Ikatan sosial yang kuat akan menuntun kita untuk mengembangkan solidaritas (Gus Dur)
 "Mau nanya Her, emang kalau berhenti main bola, harus berhenti persahabatan juga ya? Sayang ya!" Kata Mang Dulloh kepada Heri.
Heri tertunduk dan tidak sedikit pun menggubris kata-kata Mang Dulloh.
Mang Dulloh adalah supir keluarga Heri yang sangat menyayangkan retaknya persahabatan Heri dan Bayu.
Masalahnya, Bayu tidak mau lagi melanjutkan mimpinya menjadi seorang pemain bola, yang sekaligus  menjadi keinginan besar Heri agar sahabatnya menjadi pemain tim nasional. Bukan hanya itu saja. Bayu pun akhirnya tidak mau berteman lagi dengan Heri.
Akar permasalahan antara Bayu dan Heri, diawali dengan kejadian yang menimpa kakek Bayu yang terkena serangan jantung setelah menyaksikan Bayu bermain sepakbola di sebuah Sekolah Sepak Bola (SSB) yang notabene adalah berkat upaya dan dukungan Heri.
Kakek Bayu sendiri sejak awal sudah melarang cucunya itu bermain sepakbola. Kakeknya tidak ingin pengalaman ayah Bayu yang pemain bola itu, kembali dialami cucunya.
Sebenarnya pesan yang mau saya sampaikan pada tulisan ini bukan seputar retaknya hubungan Bayu dan Heri. Tetapi sebelum keretakan itu ternyata hubungan Bayu dan Heri sejak semula sangat baik. Mereka akrab.
Bahkan Heri yang tergolong dari orang kaya memiliki solidaritas yang tinggi, mau berbagi dan tulus bersahabat dengan Bayu yang adalah cucu seorang pensiunan dan anak seorang janda yang pekerjaannya sedang tidak menjanjikan.
Salah satu bentuk dukungan nyata Heri kepada Bayu adalah upaya yang dilakukannya untuk mendukung dan mengantarkan Bayu menjadi anggota Timnas U-12.
Menariknya, film ini diakhiri dengan "happy ending". Walaupun hubungan Bayu dan Heri sempat retak, tetapi pada akhirnya dapat pulih kembali. Ternyata selama dirawat, kakek Bayu menyadari cucunya memang  memiliki bakat hebat dalam bidang sepakbola. Daripada memaksakan kehendak sang kakek, pada akhirnya mendukung semangat Bayu untuk masuk ke Timas U-12 itu.Â
Dengan dukungan sang kakek itu pula, akhirnya persahabatan Bayu dan Heri kembali membaik.
***
Sahabat pembaca, masih ingat kira-kira judul film yang saya maksudkan di atas? Betul sekali. Film Garuda di Dadaku. Film yang dirilis pada tahun 2009 lalu.
Menurut hemat saya, walaupun film ini  sudah lama (2009) tetapi masih layak ditonton oleh keluarga saat selama menjalani WFH dan Ramadan. Alasannya film ini sarat dengan nilai-nilai hidup yang layak ditularkan. Mulai dari nilai-nilai kekeluargaan, solidaritas, persahabatan, dan nasionalisme.
Bagi anak-anak zaman now, ada baiknya menyaksikan film ini kembali. Setidaknya mereka mendapatkan  nilai-nilai kehidupan positif dan baik melalui tontonan. Dengan tuntunan orang tua, berharap nilai-nilai tersebut dapat diserap dan menjadi contah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Baik ketika mereka dalam keluarga dan berteman.
Pada akhirnya, sebagai mahluk sosial, sudah selayaknya kita mengembangkan sikap solidaritas terhadap sesama. Â Tanpa solidaritas, maka peran kita sebagai mahluk sosial tidak berarti apa-apa.Â
Untuk itu, mulai sejak dini mari perkuat ikatan sosial. Tanamkan melalui keluarga. Dengan demikian, apa yang menjadi kutipan di atas, Ikatan sosial yang kuat akan menuntun kita untuk mengembangkan solidaritas.
Selamat mengembangkan ikatan sosial dan mengembangkan solidaritas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H