Seorang guru yang mencoba mengajar siswanya tanpa memberikan inspirasi agar mereka memiliki hasrat untuk belajar, adalah seolah memalu besi yang sudah dingin.(Horace Mann)
Guru yang sesunguhnya adalah guru yang menginspirasi. Sebagai guru, ini adalah tantangan. Sebab tidak sedikit guru yang hanya bisa mencekoki teori dan konsep semata di depan kelas. Sejatinya guru tersebut harus keluar dari zona itu. Saya tidak berkata bahwa teori dan konsep tidak penting. Tapi saatnya guru menginspirasi anak didik belajar dari kehidupan.
Saya pribadi terkadang mencoba cara-cara baru, dalam proses menginspirasi anak didik agar memiliki hasrat belajar dengan cara yang berbeda. Seperti pada pembelajaran di mata pelajaran Sosiologi.
Kira-kira dua minggu yang lalu, Â saya telah membimbing sekitar 30 orang anak didik kelas XI IPS di tempat saya mengajar. Mereka saya tugaskan untuk membuat sebuah tulisan tentang kisah hidup orangtua masing-masing. Sebab, sesungguhnya banyak hal yang bisa mereka teladani dari orangtua yang mereka kasihi.
Bukan itu saja, banyak pengalaman hidup dari orangtua yang semestinya dijadikan sebagai pembelajaran dalam kehidupan. Mulai dari strategi mencapai kesuksesan dan menghadapi kegagalan. Menyikapi setiap tantangan dan kesempatan yang menghampiri orangtua mereka.
Sebagai seorang guru, yang mendidik mereka, saya berharap bahwa penugasan yang demikian tidak berhenti pada pengerjaan tugas semata. Tetapi ada kesempatan untuk 'sharing' dengan orangtua. Dengan demikian kita sebagai pendidik turut berkontribusi agar hubungan anak dan orangtua terbina komunikasi dan interaksi yang intens. Hingga tetap terjaga kehangatan keluarga. Tentunya, secara khusus bagi orangtua yang terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya atau memiliki waktu terbatas dengan anak.
Saya pun sungguh takjub dengan hasil penugasan tersebut. Mereka mengerjakannya dengan antusias. Dan setelah mereka mengumpulkan tugas tersebut, saya pun membacanya satu-persatu untuk dinilai sesuai dengan rubrik penilaian yang telah saya buat terlebih dulu.
Sungguh, ternyata hasil tulisan dari anak didik saya tidak hanya berguna bagi mereka saja. Bahkan bagi orang lain yang turut membacanya juga tidak sedikit yang tergugah, termasuk saya.
Untuk rekan-rekanku pendidik, sesungguhnya banyak cara yang bisa kita pikirkan untuk membangun komunikasi dan interaksi yang intens antara orangtua dan anak. Berharap penugasan yang kita berikan bisa berkontribusi untuk mendukung perwujudan kehangatan keluarga.
Bukan dalam rangka menggurui, setidaknya cara yang sudah saya lakukan berkali-kali ini ternyata bisa bermanfaat untuk mengajak anak-anak untuk meneladani dan belajar dari pengalaman orangtua. Membangun komunikasi dan interaksi dengan orangtua. Hingga mendukung wujud kehangatan keluarga.
Sebagai bahan informasi, dalam memberikan penugasan yang demikian, setidaknya ada beberapa langkah yang saya persiapkan.
Pertama. Saya terlebih dahulu menyusun rubrik penilaian. Dan sudah barang tentu rubrik itu pun harus dipahami anak didik yang akan mengerjakan penugasan tersebut.
Kedua. Setiap anak didik mulai memikirkan dan merancang pertanyaan untuk bahan wawancara mereka terhadap salah satu orangtua mereka.
Ketiga. Siswa melakukan wawancara di rumah masing-masing.
Keempat. Dari hasil wawancara tersebut, kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan yang dikerjakan di sekolah. Tentu agar sebagai guru bisa memantau orisinilitas tulisan dan mendampingi mereka dalam proses pengerjaannya.
Nah berharap dengan tulisan sederhana ini bisa bermanfaat bagi pembaca. Bahkan bisa menularkan semangat kehangatan keluarga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H