Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seni Itu Ibunya Kreatifitas

28 Juli 2017   12:00 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:07 889
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

DSebagian besar orang dalam masyarakat kita, meski mungkin mereka sebenarnya mempunyai kesadaran yang lebih besar, berbicara seolah semua individu bisa dinilai dengan menggunakan satu takaran, yaitu pandai atau bodohnya mereka secara intelektual saja. (Howard Gardner)

Dalam buku-buku yang ditulis Howard Gadner, tentang teori multiple inteligence mengatakan bahwa setiap orang ternyata memiliki kekuatan masing-masing dalam hal kecerdasan. Ada yang memiliki kemampuan logika dan matematika, musik, kinestetik-jasmani, linguistik, spasial, antarpribadi, intrapribadi dan naturalis.

Sumber gambar : https://sites.google.com/a/creteschools.org/mrs-carriker-s-kindergarten-class/multiple-intelligences
Sumber gambar : https://sites.google.com/a/creteschools.org/mrs-carriker-s-kindergarten-class/multiple-intelligences
Jadi ternyata, kita tidak bisa menyamakan atau mununtut seseorang untuk menguasai sesuatu lebih, jikalau itu bukan bagian dari kecerdasannya.

Saya pun teringat dengan saudara tua saya, anak yang paling sulung di keluarga kami. Sejak sekolah dasar hingga sampai sekolah kejuruan (STM), setiap hari kerjanya melukis atau menggambar saja. Terkadang orangtua pun menegurnya agar lebih rajin membaca daripada menggambar.

Tetapi itulah yang namanya minat, agak sulit untuk dilarang. Dilarang sedikit malah menimbulkan masalah baru. Pada akhirnya, kesadaran orangtua kami pun tidak terlambat. Orangtua kami akhirnya justru lebih memilih untuk mengarahkannya masuk kuliah yang ada kaitannya dengan menggambar dari pada melarangnya terus-terusan. Dan tidak bisa saya bayangkan jikalau tadinya dia kuliah bidang yang lain yang tidak dia senangi, apakah dia mampu atau serius menyelesaikannya? Susah untuk dijawab.

Ada satu hal yang menarik yang saya amati dari saudara saya tersebut, akibat rajin menggambar maka unsur kreatifitasnya pun tergolong tinggi. Banyak perabotan di rumah kami yang dikerjakannya. Seperti meja belajar dan lemari. Belum lagi barang-barang yang tidak berguna bisa bermanfaat kembali. Bahkan kebiasaan tersebut masih dilakoninya hingga sekarang.

Begitu pula ceritanya dengan anak sulung kami. Sekarang usianya sudah sebelas tahun.

Sejak berumur dua tahun, anak sulung kami  mulai senang corat-coret kertas dan tembok. Jadi wajar kalau rumah kami selalu berhiaskan coretan yang tidak beraturan, dimaklumi aja, toh tembok rumahnya bisa dicat ulang lagi. Daripada menghambat imajinasi dan kreasi anak yang lagi berkembang, tentu lebih rugi nantinya.

Dokpri
Dokpri
Saya pun tidak akan menghambat hasratnya. Saya lebih baik memasilitasi daripada melarang. Untuk itu, saya mulai membeli buku gambar dan tentu dengan alat menggambar sekaligus untuk keperluannya. Uniknya, sejak kecil, dia ternyata senang dengan Faber Castell karena lebih nyaman dipakai dan warnanya juga cukup jelas, begitulah pengakuan anakku. Sesekali dia pernah mencoba merk lain, tapi sepertinya belum menemukan keasikan menggambarnya dibanding kalau menggunakan Faber Castell.

Sejak kecil, saya pun mendorong anak saya untuk ikut lomba mewarnai atau menggambar. Setidaknya melalui lomba yang diikutinya dapat meningkatkan percaya diri, berinteraksi dengan orang lain, hingga menumbuhkan semangat berkompetisi yang positif.

Usia empat tahun, adalah usia pertamanya mengikuti lomba mewarnai yang diselenggarakan dalam rangka HUT Kota Bekasi oleh Faber Castell. Anakku begitu antusias mengikuti lomba tersebut dan berusaha meluapkan kegembiraannya setelah selesai rangkaian acaranya.

Dokpri
Dokpri
Semenjak dari lomba tersebut, akhirnya anakku semakin rajin berlatih mewarnai dan menggambar. Hingga ada beberapa kali memenangkan perlombaan mewarnai dan menggambar berdasarkan kategori usianya.

Dokpri
Dokpri
Dokpri
Dokpri
Satu hal pengalaman yang paling berkesan baginya, ketika mengikuti even menggambar yang diselenggarakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Setelah selesai acara tersebut kami pulang ke rumah. Kami tidak menyangka even tersebut disiarkan di televisi swasta. Dia sangat bahagia melihat wajahnya terpampang di televisi tersebut ketika sedang asik menggambar. Baginya, itu adalah sebuah pengalaman yang menarik dan sulit dilupakannya.

Sebagai orangtua, saya tetap mendukung minat tersebut, sebab banyak hal yang positif yang didapat dari menggambar tersebut, seperti :

1. Melatih Kesabaran

Melihat berkembangnya gejala hidup instan dan seringnya berorientasi pada hasil bukan proses, maka anak-anak pun perlu tetap dilatih untuk hidup lebih sabar. Maka menurut hemat saya, menggambar adalah salah satu pembiasaan positif untuk melatih kesabaran, karena menggambar bukan sebuah hal yang instan tapi butuh proses untuk melihat hasilnya.

2. Menyalurkan Emosi Anak

Dalam perkembangan kehidupan anak, tentu bukan hanya fisiknya yang sedang bertumbuh, tapi aspek-aspek lainnya juga berkembang, termasuk aspek emosinya. Perkembangan emosi tersebut bila tidak diarahkan, maka tentu akan menjadi masalah bagi seorang anak. Menurut saya menggambar, ternyata biasa menjadi sarana yang dimanfaatkan oleh seseorang untuk menyalurkan emosinya.

3. Sebagai sarana rekreasi dan hiburan

Menggambar adalah salah satu rekreasi yang murah dan sederhana. Tentu juga dapat menjadi sarana hiburan bagi pelukis dan yang menikmati hasilnya. Daripada anak-anak menyaksikan hiburan di televisi yang kurang mendidik, atau keseringan menggunakan gadget, maka menggambar dapat menjadi sarana untuk mengalihkan perhatiannya dari hal-hal tersebut.

4. Mengembangkan potensi dan kreatifitas

Setiap anak memiliki potensi, melalui kegiatan menggambar potensi-potensi yang dimilikinya secara perlahan akan keluar. Apakah kemampuan berimajinasi, berkreasi, mengkomunikasikan apa yang ada dalam pikiran, jiwa estetika, dan lain sebagainya. Secara khusus untuk kreatifitas, bahwa dengan menggambar adalah sarana untuk mencipta sebuah ide dan gagasan yang baru, dengan menggambar maka kemampuan kreatifitas pun akan terasah.

Dari keempat hal tersebut, saya melihat bahwa dalam diri anak saya semakin terlihat kemampuannya mengelola emosinya, dan ketika ada permasalahan dengan teman-teman disekolahnya, dia langsung memiliki "pelarian" untuk menenangkan dirinya, yakni menggambar. Artinya, dia mampu menyalurkan emosi ke  arah yang positif.

Kemudian kemapuannya berkreasi ternyata lumayan baik, terkadang saya melihat bahwa dia sering memanfaatkan mainan lamanya menjadi sesuatu yang menarik setelah dimodifikasi. Serta yang terpenting, bisa mengalihkan perhatiannya dari bermain game dan gadget kepada kegiatan lain yang lebih mendidik.

Disamping hal-hal yang telah saya sebutkan di atas, ada hal lain yang terpenting dan lebih menarik sebagai alasan saya tetap mendukung anak saya untuk berlatih menggambar. Bahwa anak saya tersebut ternyata sangat berbeda era yang dihadapi dengan era kehidupan yang saya hadapi sebagai orangtuanya .

Kita harus akui bahwa generasi sekarang, Generasi Millenial (Gen-Y) dan Generasi Post Millenial (Gen-Z) adalah generasi yang sangat berbeda tantangannya dengan generasi terdahulu. Ketika mereka hidup di era digital seperti sekarang, mereka harus siap menghadapi kecepatan perubahan dan kompetisi yang semakin ketat.

Unsur kreatifitas sangat jelas terlihat peranannya. Untuk itu generasi sekarang harus difasilitasi dengan kemampuan berkreasi. Dengan modal belajar kognitif (akademis) yang banyak berteori saja, tentu tidak akan mampu untuk mewujudkan dan menjawab tantangan yang mereka hadapi.

Oleh karena itu, kemampuan psikomotoriknya harus diasah untuk mengimbangi hal-hal yang berbau kognitif. Salah satu dari unsur psikomotor tersebut adalah seni (menggambar). Dengan seni, tentunya akan mampu menggali dan meningkatkan kemampuan berpikirnya untuk mengembangkan imajinasi dan kreatifitasnya. Bisa dibilang bahwa seni adalah ibu dari kreatifitas tersebut. 

Pertanyaan pentingnya, sudah kita fasilitasi anak kita untuk mendukung kemampuan seninya? 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun