Sepulang sekolah, Gerald, anak kami, tampak bahagia. Dia menunjukkan sebuah bingkisan kepada mamanya. Bingkisan itu adalah apresiasi dari perpustakaan sekolah karena terpilih menjadi siswa terajin meminjam buku selama satu semester.
Beberapa tahun terakhir, perpustakaan sekolahnya memang secara rutin memberikan apresiasi kepada siswa peminjam buku terajin.
![Gerald, anak kami, menerima apresiasi dari perpustakaan sekolah sebagai peminjam buku terajin (dokpri)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/15/whatsapp-image-2019-06-15-at-18-36-24-5d04e4233ba7f7198332aeb5.jpeg?t=o&v=770)
Tetapi perlu diingat, jangan pernah terjebak dengan pemberian apresiasi. Apresiasi bukanlah tujuan, tetapi salah satu sarana mengingatkan dan menyadarkan anak agar membaca buku sedini mungkin.
Sebenarnya, mengapa seorang anak harus didorong untuk membaca buku sejak dini?
Kata orang bijak, buku adalah jendela dunia. Maka, kalau seseorang mau melihat "apa" dan "bagaimana" dunia tersebut, bukalah buku!
Selanjutnya, orang yang "akrab" dengan buku adalah orang yang mencintai pengetahuan dan memiliki wawasan. Begitu normatifnya.
Kalau begitu, sebagai orangtua yang mengharapkan anaknya menjadi orang yang berpandangan luas tentang dunia, mencintai pengetahuan dan berwawasan, maka ajarkan anak untuk mencintai buku dan membacanya. Tapi melihat kenyataannya, ada banyak anak yang kurang tertarik membaca buku. Mengapa?
Sesungguhnya ini membutuhkan riset  mendalam. Tapi berdasarkan pengamatan di sekitar, bahwa salah satu tantangan di era digital atau ketika teknologi informasi semakin maju, banyak anak yang alih minat. Banyak anak yang lebih tertarik bermain gadget daripada membaca buku. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang sudah masuk fase kecanduan. Sehingga untuk mengalihkan perhatiannya kembali ke hal positif, seperti membaca buku, bukan perkara mudah.
Kalau ingin menanamkan minat dan disiplin membaca buku pada anak, mulailah sejak dini. Jadikan semangat membaca buku menjadi kebutuhan dan gaya hidup seorang anak. Kalau sudah sampai pada tingkat tersebut, maka dapat dipastikan bahwa si anak secara otomatis akan mencari buku, kapan dan di mana pun.
Ketika anak sudah berada pada tahap tersebut, si anak benar-benar mencintai buku, maka tugas orangtua akan jauh lebih ringan ketika mereka beranjak remaja bahkan ketika mereka sudah menjadi pemuda kelak. Tinggal mempertahankan kebiasaan tersebut agar terus melekat.
Dalam kaitannya dengan penumbuhan minat baca anak, sebagai orangtua, ada beberapa cara yang yang biasa kami lakukan. Salah satu, ketika anak belum bisa (baru belajar) membaca, biasanya kami memilih untuk membacakan buku cerita kepada anak sebelum tidur. Tetapi, ketika usianya terus berkembang dan sudah bisa membaca, kami lanjutkan memilih buku bacaan sesuai dengan umurnya.
Menariknya, untuk beberapa jenis buku, sesungguhnya ada yang telah mencantumkan usia yang layak untuk membaca buku tersebut. Hal ini tentu membantu para orangtua dalam memenuhi kebutuhan anak.
Bagi orangtua yang ingin memberikan buku pada anak usia dini, ada baiknya memperhatikan ketiga hal ini. "Pertama, pilihlah buku dengan gambar dan warna yang menarik. Kedua, pilih buku dengan tulisan yang pendek-pendek dan hurufnya pun agak besar. Ketiga, pilihlah buku yang tidak mudah robek dan kusut, Sebaiknya pilihlah buku yang kertasnya agak tebal dan tidak mudah rusak. Karena pada umumnya gerakan anak usia dini masih sangat kasar sehingga ada kemungkinan buku tidak hanya dibaca tetapi juga dibanting, diduduki, diremas, bahkan dirobek atau basah karena makanan dan minuman".
![Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/06/15/kembar-5d04e478c01a4c2ff473ce46.jpg?t=o&v=770)
Nah, berikut ini yang tidak kalah penting, mengingat bahwa anak adalah apa yang dilihatnya  (masih memiliki sifat meniru), maka sebagai orangtua harus pula membiasakan diri membaca buku di depan mereka, dengan demikian anak akan meniru tindakan tersebut. Artinya orangtua harus menjadi teladan dalam hal membaca buku. Untuk itu, ada baiknya menyediakan  buku-buku bacaan di rumah. Bila memungkinkan, buatlah perpustakaan mini keluarga.
Sebagai contoh, di rumah kami saat ini terdapat sekitar 300 judul buku yang selalu siap untuk dibaca. Mungkin tidak terlalu banyak, tapi setidaknya sudah bisa menjadi bukti nyata kami untuk menularkan semangat baca kepada anak dan keluarga.
Sejatinya, ada banyak cara lain yang bisa dilakukan oleh setiap orangtua, semakin sering membaca buku dan berdiskusi dengan orang lain tentu akan memperkaya pemahaman sebagai orangtua dalam menanamkan budaya baca pada anak. Atau barangkali dengan cara kita masing-masing, mungkin jauh lebih kreatif dan lebih sesuai dengan kebutuhan anak.
Prinsipnya, pendampingan dan keteladanan adalah dua hal yang tidak boleh lepas dari proses menumbuhkan semangat membaca buku pada anak. Ketika orangtua mendampingi dan memberikan keteladanan dalam membaca buku, sadar atau tidak sadar orangtua sedang menanamkan nilai-nilai dan karakter yang berharga bagi anak. Jadi, bukan sebatas mengajak untuk cinta buku. Tapi juga mengajarkan nilai-nilai prioritas pada keluarga, saling memperhatikan kebutuhan anggota keluarga, kerjasama, integritas, dan lain sebagainya.
Dasar Hukum Peran Keluarga dan Masyarakat Menumbuhkan Budaya LiterasiÂ
Apa yang sudah kita bicarakan panjang lebar, adalah satu bentuk literasi. Hal itu pula yang sedang digalakkan oleh pemerintah. "Sejak  tahun 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari implementasi dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti."
Sesungguhnya, Gerakan Literasi Nasional ini adalah upaya untuk memperkuat sinergi antar pelaku gerakan literasi. Harapannya, dengan menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik dalam menumbuhkembangkan dan membudayakan literasi di negeri kita. Tentu gerakan literasi tidak akan berhasil jika hanya berharap kepada sekolah saja. Peran keluarga dan masyarakat tidak boleh abai. Jadi, sekolah-keluarga-masyarakat adalah tripusat literasi yang sesungguhnya.
Bahkan pemerintah sendiri telah mengatur hal tersebut dalam sebuah regulasi. Bahwa keluarga dan masyarakat harus terlibat penuh dalam kemajuan pendidikan anak. Termasuk membangun literasi yang menjadi bagiannya.
Sejenak, mari kita baca tentang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Misalnya, pada Pasal 54 diatur tentang ayat (1) Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraandan pengendalian mutu pelayanan pendidikan. Ayat (2) Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Ayat (3) Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Sementara untuk peran keluarga sendiri dapat dilihat pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan. Pada pasal 1 ayat 1 dikatakan bahwa "Pelibatan Keluarga adalah proses dan/atau cara keluarga untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikan guna mencapai tujuan pendidikan nasional."
Sementara kalau berbicara tentang tujuan pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan terlihat jelas pada Pasal 2 yakni  (a). meningkatkan kepedulian  dan  tanggung  jawab  bersama antara  Satuan  Pendidikan,  Keluarga,  dan  Masyarakat terhadap Penyelenggaraan Pendidikan; (b). mendorong Penguatan Pendidikan Karakter Anak; (c). meningkatkan  kepedulian  Keluarga  terhadap  pendidikan Anak; (d). membangun  sinergitas antara  Satuan  Pendidikan, Keluarga, dan Masyarakat; dan (e). mewujudkan  lingkungan  Satuan  Pendidikan  yang  aman, nyaman, dan menyenangkan.
Nah, kalau bentuk dari pelibatan keluarga  pada  lingkungan  keluarga dapat berupa: (a). menumbuhkan  nilai-nilai  karakter  Anak  di  lingkungan Keluarga; (b). memotivasi semangat belajar Anak; (c). mendorong budaya literasi; dan (d).memfasilitasi kebutuhan belajar Anak. Hal itu sesuai dengan Pasal 7 pada Permendibud tersebut.
Dari Undang-Undang dan Peratutran Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, maka jelas ada seruan dalam mendukung pendidikan anak, dalam hal ini termasuk semangat literasi. Berharap saja ini bukan hanya sebagai wacana, tapi nyata pelaksanaannya di keluarga dan masyarakat.
Butuh Sinergi Keluarga dan Masyarakat dalam Menyelesaikan Persoalan Budaya Literasi
Mungkin pembaca pernah membaca kajian studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal  minat membaca.
Selain itu, Programme for International Student Assessment (PISA) pernah menyebut budaya literasi masyarakat Indonesia terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia, Indonesia menempati urutan ke-64 dari 65 negara tersebut.
Bukan itu saja, Â menurut data statistic UNESCO pada tahun 2012 bahwa tingkat literasi di Indonesia sangat rendah. Bahwa presentasi minat baca Indonesia sebanyak 0,001%. Artinya, dari 1.000 penduduk hanya satu orang saja yang memiliki minat baca.
Ini adalah tamparan keras bagi kita bersama. Dalam hal ini, kita tidak perlu mencari salah siapa, Â yang perlu dilakukan, mari benahi bersama.
Menurut hemat penulis, jangan biarkan sekolah berdiri sendiri untk urusan budaya literasi bagi setiap anak, tetapi saatnya bergandeng tangan. Peran keluarga dan masyarakat harus menjadi bagian dalam menumbuhkan budaya literasi.
Kalau peran keluarga sudah banyak dikupas pada uraian terdahulu, maka peran masyarakat dalam menumbuhkan literasi bisa saja dengan cara membangun fasilitas rumah baca dengan melengkapi buku-buku yang dibutuhkan oleh anak. Kemudian menciptakan kondisi yang menyenangkan dan menarik di rumah baca tersebut. Seningga ada daya tarik tersendiri bagi anak untuk selalu berkunjung ke rumah baca yang dibangun.
Dari peran masyarakat tersebut, tentu bukan saja melulu berkaitan dengan minat baca yang tumbuh di sana. Ada banyak nilai-nilai masyarakat yang juga bisa lahir ditempat tersebut seperti saling menghargai perbedaan (toleransi), mendahulukan kepentingan orang lain, kerjasama, dan masih banyak lagi.
Pertanyaannya, siapkah kita untuk mewujudkannya?
Kalau kita komitmen dan memiliki hati untuk hal ini, maka kita tidak perlu khawatir semuanya bisa terwujud. Dengan demikian, kelak kita tinggal memetik hasil, melihat generasi yang cerdas, bijaksana dan produktif. Kerena mereka adalah generasi yang gemar baca dan cinta literasi.
Salam literasi!
Sumber Referensi :
- www.erlanggaforkids.com (diakses 14 Juni 2019).
- www.gln.kemdikbud.go.id (diakses 14 Juni 2019)
- www.lifestyle.okezone.com (diakses 15 Juni 2019)
- Permendikbud RI No.30 tentang Pelibatan Keluarga pada Penyelenggaraan Pendidikan
- Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI