Ami banyak berdiskusi dengan ibunya. Demikian pula dengan Ibu Nia, guru biologi di sekolah, yang kemudian turut mencari informasi tempat belajar tentang sampah di komunitas guru. Akhirnya melalui komunitas guru itulah, Ibu Nia menemukan informasi tentang Komunitas Sahabat Kota dan Yayasan Pengembangan Biosains dan Bioteknologi (YPBB) ITB yang kemudian tempat Ami dan teman-temannya belajar sepulang sekolah.
Di sekolah, Ami dan teman-temannya akhirnya mulai membuat sebuah kegiatan yang mereka sebut dengan "Zero Waste School" dengan harapan sekolah tersebut menuju bebas sampah.
Ami dan teman-temannya mulai membuat tempat sampah terpilah di dalam kelas, baik untuk sampah oranik maupun anorganik. Kemudian setelah pulang sekolah Ami dan teman-temannya mengumpulkan dan memilah sampah dari setiap kelas.
Walau sudah ada tempat sampah terpilah dan berkali-kali melakukan sosialisasi, ternyata masih ada saja anak-anak lelaki yang tidak memiliki kesadaran, tidak membuang sampah sesuai tempat yang sudah dibuat.
Kegiatan ini memang penuh tantangan, bukan saja karena ulah dari teman-teman mereka yang tidak sadar, ternyata kepala sekolah juga mulai menyarankan agar kegiatan mereka tidak usah dilanjutkan. Kepala sekolah berharap mereka langsung pulang ketika pelajaran berakhir dan tidak mengurusi sampah sampai pukul lima sore.
Ami dan kesepuluh temannya tidak surut semangatnya, mereka tetap merasa berbahagia mengerjakannya, walaupun terkadang sabtu dan minggu mereka tetap ke sekolah untuk memilah sampah tersebut. Ami dan teman-temannya berpikir sederhana saja, mereka berharap dengan kegiatan tersebut mereka sudah menolong kakek yang sering mengangkut sampah di depan sekolah mereka.
Ternyata apa yang dikerjakan oleh Ami dan teman-temannya selama ini mulai mendapat penghargaan tahun 2009. Walau penghargaan tersebut bukan tujuan mereka, tetapi melalui penghargaan tersebut mereka senang dan terus mengembangkan kegiatan. Mereka mulai membeli biofori dan keranjang kompos.
Tidak sampai di situ, Ami dan teman-temannya mulai melibatkan warga sekitar. Waktu itu mereka menemukan seorang ibu yang memiliki ekonomi bawah, yang salah satu anaknya bersekolah di SMP mereka. Mereka berpikir untuk mengajari ibu tersebut membuat kerajinan dari sampah, lalu dijual, hasil penjualan dibuat untuk tabungan pendidikan anak mereka.
Selanjutnya tahun 2010 ada yang menyarankan agar kegiatan mereka didaftarkan di sebuah program yang diselenggarakan Astra, "SATU Indonesia Award". Akhirnya Ami membuat karya tulis dua halaman tentang kegiatan yang sudah mereka kerjakan selama ini. Diluar dugaan, Ami ternyata berhasil meraih penghargaan "SATU Indonesia Award" di bidang lingkungan.
Kemenangan itu pun pada akhirnya membawa perubahan di sekolahnya. Sekolah mulai "membuka mata" bahwa program ini layak diapresiasi dan kemudian dijadikan sebagai ekstrakurikuler hingga saat ini.
Selain itu, berbekal hadiah Rp. 40 juta yang diterimanya dari "SATU Indonesia Award", Ami kemudian mengembangkan konveksi kecil-kecilan di dekat sekolah supaya ibu-ibu yang selama ini menjahit kain perca dengan tangan, sehingga tidak membuat tangan mereka sampai kapalan lagi.