kita.
Berharap krisis seperti itu tidak terjadi lagi. Dan semoga setelah menyaksikan video tersebut, masyarakat tidak berniat melakukan tindakan rush seperti tahun 1997-1998.Â
Pada Era sekarang, tentu kita tak perlu terlalu khawatir untuk menyimpan uang di bank, sebab sesungguhnya sudah ada yang menjaminnya, yakni Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Pernahkah sahabat pembaca mendengar nama LPS?
LPS adalah lembaga yang menjamin simpanan nasabah di bank. Jadi seandainya ada bank yang tidak sehat dan harus dilikuidasi oleh pemerintah, maka LPS akan menjamin uang nasabah hingga maksimal 2 milyar/nasabah/bank. Asalkan bank tersebut berada dalam naungan LPS.
Selain itu, LPS juga turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannnya.
Bahkan dalam UU No.9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), bahwa LPS adalah salah satu lembaga anggota dari Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) bersama dengan Bank Indonesia, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Semoga dengan pemaparan singkat tentang LPS menjadi penguat informasi agar masyarakat tetap menaruh kepercayaan pada perbankan sebagai tempat menyimpan uang. Dengan memanfaatkan produk keuangan perbankan, sesungguhnya kita sedang turut berkontribusi menjaga stabilitas sistem keuangan bangsa.
Hanya perlu diingat, bahwa pemanfaatkan produk keuangan perbankan hanyalah salah satu berkontribusi menjaga stabilitas ekonomi Indonesia. Sebenarnya masih ada banyak produk keuangan lainnya yang bisa kita manfaatkan agar perputaran uang di masyarakat tetap lancar dan perekonomian tetap stabil.
Misalnya, kita juga dapat bertransaksi dengan uang elektronik baik dengan kartu maupun scan QR Code. Oh iya, untuk pemanfaatan QR Code saat ini ternyata jauh lebih mudah, terutama ketika Bank Indonesia sudah mengeluarkan standar QR Code dengan QRIS yang sudah diluncurkan bertepatan dengan perayaan HUT Kemerdekaan RI Ke-74 tahun lalu.
Saya pribadi sudah banyak memanfaatkan QR Code untuk berbelanja. Apalagi sejak masa pandemi Covid-19, saya harus berupaya mengurangi bersentuhan dengan uang yang memungkinkan menjadi salah satu sarana penularan virus corona.
Begitu pula ketika sudah memasuki Era Kenormalan Baru ini, membiasakan menggunakan QR Code akan jauh membuat kita lebih aman dan praktis, daripada pembayaran dengan uang cash.
Nah, bagi yang memiliki dana cadangan, tentu dapat juga digunakan untuk berinvestasi diberbagai lembaga yang berada di bawah naungan OJK. Walau demikian, tetap harus melakukannya prinsip kehati-hatian dengan mempertimbangkan berbagai risiko.
Atau barangkali ada yang tertarik dengan membeli Surat Berharga Negara (SBN). Dengan cara seperti ini, tentu kita akan mendukung masukan untuk APBN yang dapat dimanfaatkan untuk kelanjutan pembangunan, menggeliatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Itulah beberapa bentuk dukungan yang dapat dilakukan masyarakat mendukung Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang merupakan cakupan dari kebijakan makroprudential. Tentunya masih banyak bentuk dukungan lain yang dapat dilakukan dan yang sejalan dengan kebijakan makroprudensial.
Bank Indonesia sebagai Pemegang Otoritas Kebijakan Makroprudensial
Ngomong-ngomong, apakah maksudnya kebijakan makroprudensial tersebut?
Menurut IMF, kebijakan makroprudensial itu adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik.
Artinya, kebijakan makroprudensial tidak hanya fokus pada tingkat individu dalam sistem keuangan (seperti perbankan saja). Kalau hanya fokus pada tingkat individu dalam sistem keuangan, itu namanya kebijakan mikroprudensial.
Atau kalau dibuat analoginya, maka sahabat pembaca dapat membandingkan kebijakan makroprudensial dengan mikroprudensial seperti pada dua gambar berikut!
Jadi, mengapa kebijakan makroprudensial tidak hanya bicara tentang individu lembaga keuangan? Setidaknya tidak lepas dari tiga hal berikut.
Pertama. Sumber risiko sistemik tidak selalu bersumber dari institusi keuangan (seperti perbankan saja). Tapi bisa juga dipengaruhi elemen sistem keuangan lain, seperti: korporasi, Institusi Keuangan Non Bank (IKNB), rumah tangga, infrastruktur keuangan, dan pasar keuangan.
Kedua. Adanya contagion effect akibat dari keterkaitan antar elemen sistem keuangan (interconnected) seperti yang sudah disampaikan di atas.
Ketiga. Bahwa potensi dampak yang ditimbulkan dari risiko sistemik sangat luas, tidak terbatas pada sektor keuangan saja, tapi dapat juga merembet kepada perekonomian.
Hal itu tentu sesuai dengan pengalaman terdahulu ketika berhadapan dengan krisis. Bahwa kebijakan pada level mikrosistem keuangan tidak cukup untuk mengatasi perilaku risk taking behavior institusi keuangan. Begitu juga dengan kebijakan moneter yang difokuskan pada stabilitas harga tidak secara langsung menjangkau permasalahan di level mikrosistem keuangan.
Dalam pelaksanaan kebijakan makroprudensial di Indonesia, Bank Indonesia sebagai bank sentral dinilai paling tepat menjalankan mandat makroprudensial. Hal ini terkait dengan posisi dan kapasitas yang lebih spesifik yang dimiliki bank sentral, yang tidak dimiliki oleh institusi lain.
Apa saja posisi dan kapasitas yang lebih spesifik yang dimiliki oleh bank sentral tersebut?
Pertama. Bank sentral sebagai Lender of interest of the Last Resort (LoLR). Fungsi ini erat kaitannya dengan fungsi klasiknya, kemampuan menyediakan instrumen likuiditas dalam rangka menghindari terjasinya risiko sistemik.
Kedua. Bank sentral sebagai otoritas moneter. Adanya umpan balik antara sistem keuangan dengan makroekonomi menjadi insentif bagi bank sentral untuk menjaga SSK.
Ketiga. Bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran. Menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal dikala adanya gangguan pada infrastruktur sistem keuangan, termasuk sistem pembayaran yang berpotensi menjadi sumber risiko sistemik.
Keempat. Bank sentral memiliki kapasitas dalam bentuk pengetahuan dan keahlian secara institusional. Seperti mengidentifikasi, memantau, dan menilai potensi risiko dan kerentanan yang mengganggu SSK baik dari kondisi makroekonomi global dan domestik.
Kelima. Bank sentral memiliki jaringan (network) dengan bank sentral lain dan lembaga internasional untuk menjaga SSK kawasan.
Keenam. Bank sentral merupakan institusi yang memiliki kapasistas untuk merumuskan bauran kebijakan secara komprehensif.
Langkah Bank Indonesia Mempercepat Pemulihan Ekonomi Akibat Dampak Pandemi Covid-19
Nah, dalam hubungannya ketidakstabilan sistem perekonomian yang dengan pandemi Covid-19, maka Bank Indonesia terus berupaya menerapkan beberapa kebijakan makroprudensial untuk mempercepat pemulihan ekonomi.
Kedua. Mempertimbangkan pemberian jasa giro GWM kepada semua bank.
Ketiga. Memperkuat operasi dan pendalaman pasar keuangan syariah melalui instrumen Fasilitas Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah (FLisBI), Pengelolaan Likuiditas Berdasarkan Prinsip Syariah (PaSBI), dan Sertifikat Penggunaan Dana Berdasarkan Prisnsip Syariah Antar Bank (SiPA)
Keempat. Mendorong percepatan implementasi ekonomi dan keuangan digital sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi melalui kolaborasi antara bank dan fintech untuk melebarkan akses UMKM dan masyarakat kepada layanan ekonomi dan keuangan.
Penutup
Melalui keempat kebijakan tersebut, sesungguhnya sebagai masyarakat dapat bersinergi mendukung kebijakan makroprudensial. Telah dibicarakan sebelumnya, kita dapat berperan memanfaat  produk keuangan perbankan seperti menyimpan dana di bank, memanfaatkan produk keuangan digital dan yang lainnya.
Berdasarkan laporan yang diterima BI dari perbankan, bahwa sampai Juni 2020 secara keseluruhan kredit yang sudah direstrukturisasi berjumlah Rp. 871,6 triliun. Dari dana tersebut, restrukturisasi UMKM adalah yang terbesar Rp. 309,3 triliun, kredit koorporasi Rp. 164,7 triliun, kredit komersial mencapai Rp. 130,9 triliun, kredit konsumsi Rp. 119,2 triliun. Dan ada juga kredit lainnya seperti modal kerja.
Perry Warjiyo menegaskan pula bahwa restrukturisasi kredit ini tentu sangat berpengaruh besar pada pemulihan perekonomian.
Nah, sahabat pembaca tentu dapat menyimpulkan sendiri, bagaimana peran dana yang kita simpan di bank tersebut terhadap pemulihan ekonomi. Intinya, jangan pernah ragu untuk berbuat bagi negeri ini, salah satunya dengan mendukung kebijakan makroprudensial melalui memanfaatkan produk keuangan.
Yuk kita bangkit, dan pulihkan ekonomi negeri kita. Salam
___________
Sumber Referensi: Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia. 2016. Mengupas Kebijakan Bank Indonesia. Penerbit Bank IndonesiaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H