Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Three Ends", Pelangi Bagi Perempuan dan Anak

6 Januari 2017   09:22 Diperbarui: 6 Januari 2017   09:59 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Narasumber diskusi 'Bersama Mengakhiri Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak' (dokpri)

Permasalah kekerasan pada perempuan dan anak merupakan isu penting dalam masyarakat, yang tidak akan ada habisnya jika dibicarakan dan didiskusikan.

Di media massa, baik cetak maupun elektronik, saban hari bisa kita dapat menyaksikan permasalahan tersebut. Itu sebenarnya masih sebagian permasalahan yang terangkat ke permukaan. Belum lagi masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tidak terekspos.

Berdasarkan data Komisi Nasional Perempuan, bahwa tercatat sebanyak 321.752 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2015. Sementara itu KPAI mencatat terdapat 1.698 pengaduan kekerasan terhadap anak pada tahun 2015, dengan 53% di antaranya adalah kasus kekerasan seksual. Selebihnya 40,7% merupakan kasus penelantaran, penganiayaan, eksploitasi untuk seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.

Untuk itulah pemerintah dan masyarakat harus bergandeng tangan untuk memutus mata rantai kekerasan pada perempuan dan anak dengan serius.

Khususnya era pemerintahan Jokowi, dalam hal ini, salah satu yang menjadi misi kabinet kerja adalah terwujudnya perempuan dan anak yang berkualitas, mandiri dan berkepribadian.

Oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) misi ini diturunkan dalam tiga pilar yakni pertama, pemberdayaan perempuan. Kedua, perlindungan perempuan dan anak. Serta ketiga, pemenuhan hak anak.

Sumber : KPPPA
Sumber : KPPPA
KPPPA sendiri memiliki strategi untuk mewujudjan isu gender dan isu hak anak sebagai isu yang harus menjadi perhatian seluruh warga Indonesia. Untuk tahun 2016, misi dari KPPPA tersebut diimplementasikan dalam program Three Ends.

Adapun harapan dan tujuan akhir dari Three Ends tersebut, pertama, mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kedua, mengakhiri perdagangan manusia. Ketiga, mengakhiri kesenjangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.

Ketika pemerintah gencar melakukan kampanye terhadap program tersebut, sebaiknya masyarakat merespon, melaksanakan bahkan ikut mengawasinya. Dengan demikian, permasalahan yang ada di masyarakat diharapkan semakin minimal.

Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Dalam acara nangkring yang dilaksanakan KPPPA-Kompasiana (3/12/16), terlihat sekitar 85 orang Kompasianer sangat antusias mendengarkan dan menanggapi diskusi tentang 'Bersama Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak’.

Adapun yang menjadi narasumber pada kegiatan tersebut diantaranya Agustina Erni (Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KPPPA), Dr. Sri Astuti (Dosen UHAMKA, pendamping perempuan & anak Rusun Marunda), serta Vitria Lazarini, Psikolog Yayasan Pulih.

Untuk kesempatan pertama, Agustina Erni, memperkenalkan salah satu deputi yang ada di KPPPA yakni deputi yang menangani bidang partisipasi masyarakat. Deputi tersebut memiliki mitra kerja dalam masyarakat seperti lembaga organisasi keagamaan, organisasi masyarakat, dunia usaha, kalangan profesi, serta media.

Menurut Erni, bahwa mitra kerja dengan masyarakat tersebut perlu dibangun, sebab KPPPA tersebut terbatas dan tidak akan mampu berjalan sendiri, mengingat bahwa SDM KPPPA sangat terbatas bila bandingkan dengan luas wilayah Indonesia serta jumlah penduduk yang mencapai 252 juta jiwa.

Apalagi dari jumlah penduduk tersebut terdiri dari 49,75% perempuan. Kemudian 1/3 jumlah penduduk tersebut adalah usia anak dibawah 18 tahun yang menjadi fokus perhatian KPPPA tersebut. Itulah alasan pertama mengapa peran masyarakat sangat penting dan strategis dalam mendukung usaha untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Selain itu,isu kekerasan terhadap perempuan dan anak tersebut ada disekitar keluarga dan masyarakat. Sehingga masyarakat tentu akan lebih cepat dan mudah aksesnya masuk dalam penanganan masalah, bila terjadi.

Erni juga memaparkan perlu pemberdayaan setiap elemen seperti anak atau perempuan, keluarga dan masyarakat secara bersama. Artinya tidak hanya memberdayakan satu atau dua elemen saja, tapi keseluruhannya. Hal ini menjadi rujukan dari Teori Ecological Models of Human Development (Bronferbenner). Menariknya teori tersebut lebih tepat diterapkan di negara non kapitalis.

Kemudian membangun prinsip sinergi untuk setiap unsur dalam masyarakat tidak boleh diabaikan, terutama dalam hal berbagi informasi dan pengetahuan serta tidak saling menyalahkan dalam kekurangan maupun kegagalan.

Terakhir, Erni juga menambahkan bahwa penanganan dengan konsep mitigasi sosial perlu juga dikembangkan. Misalnya, dalam sebuah masyarakat ada 10% lokasi yang positif atau yang baik, maka 10% tersebut menjadi percontohan, tentu dengan mendapat dukungan dari pemerintah ataupun masyarakat. Dengan demikian diharapkan akan mampu memengaruhi 90% lokasi yang negatif atau buruk tersebut.

Selanjutnya narasumber kedua Sri Astusi memaparkan pengalamannya sebagai pendamping perempuan & anak Rusun Marunda. Sri Astuti mengawali pemaparannya dengan kompleksnya permasalahan di wilayah binaannya. Padatnya penghuni di rusun tersebut, lingkungan yang kurang aman dan nyaman, dapat menimbulkan masalah-masalah sosial, seperti kekerasan seksual pada anak, perilaku hubungan yang kurang wajar, serta maraknya penelantaran.

Untuk penanganan masalah tersebut, khususnya untuk korban selama ini, prosesnya terlalu panjang serta kurangnya pendampingan bagi korban. Sehingga banyak korban permasalahannya tidak terselesaikan dengan baik. Untuk itu telah diusulkan dibentuk ruang layanan khusus untuk perlindungan anak di rusun tersebut. Disamping proses penanganan lebih mudah, tetap ada pendampingan terhadap korban.

Sri Astusi mengganggap tindakan preventif perlu ditingkatkan untuk meminimalkan kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlu langkah-langkah solutif. Diantaranya yang sedang diusulkan dan dirancang bangun adalah pemberdayaan warga yang potensial. Seperti yang telah disampaikan Erni tentang mitigasi sosial, yakni harus melibatkan 10% warga potensial untuk mempengaruhi yang lainnya.

Setidaknya langkah tersebut telah dimulai melalui outbond-outbond. Melalui outbond diharapkan ada suasana yang berbeda. Melalui outbond akan terbangun suasana kekeluargaan, kerjasama dan kepemimpinan. Dengan pendekatan ini diharapkan informasi, ide-ide dan solusi bisa lahir dari warga potensial tersebut. Dengan demikian mereka bisa menjadi champion atau agen-agen perubahan yang berdaya dan mampu melakukan pendampingan langsung terhadap masyarakat.

Disamping itu, sinergi dari semua pihak, termasuk kelembagaan dalam masyarakat seperti UPRS, RW, RT, karang taruna, jumantik, dan lain sebagainya, tentu sangat perlu untuk mendukung setiap program-program yang dijalankan.

Sebagai narasumber ketiga Vitria Lazarini, Psikolog Yayasan Pulih. Menanggapi tentang penanggulangan kekeraan terhadap perempuan dan anak (korban) perlu penanganan khusus dan serius. Diawal pembicaraan Vitria mengatakan bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan, siapa pun bisa menjadi korban kekerasan.

Permasalahannya, selama ini bahwa penanganan korban kekerasan selama ini sering kurang efektif. Fokus utama perhatian adalah korban, sering keluarga korban tidak terperhatikan. Padahal keluarga korban adalah pihak yang sangat dengan korban yang tentu harus bisa menjadi pendamping utama korban. Disamping itu penanganannya pun sering fokus pada dampak yang segera, padahal permasalahan korban kekerasan sering bersifat jangka panjang.

Perlu diketahui bersama, bahwa korban kekerasan terkadang mempengaruhi seluruh aspek kehidupannya, mulai dari fisik, perasaan (emosi), pola pikir, perikaku, moral spiritual, dan hubungan sosialnya. Dengan demikian, pendekatan psikososial amat diperlukan. Jadi, seharusnya bukan hanya korban yang harus diintervensi, tetapi keluarga dan masyarakat korban juga sangat penting.

Disamping itu, pendampingan korban pun sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan dirinya kembaliserta penyelesaian masalah sebaiknya berdasarkan kacamata si korban sebab masing-masing korban memiliki cara sendiri, bukan dengan cara pandang orang lain.

Vitria juga menambahkan, bahwa disamping korban, ternyata pelaku juga perlu mendapat penanganan khusus. Terkadang ada pelaku yang tidak sadar atas tindakannya, untuk itu layanan khusus atau rehabilitasi pun amat dibutuhkan untuk pelaku. Sehingga dimasa berikutnya pelaku tidak melakukan tindakan yang berulang.

Diakhir diskusi, narasumber sepakat bahwa tindakan pencegahan kekerasan jauh lebih murah. Dengan demikian diharapkan kesadaran masyarakat ke depan semakin meningkat, tentu peran Kompasianer sangat diperlukan untuk mengkampanyekannya melalui tulisan-tulisannya.

Akhir kata, mari kita akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak dengan program Three Ends. Bahkan bersama-sama berkomitmen menjadikan program Three Ends sebagai pelangi yang indah bagi kaum perempuan dan anak, demi kemajuan masyarakat dan bangsa kita.

Salam

Facebook I Twitter

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun