Â
"Pak Dodi, masjidnya koq beda dengan masjid pada umumnya?" Tanyaku kepada seorang sahabat, yang saya kenal melalui sebuah komunitas menulis, baik ketika menulis keroyokan (antologi) dan juga di komunitas Laskar Pena Hijau (LPH).
Pak Dodi adalah salah seorang mentorku, yang ikut melatih kami menulis selama dua bulan atau setiap hari Sabtu di Cikeas pada tahun 2015 lalu.
"Oh iya. Masjidnya memang disengaja demikian dan arsitek masjidnya adalah seorang yang beragama Katholik". Jawabnya.
Saat jam istirahat dan sholat, saya memang sering duduk di depan masjid tersebut sambil menunggu teman-teman, Gapey Sandi dan Mas Badio yang sedang menjalankan ibadah sholat ketika kami mengikuti pelatihan di sana.
Sayang sekali, saya tidak bisa lagi menemukan photo masjid tersebut. Soalnya ada di kamera lama yang sudah rusak. Semoga tidak ada teman-teman Kompasianer yang beranggapan, "no picture, hoaks".
Sambil menunggu teman-teman yang Muslim selesai sholat, saya pun membaca buku dan sesekali saya melihat gaya arsitek masjid yang unik dan menarik.
Itulah pengalaman pertamaku berkunjung ke pekarangan masjid yang bangunannnya unik dan menarik.
Dulu, paling banter saya pernah belajar melalui buku sejarah, bahwa ada banyak masjid yang unik karena bentuknya yang mengalami proses akulturasi. Salah satu adalah Masjid Agung Demak.
Masjid Agung Demak adalah salah satu bangunan masjid tertua di Indonesia. Masjid yang berdiri di atas lahan seluas 11.220 meter persegi ini ternyata merupakan memiliki gaya khas Majapahit yang membawa corak kebudayaan Bali.
Kehadiran bangunan demikian tentu bukan tidak beralasan, yakni sebagai wujud toleransi masjid sebagai sarana penyebaran agama Islam di tengah masyarakat Hindu.
Sayangnya, saya belum pernah berkunjung ke sana. Sebagai orang yang senang melihat bangunan-bangunan bersejarah, berharap suatu saat bisa juga berkunjung ke Masjid Agung Demak tersebut.
Kembali kepada topik utama dari tantangan hari keempat di Kompasiana ini, yakni masjid yang pernah saya jumpai. Tentunya adalah masjid yang tidak jauh dari rumah tempat saya tinggal. Masjid Al-Istiqomah.
Selain sebagai tempat mengadakan sholat, ternyata lapangan luas dari Masjid ini sering juga dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan warga, tanpa melihat latar belakang suku dan agama.
Saya sendiri sering menikmati udara segar dan berjemur di lapangan yang cukup luas ini. Apalagi saat-saat seperti sekarang sedang terjadi pandemic Covid-19 ketika ahli kesehatan menyarankan untuk serutin mungkin berjemur di pagi hari.
Tetapi satu hal yang tidak berbeda, suara azan itu tetap berkumandang untuk mengajak warga tetap sembahyang, walapun hanya di rumah masing-masing. Begitu pula dengan seruan sahur di pagi hari, agar umat Muslim tidak melewatkan kesempatan tersebut selama bulan Ramadan ini.
Akhir kata, selamat menjalankan ibadah puasa bagi rekan-rekanku yang beragama Islam. Salam Bhineka Tunggal Ika.
Sumber Referensi : RepublikaÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H