"Perbedaan itu adalah fitrah. Dan ia harus diletakkan dalam prinsip kemanusiaan universal" (K.H. Abdurrahman Wahid)
Sejak kecil, saya hidup dan dibesarkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk. Masyarakatnya ada yang beragama Islam dan Kristen. Begitu juga dengan etnisnya, ada Batak dan Nias. Hidup bersama dengan orang yang berbeda ternyata asik dan memberi pelajaran penting serta pengalaman berharga dalam kehidupan bermasyarakat. Baik itu seputar budaya orang lain, cara bergaul dan hidup berdampingan dengan orang yang berbeda. Bahkan dapat menjadi bagian dari upaya mengembangkan sikap toleransi atau saling menghargai satu dengan yang lainnya.
Tanpa disadari, ternyata pengalaman hidup yang demikian, akan menjadi pengalaman yang berguna serta menjadi modal hidup bermasyarakat sampai kapan dan di mana pun berada.
Bagi saya pribadi, pengalaman itulah membantu saya lebih mudah beradaptasi dan berbaur dengan orang yang berbeda ketika sudah beranjak dewasa. Terutama ketika harus menjalani masa kuliah dan merantau ke kota yang jauh dari kampung halaman. Misalnya, ketika kuliah saya berada di sebuah fakultas yang mayoritas beragama Islam dengan multi etnis.
Begitu halnya dengan tempat tinggal sejak merantau hingga berkeluarga yang penuh dengan keragaman. Sekali lagi, saya bersyukur sejak dini telah hidup di tengah-tengah masyarakat yang beragam perbedaannya. Sehingga tidak perlu lagi khawatir akan adanya penolakan karena perbedaan. Bahkan tetap berupaya untuk tidak menghindar dari perbedaan, apalagi sampai membentuk kehidupan yang eksklusif. Semua ilmunya ternyata ada di masyarakat berdasarkan pengalaman nyata (social experiences).
Sepakat dengan kata bijak yang mengawali tulisan ini. Perbedaan itu adalah fitrah. Sejak semula, manusia itu telah dirancang berbeda oleh Tuhan Sang Pencipta. Perbedaan gender antara pria dan wanita merupakan wujud pertama dari perbedaan tersebut. Seiring berjalannya waktu, maka perbedaan itu pun semakin beragam bentuknya.
Dari pemaparan tersebut, ada dua hal penting yang mau saya sampaikan. Bahwa perbedaan di muka bumi ternyata umurnya sama dengan keberadaan manusia itu sendiri. Selanjutnya, perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak seorangpun dapat mengingkari atau menolaknya.
Bila beranjak melihat kondisi negeri kita, maka kita patut bersyukur kalau negeri kita diberkahi dengan ragamnya perbedaan. Mulai dari perbedaan fisik, kepercayaan, tradisi atau adat istiadat, bahasa, gaya hidup, dan lain sebagainya. Hebatnya, perbedaan bukanlah sesuatu yang baru di negeri kita. Jauh sebelum merdeka dan menjadi sebuah negara pun, masyarakat kita adalah masyarakat yang beragam (majemuk).
Pengakuan akan keberagaman tersebut sesungguhnya dapat kita lihat dari bukti sejarah yang ada, seperti pada Kitab Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular. Â Istilah Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri, yang menjadi semboyan keberagaman di negeri kita, untuk pertama kalinya sudah ditemukan dalam kitab tersebut.
Selain itu, sejarah pun mencatat bahwa ada berbagai upaya yang pernah dilakukan para pemuda untuk menyatukan ragam perbedaan yang ada di masyarakat. Salah satunya, Ikrar Sumpah Pemuda, Ikrar tersebut mengajak pemuda mengakui bahwa kita satu bangsa, satu tanah air, dan satu bahasa. Semangat ini pun terus dipelihara hingga sekarang.