Siapa pun pasti menginginkan kota tempat tinggalnya maju dan sejahtera. Tentu kesejahteraan itu tidak serta merta terjadi dengan sendirinya. Kesejahteraan sebuah kota setidaknya akan terwujud apabila tercipta sinergi yang baik antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Wajah sinergi itu pun sedang ditampilkan dalam sebuah acara talkshow dan diskusi yang digagasi oleh Danamon dan komunitas blogger Ketapels (Kompasianers Tangerang Selatan Plus) dengan menggandeng Sekar Purnama (Sentra Batik Khas Tangerang Selatan).
Kegiatan yang dilaksanakan (25/3) tersebut pun mengusung tema yang sangat menarik "Saatnya Batik Etnik Tangsel Memegang Kendali Menuju Go Internasional". Diharapkan melalui even ini, lahir kesadaran bahwa ternyata Tangerang Selatan memiliki kearifan lokal yang layak untuk diangkat kepermukaan.
Bukan itu saja, melalui even talkshow dan diskusi tersebut, diharapkan ada dorongan yang semakin kuat untuk sebuah gerakan kebangkitan ekonomi kerakyatan.
Semangat Ibu Nelty Fariza, adalah semangat untuk mempertahankan kearifan lokal dan mengangkat perekonomian rakyat Tangerang Selatan tersebut patut diacungi jempol dan harus didukung.
Sebagai narasumber pertama dalam acara tersebut, Nelty sangat tegas mengatakan bahwa batik itu adalah budaya bangsa kita. Batik perlu dilestarikan. Jangan sampai dicaplok negara lain baru kita berteriak.
Benar sekali, terkadang masyarakat kita banyak yang kurang peduli dengan budaya kita. Tetapi ketika beberapa kali budaya kita diklaim oleh negara tetangga, baru teriak-teriak seperti pahlawan kesiangan.
Biar tidak jadi pahlawan kesiangan, yuk kita cintai budaya kita. Salah satu hasil warisan leluhur kita yang harus tetap kita cintai dan lestarikan yaitu batik, yang juga pernah diklaim oleh negara jiran. Tetapi kita bersyukur bahwa batik resmi diakui PBB (UNESCO) sebagai wawasan kemanusiaan untuk budaya lisan dan bendawi milik Indonesia sejak 2 Oktober 2009.
Kemudian Nelty memaparkan, bahwa batik itu sejak dulu adalah simbol budaya yang banyak digunakan masyarakat kita. Bahkan penggunaannya pun pada awalnya sangat sakral. Batik sejak lahir sampai meninggal pun melekat dengan budaya masyarakat. Misalnya ketika anak kecil baru lahir, si anak sering digendong dengan menggunakan batik. Terkadang ada anggapan bahwa dengan menggunakan batik sebagai gendongan, maka akan membawa keberuntungan. Batik juga digunakan untuk berbagai upacara mulai dari pernikahan, kehamilan hingga menutup orang yang meninggal.
Hanya, sekarang sudah banyak pergeseran. Batik sudah lebih banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mulai dari jenis pakaian, taplak meja, sarung bantal dan lain sebagainya.
Bahkan untuk pakaian sendiri pun, batik telah masuk ke semua segmen, termasuk anak muda yang mulai menggandrunginya. Peran desainer seperti Iwan Tirta, Obi dan Lenny Agustin tentu sangat berperan dalam mengembangkannya. Hal itu diungkapkan oleh Leony yang berprofesi sebagai lifestyle blogger sebagai narasumber kedua.
Bagi pengrajin batik, meningkatnya minat dan penggunaan batik adalah tantangan sekaligus peluang. Dikatakan tantangan, karena industri batik tekstil pun semakin meningkat pula. Tentu pengrajin batik seperti yang dikelola Ibu Nelty harus bersaing ketat. Disamping karena harga batik tekstil lebih murah, batiknya juga diproduksi dalam jumlah besar. Tidak seperti pengrajin batik, harganya lebih mahal dan yang dihasilkan juga hanya sedikit.
Sementara dari sisi peluangnya, karena permintaan semakin meningkat, tentu usaha batik akan tetap hidup. Dengan demikian, batik akan tetap lestari dan bahkan bisa sebagai sumber pencaharian bagi masyarakat, terutama masyarakat pengrajin. Tinggal bagaimana menyiasati dan membangun kesadaran agar masyarakat tetap tertarik memilih batik yang dihasilkan pengrajin daripada batik tekstil.
Sebenarnya, ditengah-tengah berkembangnya industri batik tekstil, masih perlukah mempertahankan batik yang dikerjakan oleh pengrajin? Disamping harganya mahal seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya, serta kuantitas yang dihasilkan juga kalah dengan industri batik tekstil.
Memang kalau bicara bisnis semata, beda ceritanya. Masalahnya, bicara batik itu tidak semata-mata bicara bisnis, tapi jauh lebih penting dari hal itu, yakni bicara warisan budaya yang harus dilestarikan dan yang menjadi kearifan lokal masyarakat.
Ditengah-tengah modernisasi dan globalisasi yang sering menggerus tradisi, selayaknya kita harus tetap memiliki prinsip dan bangga akan budaya luhur yang kita miliki. Bukankah itu sebuah kekayaan budaya yang bisa kita wariskan bagi generasi berikutnya?
Dan semestinya kita mendukung perjuangan yang dilakukan Ibu Nelty. Sama halnya dengan komitmen pemerintah Tangsel yang beberapa kali menjadikan hasil batik pengrajin Sekar Purnama dalam even nasional bahkan internasional. Bahkan berbagai sekolah dan perguruan tinggi yang ikut menghayati  filosofi batik melalui pelatihan atau workshop ditengah-tengah kurikulum yang begitu padat.
Disamping itu, ada pula kesiapan Bank Danamon untuk mendukung UKM yang demikian. Sebab Danamon melihat permasalahan usaha kecil menengah itu sering berhubungan dengan modal. Untuk itulah Danamon sebagai perbankan memberikan fasilitas pinjaman. Salah satu jenis pinjaman yang berhubungan dengan modal usaha adalah pinjaman produktif. Dimana fasilitas ini diharapkan dapat meringankan pemilik usaha sebab bunganya relatif kecil.
Adapun jenis fasilitas pinjaman Danamon tersebut diantaranya, Kredit Rekening Koran (KRK), Kredit Berjangka (KB) dan Kredit Angsuran Berjangka KAB). Tergantung sesuai kebutuhannya.
Berharap dengan sinergi dari masyarakat, pemerintah dan swasta dapat berpengaruh positif bagi kelestarian budaya yang menjadi kearifan lokal dan membangkitkan ekonomi kerakyatan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H