Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membangun Daerah 3T, Tanggung Jawab Siapa?

27 April 2019   23:39 Diperbarui: 28 April 2019   00:08 3238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : https://korindonews.com/

Semasa kecil, hingga menyelesaikan pendidikan sekolah dasar, saya pernah tinggal di sebuah desa yang jauh dari perkotaan. Waktu itu, orang sering bilang daerah IDT (Inpres Desa Tertinggal). Masih segar dalam diingatanku, bagaimana kehidupan yang kualami selama orangtua bertugas di desa tersebut.

Sebagai seorang pelajar, malam hari adalah tantangan terberat bagi kami. Betapa tidak. Kami setiap harinya berselimut kegelapan. Hanya ada sebuah lampu sumbu di ruang tengah, tempat kami belajar bersama.

Lampu sumbu yang saya maksud adalah yang terbuat dari botol bekas, yang diisi dengan minyak tanah, dan dibagian ujung botol terdapat sebuah sumbu yang siap memberikan cahaya bagi keluarga.

Kabar buruknya, bahwa setiap pagi pasti ada pemandangan yang aneh di hidung kami. Lubang hidung pasti terdapat warna hitam pekat, bekas asap lampu sumbu. Pada waktu itu kami tidak memikirkan lagi apakah itu sehat atau tidak, yang kami pikirkan, bagaimana kami dapat belajar dan mengerjakan tugas sekolah di rumah.

Maklum saja, listrik (PLN) baru ada di ibukota kecamatan.

Tetapi kami hanya berharap, redupnya cahaya lampu sumbu bukan sebagai gambaran masa depan kami yang gelap. Sebab kami ingin seperti anak yang lainnya, ingin bisa bersekolah dan meraih cita-cita setinggi mungkin.

Sesungguhnya di desa kami bukan hanya listrik yang menjadi masalah warga. Kesulitan dengan pasar, transportasi dan medis.

Misalnya, untuk membeli barang kebutuhan, bukanlah perkara mudah. Tidak seperti diperkotaan yang selalu sedia pusat perbelanjaan dan supermarket untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Kalau warga desa mau berbelanja, tunggu dulu ketemu hari Rabu. Sebab hari itu baru ada pasar di ibukota kecamatan. Tapi jangan langsung mengira bahwa setiap warga desa akan berangkat berbondong-bondong ke pasar. Walau pasar sekali seminggu, belum tentu juga warga dari desa kami berangkat ke pasar. Alasannya keterbatasan biaya dan transportasi.

Bagi sebagian warga, untuk menyiasati hal tersebut, terkadang hanya menitip dibelikan sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka kepada orang yang hendak berangkat ke pasar. Setidaknya biaya perjalanan dapat lebih hemat.

Kalau bicara pelayanan medis, kami hanya bisa menjemput mantri di desa sebelah. Tetapi seandainya ada yang kena penyakit yang terbilang parah, yang tidak mampu lagi ditangani mantri dari desa sebelah, apa yang dilakukan warga?

Orang yang sakit tersebut biasanya akan ditandu berpuluh kilo meter menuju tempat perawatan yang lebih memadai di kota. Seperti pengalaman tetangga kami pada waktu itu.

Itu hanyalah sebagian kecil pengalaman yang pernah kualami hidup di sebuah desa yang tertinggal. Semua serba terbatas. Memprihatinkan memang. Pengalaman seperti ini, tentu banyak yang pernah mengalaminya, bahkan ada yang lebih sulit lagi kehidupannya dibandingkan dengan desa yang kami tempati.

Pemerintah Butuh Bersinergi dengan Pihak Swasta Membangun Daerah 3T

Salah satu yang mengalami hal yang saya maksudkan adalah rekan-rekan kita sebangsa setanah air yang ada di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Rekan pembaca mungkin sudah pernah mendengar berbagai kisah hidup dari warga Indonesia yang berada di daerah 3T tersebut. Setidaknya ada seribu satu masalah dan tantangan yang harus mereka hadapi setiap harinya.

Keterbatasan infrasruktur, minimnya mata pencaharian karena tertutupnya akses, hingga jauhnya dengan daerah pusat kota merupakan beberapa kendala dan tantangan yang saya maksudkan.

Tetapi beruntungnya daerah 3T tersebut, karena pemerintah pusat sekarang berkomitmen dan semakin serius memperhatikan daerah 3T tersebut. Tentu hal tersebut tidak terlepas dengan Program Nawacita yang telah dicanangkan pemerintah pusat sejak awal. Salah satu dari program tersebut yakni berusaha membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Memang begitulah sejatinya. 

Sudah selayaknya bangsa kita tidak semata hanya fokus perhatian kepada daerah-daerah yang sudah maju dan berkembang. Saatnya kita memperhatikan dari pinggiran atau yang kita kenal dengan sebutan daerah: Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Sehingga bangsa kita tidak mengulangi sejarah kelam dari gerakan separatis yang terjadi di era-50. Ada banyak daerah yang memberontak karena terjadinya sentralistik pembangunan. Daerah kurang terperhatikan.

Kalau dalam Pembukaan UUD 1945, di sana tertuang cita-cita NKRI yang menegaskan bahwa bangsa kita harus mewujudkan masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur, bukan saja diperlakukan bagi sekelompok masyarakat tertentu, tapi berlaku untuk semua. Tanpa terkecuali.

Kalau selama ini daerah 3T kurang terperhatikan, sudah saatnya kita merngubah paradigm dan fokus perhatian kita.

Saya jadi teringat dengan sebuah slogan yang begitu menarik yakni sudah saatnya Bangun Perbatasan Jadi Terasnya Indonesia.

Citra wilayah perbatasan tak boleh dianggap sebagai dapur, melainkan sebagai beranda atau teras bagi negara. Sebagai daerah terdepan bagi rumah kita yang berfungsi menyambut tamu.

Menurut hemat saya, konsep demikian tentu akan memberikan ruang kepada daerah 3T bahwa mereka ternyata dihargai dan diperhitungkan. Ibarat sebuah rumah, orang sebelum memasuki rumah akan selalu memandang dan menikmati terasnya, baru masuk ke dalam rumah.

Nah, sebagai tindak nyata, maka Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDT) telah menyusun beberapa program dan kebijakan untuk pembangunan daerah perbatasan.

Dalam hal itu, salah satu yang menjadi program pemerintah adalah dengan mengajak pelaku usaha untuk berinvestasi di daerah perbatasan. Dengan meningkatnya investasi maka diharapkan sejalan dengan pembangunan daerah tersebut.

Sepakat betul dengan kebijakan seperti ini. Bahwa dalam membangun daerah 3T, sudah saatnya pemerintah harus bersinergi dengan swasta dan masyarakat. Ketiga pilar ini, Pemerintah -- Swasta -- Masyarakat tentu akan lebih kuat fondasinya ketika ketiga pilar tersebut diajak bekerjasama, tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam konteks pembangunan.

Semua harus terlibat, agar kita merasakan bahwa dari sabang samapai merauke kita merasa saling memiliki. Bukan begitu?

Sebagai contoh nyata, untuk pengembangan  daerah 3T seperti Boven Digoel dan Merauke, Papua. Di sana telah hadir KORINDO membangun usaha dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi pemerintah daerah dan masyarakat sekitar.

Kawasan Papua, merupakan salah satu daerah yang menjadi primadona dalam pengembangan industri kehutanan karena bentang alamnya yang luas, subur, dan kebanyakan masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Untuk itulah, KORINDO telah mengembangkan konsep industri yang ramah lingkungan melalui pembangunan bidang kehutanan dan perkebunan kelapa sawit. Melalui pembangunan industri tersebut KORINDO telah berkontribusi menyerap tenaga kerja terutama di Papua yang telah menyerap 10.000 tenaga kerja.

Selain itu, KORINDO juga berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur, pembangunan ekonomi berupa PAD, pendirian fasilitas pendidikan dan medis. Fasilitas medis tersebut diantaranya pembangunan Klinik Asiki, klinik modern yang berada di daerah pedalaman.

Jadi kalau dipetakan, maka program-program yang dilakukan KORINDO adalah program-program yang strategis, sistematis, dan berkelanjutan, yakni melalui 5 pilar program utama, yaitu Pendidikan, Kesehatan, Ekonomi, Lingkungan dan Infrastruktur.

Pada akhirnya, Perubahan Untuk Indonesia yang Lebih Baik tersebut, tidak mungkin dikerjakan oleh pemerinah sendiri. Harus semua elemen hadir di sana, seperti KORINDO. Singkat katanya, bersinergi. Sebab salah satu dasar yang menyatukan kita juga adalah kata sinergi, seperti yang tersirat dalam Sila Persatuan Indonesia.

Yuk, bergandeng tangan membangun Indonesia, sehingga anak-anak cucu kita juga mewarisi hal yang demikian. Dijamin Indonesia yang lebih baik, harmoni, indah dan sejahtera. Salam

Sumber Referensi : 1, 2, 3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun