Ketika saya membeli gadget baru, ternyata saya dan anak saya, berbeda pada proses awal penggunaannya. Saya cenderung suka buka buku petunjuk terlebih dahulu, sementara anak saya tanpa basa basi, langsung utak atik. Inilah beda saya yang dibesarkan di era analog, sementara anak saya lahir di era digital.
Perlu diketahui bersama, bahwa beda generasi analog dan digital salah satunya adalah dari sisi sarana prasarana yang digunakan. Kalau era saya dibesarkan (era analog) masih banyak menggunakan sistem manual atau menggunakan tenaga manusia, peralatan cenderung lebih sederhana serta peralatannya kurang efisien. Berbeda dengan era digital bahwa sistemnya bekerja secara otomatis, peralatan lebih canggih, dan jauh lebih efisien.
Tetapi saya beruntung, lebih mudah beradaptasi. Mungkin karena berada pada masa transisinya kali ya? Salah satu contohnya, awal kuliah masih menggunakan mesin ketik untuk buat laporan, tetapi di akhir perkuliahan sudah menggunakan komputer untuk menulis skripsi. Awal kuliah masih terima kiriman bulanan pakai wesel pos, tetapi di akhir sudah menarik uang pakai ATM. Dulu sempat menggunakan surat untuk memberi kabar ke orang tua, terakhir sudah tinggal mengirim pesan pakai SMS. Inilah buktinya saya ada di era transisi.
Tetapi satu hal yang penting, bahwa saya harus siap menerima perubahan. Sebab 'satu hal yang pasti adalah perubahan, yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri', kata orang bijak. Jika tidak, memang akan ketinggalan zaman dan gaptek. Mau? Kalau begitu kita harus siap belajar teknologi yang terbaru, tentu dengan bijaksana.
Berbicara tentang teknologi, salah satu yang berperan besar
dalam kehidupan saya saat ini adalah gadget. Sebagai orang yang aktif dan banyak bergelut dengan dunia tulis menulis di blog, maka gadget merupakan kebutuhan primer.
Dengan gadget di tangan, maka dengan cepat ide langsung dituangkan dari otak ke gadget. Setelah dituangkan dalam bentuk tulisan, biasanya pada waktu yang hampir bersamaan langsung dipublish di blog. Sementara untuk mempercepat arus penyebaran ke tangan pembaca, langsung klik 'share'. Praktis dan mudah toh? Hanya butuh tiga langkah saja 'write', 'publish' dan 'share'. Jadi deh!
Berbeda dengan zaman saya dulu. Waktu itu eranya media cetak. Repot, ribet dan tidak praktis. Bayangkan, sudah capek nulis, capek pula nunggu beritanya apakah dimuat atau tidak, entahlah. Syukur-syukur kalau medianya baik mengembalikan tulisan kita dan dikasih feedback pula.
Harus diakui bahwa memang teknologi tidak bisa dilawan, kita hanya perlu menyiasati dengan bijak. Sebab tidak semua teknologi berdampak positif.
Ngomong-ngomong tentang gadget yang saya sebutin sebelumnya, bahwa gadget bisa saya katakan sangat berperan besar dalam menunjang aktivitas saya. Tentu tidak bisa lepas dari produk telkom juga tuh. Misalnya, selama ini dengan setia menggunakan produknya telkomsel yaitu kartu simpati. Saya memilih dan senang menggunakan kartu ini karena jangkauannya lebih luas. Artinya kalau bawa gadget ke daerah manapun, sinyalnya tetap oke. Jadi untuk menulis tentu tidak terganggu, terutama ketika mau publish tulisan ke blog, karena jaringan internetnya tetap lancar.
Uniknya kartu simpati telkomsel yang saya gunakan ini ternyata sudah berumur panjang. Sejak 2003 loh, ketika awal merantau ke Jakarta. Senang menggunakannya sebab jasanya sangat besar. Mulai dari nomor kontak untuk panggilan kerja hingga saat ini banyak digunakan untuk kepentingan menulis.
Ini sekilas cerita saya seputar #IndonesiaMakinDigital. Nantikan cerita-cerita lainnya ya! Sekarang, mana ceritamu?