Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Masihkah Sekolah Menjadi Pilihan di Era Industri 4.0?

27 Februari 2019   19:18 Diperbarui: 28 Februari 2019   08:32 819
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar : Senior SDH-LC

Bukankah terlalu banyak orang pintar secara kognitif yang telah merusak bumi yang kita diami ini? Menjadi provokator di tengah-tengah masyarakat? Merampas hak-hak orang yang miskin dan lemah? Membantai orang tanpa kenal rasa kemanusiaan?

Saya bukan orang yang anti dengan sekolah yang mengajarkan kognitif. Kognitif bahkan perlu. Tanpa kognitif kita tidak memiliki konsep tentang sesuatu. Kita tidak dapat berkata apa-apa. Tapi amat disayangkan kalau sekolah tidak serius mengajarkan kecakapan hidup, karakter yang baik dan prinsip-prinsip kebenaran. 

Seperti yang sudah saya sampaikan terdahulu, sebab proses mengajarkan kognitif sekarang ini sudah bisa diambil alih oleh kemajuan teknologi, tetapi tidak dengan kecakapan hidup, karakter dan prinsip.

Selain hal yang sudah dipaparin di atas, maka sekolah pun harus hadir mengajarkan kemandirian belajar pada anak didik. Meminjam istilah yang digunakan Rhenald Kasali dalam bukunya The Great Shifting. Pendidikan di sekolah sudah saatnya bergeser dari guru yang mengajar what subjects menjadi guru yang mengajar how to learn. Mengajar, bagaimana seorang siswa harus belajar.

Bagaimana sesungguhnya cara guru mengajar how to learn? Menurut saya pribadi, guru yang mengajar how to learn adalah guru yang mengajak anak didiknya keluar dari modul atau text book menuju kehidupan nyata. 

Guru yang mentransfer hidupnya pada anak didik melalui keteladanan sehingga siswa tersebut mengikutinya. Guru yang mendorong anaknya untuk berani mencoba hal-hal baru secara mandiri. Guru yang mengantarkan anak didik melihat masa depan itu seperti "apa", sehingga anak didik mulai mempersiapkan diri "bagaimana" dan seterusnya.

Jadi cepat atau lambat, sekolah yang mengajar kognitif semata maupun berbasis what subjects dipastikan akan mengalami disruption. Sekolah tersebut perlahan akan ditinggal. Kalau pun tidak ditinggal, mereka akan menghasilkan alumni yang tidak siap memasuki dunia nyata karena minus kecakapan hidup, karakter dan prinsip. Apakah benar demikian?

Silahkan saja bandingkan dengan hasil terbaru yang dirilis "World Economic Forum" yang mencatat bahwa 10 skill yang dibutuhkan pada era industri 4.0 tahun 2020 antara lain, complex problem solving, critical thinking, people management, coordinating with others, emotional intelligence, judgment and decision making, service orientation, negotiation, cognitive flexibility, creativity.

Pertanyaannya, seberapa banyakkah dari 10 skill tersebut berbicara tentang kognitif atau yang dapat diperoleh dengan cara mengajar what subjects? Hampir semuanya bicara tentang non kognitif bukan? Atau semua merupakan produk yang diajarkan dengan how to learn. Memang begitulah kebutuhan zaman yang terus berdinamika. Seandainya ada sekolah yang fokus pada kognitif dan what subjects bagaimana mungkin dia dapat bersaing?

Amati saja, akhir-akhir ini sering kita menyaksikan orang-orang pintar menganggur, perusahaan yang gulung tikar. Kenapa? Bukan karena tidak berkognitif tapi ada unsur-unsur non kognitif yang terabaikan. Jadi di era ini pintar kognitif saja tidak cukup.

Mengingat era ini adalah era industri 4.0 yang penuh persaingan dan tantangan, apalagi hampir semua jenis industri telah terintegrasi dengan internet (internet of things), big data, cyber physical system, dan network.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun