Sejak sekolah dasar (SD) saya terbiasa disuruh ibu untuk menulis surat kepada keluarga adik-adiknya. Apakah karena tulisanku bagus? Tentu bukan. Tulisan saudaraku yang lebih tua jauh lebih bagus dari tulisanku loh! Mungkin karena saya lebih senang menulis barangkali (baca : merangkai kata-kata).
Dari tujuh bersaudara, keluarga ibuku memang sejak dulu semuanya ada di Pulau Jawa. Ada yang tinggal di Jakarta, Solo dan Tegal. Hanya ibuku yang tinggal di Sumatera. Untuk berkumpul atau bertemu tentu tidak semudah seperti sekarang. Disamping sarana transportasi yang masih terbatas, tiketnya juga sangat mahal. Jadi untuk bertemu, bisa sampai puluhan tahun.
Cara yang paling sering digunakan untuk berkomunikasi yakni dengan surat menyurat. Bagi generasi milenial atau post milenial, mungkin tidak bisa lagi membayangkan bagaimana perjuangan untuk berkomunikasi di masa dulu. Mulai dari nulis surat, ngirim ke kantor pos, hingga menerima balasan dari saudara. Prosesnya bisa sampai berbulan. Artinya, untuk menanyakan kabar saja, kita harus menunggu jawaban sebulan kemudian.
Sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Hitungan detik, kita bisa tahu kabar dari seluruh anggota keluarga. Bukan hanya kabarnya saja, tapi hampir seluruh aktifitasnya bisa kita ketahui dari media sosial. Itulah kehebatan era internet dan era digital. Wajar, hampir seluruh anggota keluarga dari ibuku telah memiliki media sosial seperti facebook, whatsapp, Instagram, twitter, dan yang lainnya. Bahkan kita telah memiliki grup khusus untuk whatsapp. Rasanya semua keluarga yang jauh begitu dekat.
Bagi keluarga kami, inilah salah satu arti pentingnya media sosial tersebut. Seluruh anggota keluarga bisa intens berkomunikasi walaupun satu dengan lainnya saling berjauhan.
Bagaimana dengan keluarga Anda? Tentu banyak hal yang bisa dirasakan dari manfaat media sosial tersebut, bukan? Disamping untuk berkomunikasi, mungkin ada yang bisa memanfaatkannya  untuk memperoleh berita dan informasi, berjualan online, dan lain sebagainya.
Tetapi amat disayangkan bahwa tidak sedikit ternyata yang menyalahgunakan media sosial tersebut untuk hal yang negatif. Mulai dari menyebarkan fitnah dan kebohongan publik. Belum lagi ada yang jadi sering menunda dan melalaikan pekerjaan, menelantarkan anak dan tidak peduli dengan anggota keluarga lainnya. Hingga ada yang sampai kepada tahap kecanduan dan ketergantungan. Kayak narkoba aja ya? Serem kalau sudah begini.
Pertanyaannya, apakah media sosial tersebut salah? Jawabannya tentu tidak. Jika digunakan untuk hal yang positif dan bisa dikendalikan tentu akan bermanfaat. Berbeda sekali jika disalahgunakan dan tidak bisa dikendalikan. Ini yang akan menjadi masalah. Media sosial sebenarnya tidak ubahnya dengan sebuah pisau. Bisa digunakan untuk mengiris tomat, tapi bisa juga untuk melukai orang lain. Pilihannya selalu ada di tangan masing-masing.
Ini Era Internet dan Digital Bung!
Harus kita akui bahwa perubahan terjadi begitu cepat, termasuk dalam hal teknologi informasi dan komunikasi. "Ini era internet, era digital bung! Mana mungkin ada orang tidak mengenal atau media sosial lagi? Yang ada, banyak orang sudah keranjingan bermedia sosial." Begitulah kata seorang teman dalam sebuah diskusi di warung kopi.
Sejauh mana sebenarnya pengguna internet Indonesia yang mengakses media sosial? Saya pernah menemukan data di internet, yakni data Perilaku Pengguna Internet Indonesia yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII) berdasarkan hasil survey 2016.