Aparat Kepolisian Resor Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), menangkap seorang pelajar SMA berinisial LH karena menyebarkan berita hoaks.Â
LH ditangkap karena menyebar berita palsu di media sosial tentang 14 orang meninggal akibat bencana banjir di Kecamatan Lembor, Manggarai Barat. (Kompas, 19 Maret 2019).
Di era revolusi digital seperti sekarang, semakin marak saja orang yang menebar berita hoaks di media sosial. Ada banyak orang melakukan tindakan demikian, tanpa berpikir panjang akibat yang ditimbulkannya.
Sesungguhnya, kita telah menyaksikan berbagai dampak sosial yang diakibatkan oleh penyebaran berita hoaks tersebut. Ada yang menimbulkan keresahan dan ketakutan, berkembangnya kebencian dan permusuhan terhadap sesama, maraknya konflik horizontal, dan masih banyak lagi.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ternyata menjadi salah satu tantangan terberat bagi masyarakat kita saat ini. Pasalnya, kemajuan tersebut tidak hanya membawa pengaruh positif saja, tapi dibarengi dengan dampak negatifnya pula. Sementara dari yang kita lihat, tidak sedikit orang yang memilih dan memutuskan untuk mengikuti hal-hal negatif daripada yang positif.
Maka, ketika seseorang tidak memiliki prinsip atau  memahami kebenaran, mereka dipastikan akan menjadi orang yang terdepan yang mudah terpengaruh untuk menyebarkan berita hoaks. Sementara di sisi yang lain, ada pula orang yang tidak berpikir panjang menerima dan mempercayai hoaks begitu saja.
Padahal, kalau kita menyaksikan berbagai media, sudah banyak yang berurusan dengan aparat hukum dan menerima sanksi. Hal itu tidak cukup membuat efek jera bagi para pelaku yang ingin menyebarkan hoaks tersebut.
Apa yang salah dengan masyarakat kita? Bagaimana seharusnya mencegahnya?
Permasalahan di masyarakat memang sangatlah kompleks. Ada banyak yang melakukan tindakan penyimpangan karena kegagalan sosialisasi primer. Keluarga gagal menanamkan nilai dan norma ideal bagi anggota keluarganya. Bisa saja karena krisis keteladanan di keluarga atau kurangnya perhatian dan keterbukaan satu dengan yang lainnya.
Sementara pada tingkat sosialisasi sekunder (di masyarakat), dapat ditimbulkan oleh dampak  pergaulan yang salah atau karena ingin menunjukkan eksistensi diri dengan cara yang salah kepada orang-orang di sekitarnya.
Menurut hemat saya, peran keluarga dan sekolah akan tetap menjadi tumpuan utama untuk menyelesaikan permasalahan penyebaran hoaks tersebut. Sehingga para pelajar masa kini dapat terhindar dari tindakan yang melanggar norma hukum.
Untuk itu, sebuah keluarga harus hadir dan mampu menjadi lembaga yang dapat memenuhi kebutuhan spiritual dari setiap anggota keluarga. Sehingga tumbuh rasa hormat kepada Tuhan, dan menghargai sesama umat manusia. Kemudian fungsi keluarga yang relevan dengan hal tersebut, harus dijalankan semestinya. Misalnya fungsi kasih sayang, proteksi, sosialisasi dan pendidikan (informal) pada keluarga harus terus dirawat dan ditumbuhkan.
Bagaimana pula dengan peran sekolah?
Sekolah yang merupakan sarana pendidikan formal, yang menjadi wadah pendidikan nasional, sesungguhnya dapat mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Kalau berbicara tentang praktikanya, sebenarnya ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkan fungsi pendidikan nasional tersebut. Misalnya, dengan membangun semangat literasi bagi para pelajar.
Bersamaan dengan itu pula, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan lokal.
Dengan membaca dan menulis, atau yang merupakan literasi yang dikenal paling awal dalam sejarah peradaban manusia tentu dapat membuat seseorang menjalani hidupnya dengan kualitas yang lebih baik.Â
Terlebih lagi di era yang semakin modern yang ditandai dengan persaingan yang ketat dan pergerakan yang cepat. Kompetensi individu sangat diperlukan agar dapat bertahan hidup dengan baik.
Jika salah satu (literasi baca tulis) dari enam jenis literasi (literasi baca tulis, numerasi, sains, finansial, digital, serta budaya dan kewargaan) yang sedang digalakkan pemerintah dijalankan dengan maksimal, bukan tidak mungkin maraknya hoaks kelak akan semakin minimal.Â
Apalagi materi baca tulis tersebut berkaitan dengan nilai-nilai budi pekerti, berupa kearifan lokal, ketahanan nasional, dan persaingan global. Maka sosok seperti "LH" seperti pada pemberitaan di atas, tidak dengan mudah lagi menyebarkan hoaks, tetapi justru menyalurkannya pada hal-hal yang postitif dan membangun.
Salam Penguatan Pendidikan melalui Gerakan Literasi.
___________
Sumber Referensi :Â
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H