Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mempertanyakan Relevansi Sumpah Pemuda di Era Teknologi

5 Oktober 2016   14:21 Diperbarui: 21 Maret 2019   20:55 1148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Smeaker.net

Sumpah Pemuda

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.

Kami Putra dan Putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Masih relevankah isi Sumpah Pemuda tersebut di masa sekarang? Bagaimana mewujudkan Sumpah Pemuda tersebut di era teknologi informasi dan komunikasi? Bagaimanakah kaitan Sumpah Pemuda dengan pembangunan Indonesia melalui teknologi informasi dan komunikasi? 

Saya yakin tiga pertanyaan tersebut sangat esensi untuk dipikirkan dan ditindaklanjuti demi cita-cita Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yakni menciptakan masyarakat yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur.


Bulan ini (28 Oktober), bangsa kita akan merayakan kembali peringatan hari Sumpah Pemuda, yang ke-88. Komitmen yang mengatakan bahwa kita satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Tentu ikrar tersebut merupakan antitesa perjuangan primordial saat itu. Perjuangan primordial yang sudah cukup panjang perjalanannya dan dirasa tidak efektif untuk mengusir penjajah. 

Kalangan terpelajar akhirnya pertama sekali membangunkan semangat nasional, yang kemudian hari dilandasi dengan rasa persatuan dan kesatuan. Inilah jalan baru yang dianggap akan mencapai cita-cita kemerdekaan bangsa. Tidak diduga bahwa 17 tahun kemudian setelah Sumpah Pemuda diikrarkan, Bangsa Indonesia akhirnya merebut kemerdekaannya 17 Agustus 1945, yang baru kita rayakan. 

Tentu itulah tiga pondasi perjuangan bangsa kita pada era penjajahan, yang hasilnya bisa kita nikmati hingga saat ini. Membangun rasa kebangsaan (1908), membangun persatuan dan kesatuan (1928), serta titik kulminasi perjuangan (1945). 

Dengan demikian, saat ini pun kita harus tahu betul bahwa kita berjuang untuk apa? Tentunya berjuang untuk membangun negeri dengan tetap mempertahankan ketiga pondasi tersebut. Rasa kebangsaan, persatuan dan kesatuan dan kemerdekaan untuk berkarya. 

Tetapi mengisi kemerdekaan dan membangun negeri ini tidak semudah yang kita bayangkan. Cukup pelik permasalahannya. Hal ini sudah pernah diingatkan oleh Bung Karno sebelumnya. Perjuangan kita jauh lebih berat dari pada perjuangan pendahulu kita. Mengutip pernyataan beliau bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Betul sekali! Apa yang dikatakan oleh Bung Karno, bisa kita saksikan saat ini. Tantangan bangsa kita saat ini adalah menghadapi bangsa kita sendiri. Ada anak bangsa yang terlalu sibuk dengan dirinya, kelompoknya, partainya, dan yang lainnya. Kita sering terlena untuk memilih belajar dari pengalaman, belajar merajut masa depan, serta membangun kreatifitas. Bahkan tidak mau atau mungkin tidak mampu berpartisipasi dalam mengisi dan membangun bangsa ini. 

Bahkan ada orang yang dalam pikirannya hanya ingin menghujat, menghina sesama anak bangsa. Mengolok-olok pemimpinnya. Tidak bersedia membuka diri atas perbedaan yang ada, baik perbedaan ras, agama, suku dan golongan. Bagaimana kita bisa mengejar ketertinggalan, sejajar dengan bangsa lain yang sudah jauh lebih maju? Tentu membangun pribadi yang sehati dan sepikir, melangkah bersama, bahkan membenahi diri masing-masing untuk menghadapi perubahan-perubahan yang semakin cepat, itu sebenarnya jauh lebih penting. Dengan demikian, kita selalu siap dengan tantangan-tantangan baru yang menanti di depan.

Bila kita ikuti perkembangan zaman, era ini tidak hanya membutuhkan orang-orang pintar-cerdas, tetapi orang yang kreatif. Semua pasti menyadarinya. Era teknologi informasi secara perlahan telah menggeser masa keemasan industrialisasi. Bahkan ini sudah pernah disampaikan oleh Alfin Toffler seorang futurolog Amerika Serikat dalam bukunya"The Third Wave". Setelah masa keemasan agraris, akan tergeser oleh masa keemasan industri, kemudian masa industri tersebut digeser oleh masa informasi.

Saya sendiri sangat merasakan perubahan tersebut. Dulu saya masih sempat kuliah pertanian, atas saran orang tua, walaupada akhirnya tidak saya selesaikan. Alasannya sederhana, pada masa itu sarjana pertanian sangat prospektif. Tetapi berlanjut kuliah, saya melihat geliat industri semakin hebat. Bahkan teman-teman di kampus pun dari tingkat tiga sudah banyak yang mendapat beasiswa ikatan dinas dari industri-industri yang berkembang pada waktu itu. 

Tetapi berbeda dengan sekarang. Orang sudah mulai ramai mengejar kampus-kampus yang berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Kenapa? Lihat saja, sekarang sebagian besar kehidupan telah dipengaruhi dan ditopang oleh kemajuan TIK. Anak-anak muda kreatif semakin banyak. Bahkan yang berprestasi untuk tingkat nasional dan intertnasional pun tidak sedikit.

Salah satu fakta yang tidak terbantah adalah maraknya aplikasi online, media sosial, industri berbasis IT, bahkan hampir setiap orang memiliki gadget yang tentu berbasis TIK. Sehingga dengan mudahnya untuk memperoleh dan menyebarkan informasi secepat kilat. Tidak salah kalau John Nasibit pernah berkata bahwa “Sumber kekuatan baru bukanlah uang yang berada dalam genggaman tangan beberapa orang, tapi informasi ditangan orang banyak” Lihatlah jutawan dan miliarder baru, semakin banyak lahir dari kalangan penggiat IT.

Untuk itulah generesi sekarang harus berbenah. Memanfaatkan kemajuan TIK untuk membangun bangsa. Menyuburkan kecintaan bangsa, membangun persatuan dan mengisi kemerdekaan dengan sungguh-sungguh. Memanfaatkan sisi positif perkembangan TIK demi kemajuan bangsa.

Tidak jauh berbeda dengan pisau, bahwa pisau bisa digunakan untuk mengupas kulit bawang,bisa juga untuk melukai orang. Demikian halnya perkembangan TIK saat ini, khususnya dalam kaitannya dengan memperoleh dan menyebarkan informasi. Banyak orang dapat merasakan manfaat yang positif darinya, tetapi tidak sedikit pula yang memanfaatkan sarana-sarana TIK seperti gadget untuk menyebarkan hoax, pembohongan publik, berita yang provokatif, dan lain sebagainya.

Menjelang perayaan Sumpah Pemuda ke-88, kita kembali menyadari bahwa bangsa ini butuh persatuan kesatuan mengingat bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang multi perbedaan. Artinya kita masih butuh mengikrarkan kembali Sumpah Pemuda tersebut. Memanfaatkan sarana yang berkaitan dengan TIK untuk menyebarkan informasi-informasi yang inspiratif dan memotivasi agar anak bangsa dapat  tetap melihat persamaan dalam perbedaan. Menginformasikan hal-hal yang mendorong kemajuan. Dengan demikian, bahwa salah satu peran sarana TIK di tangan kita, akan ikut berpartisipasi dalam mewujudkan pembangunan bangsa. Dengan demikian Sumpah Pemuda Jilid II di Era Teknologi Informasi dan Komunikasi benar-benar dapat terealisasi.

Salam persatuan dan kesatuan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun