Mahatma Gandhi pernah menyampaikan, ada tujuh dosa sosial yang umumnya terjadi di masyarakat. Dosa sosial tersebut, tentu bukan saja menyeruak di era Ghandi, tapi sampai sekarang pun masih menjadi dosa sosial yang masih sering ditemui. Ketujuh dosa sosial yang dimaksud adalah kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, ilmu tanpa kemanusiaan, pengetahuan tanpa karakter, politik tanpa prinsip, bisnis tanpa moralitas, dan ibadah tanpa pengorbanan.
Dari ketujuh dosa sosial tersebut, saya tertarik ingin mengangkat poin tentang "politik tanpa prinsip" menjadi sebuah tulisan. Mengapa?
Tahun 2019 ini merupakan tahun penting dalam perpolitikan nasional. Tepatnya tanggal 17 April 2019, bangsa kita akan melaksanakan pemilihan presiden/wakil presiden beserta legislatif yang meliputi DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota secara serentak.Â
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang selalu diawali dengan pemilihan legislatif menyusul kemudian pemilihan presiden/wakil presiden. Tentu situasi perpolitikan yang demikian akan berpotensi menimbulkan panasnya suhu perpolitikan nasional.
Mengingat genderang kampanye telah dimulai sejak 2018 lalu, maka berbagai strategi pemenangan pemilu pun telah dirancang. Untuk itu, perlu kembali diingatkan agar masing-masing pihak yang terlibat dalam perpolitikan tersebut, tetap mengikuti rambu-rambu yang ada. Menjalankan perpolitikan dengan prinsip yang kokoh.
Sesungguhnya, apa yang menjadi prinsip dari perpolitikan tersebut? Menurut hemat saya sebagai awam, bukan pelaku politik, apalagi pakar politik, menganggap bahwa dasar negara atau kelima sila dari Pancasila tersebut sejatinya dapat dijadikan sebagai prinsip dasar. Ditambah dengan tata perundang-undangan dan etika yang berlaku di masyarakat.
Misalnya, kalau merujuk pada Pancasila, maka bagaimana menghormati Tuhan yang disembah melalui praktik politik yang dilakukan oleh para calon dan pendukungnya. Artinya, harus selalu menjaga kejujuran, integritas dan mengedepankan hati nurani. Kemudian tetap menghargai dan menghormati sesama manusia dalam berkompetisi.
Mengutamakan persatuan dan kesatuan dalam menjalani setiap proses politik. Tidak menjadikan politik sebagai sarana pengadu domba antar suku, ras, agama dan golongan. Menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, bahwa segala sesuatu yang dilakukan harus bermuara pada rakyat.Â
Seperti hakikat demokrasi itu sendiri. Dari rakyat untuk rakyat dan oleh rakyat. Dan terakhir, politik tersebut harus ditujukan untuk mewujudkan kepentingan keadilan dan kesejahteraan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi, golongan maupun partai.
Kalau kita mengamati dari berbagai media dan secara langsung, sejak dimulai proses kampanye pemilu, ternyata tidak sedikit yang terlihat menyimpang dari prinsip perpolitikan itu sendiri. Serta banyak pemandangan unik di sana-sani, seperti kepura-puraan para calon ketika mulai berkampanye.
Ada calon dan tim suksesnya yang rajin masuk ke pasar-pasar, padahal sebelumnya tidak pernah menginjakkan kaki di pasar tersebut, ada pula orang yang tiba-tiba ramah dan perhatian kepada kesusahan dan kemiskinan rakyat, senang menyambangi masyarakat marginal ke bantaran kali hingga kolong jembatan, bahkan ada yang dengan mudahnya mengobral janji keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Sesungguhnya magnet politik itu begitu kuat. Mampu memengahuri seseorang berubah dalam sekejap.