Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jangan Rampas Hak Kami!

11 Agustus 2016   12:40 Diperbarui: 11 Agustus 2016   12:59 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sekitar duabelas tahun yang lalu, saya pernah memiliki anak santun di pelosok Kalimantan, Dedek Hadijah namanya. Waktu itu Dedek masih duduk di kelas 4 SD. Sesekali dia berkirim surat untuk berterimakasih. Tak lupa juga dia menceritakan bagaimana kehidupan keluarganya. Terkadang miris dan sedih membacanya. Memiliki cita-cita tinggi, tetapi kondisi orang tuanya tidak memungkinkan untuk membiayai sekolahnya. Jangankan untuk sekolah menengah dan sekolah tinggi, untuk sekolah dasar saja sudah kesulitan. Orang tuanya bukan tidak berusaha, tetapi kondisi alamnya sedang tidak bersahabat untuk memberikan hasil yang terbaik untuk pertanian mereka.

Kehadiran sebuah Non Government Organization (NGO) atau yang lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ke daerah tempat tinggal Dedek, menjadi pembuka harapan bagi masyarakatnya. NGO tersebut telah berhasil menghubungkan antara donatur dengan masyarakat yang membutuhkan dana pendidikan anak-anak di daerah tersebut. Saya memang tidak mengetahui akhir cerita Dedek. Setelah kondisi saya tidak bekerja waktu itu, akhirnya saya menginformasikan ke NGO tersebut untuk mencari penyantun pengganti buat Dedek. Keyakinan saya bahwa Dedek akan tetap bisa melanjutkan pendidikan dengan dukungan penyantun yang baru.

Kalau kita telusuri dari pelosok hingga pinggiran perkotaan, masih banyak 'Dedek' lain yang belum beruntung. Tidak bisa melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Atau bisa saja menikmati pendidikan, tapi di sekolah yang seadanya saja, tanpa di dukung standar pendidikan yang memadai. Dikala orang tua mereka kesulitan secara ekonomi bukan karena malas berusaha, tapi karena kondisi yang tidak mendukung. Apakah ini hanya tugas pemerintah saja? Atau tugas seluruh masyarakat untuk saling membahu. Tentu secara normatif tahu jawabannya.

Saatnya kita memikirkan sungguh-sungguh pendidikan anak bangsa secara keseluruhan. Tanpa pandang bulu. Bukan saja untuk kalangan berduit, tapi anak dari keluarga semiskin apapun harus merasakan pendidikan.

Ketika kita berbicara bahwa masa depan bangsa ini terletak pada kekuatan anak bangsa. Tentu tidak ada batasan atau syarat ketentuan berlaku. Semua anak bangsa memiliki (harus) kesempatan yang sama di negeri ini. Masalahnya, banyak yang belum peduli untuk berkontribusi mengantarkan anak tersebut ke depan pintu gerbang kesempatan. Memang komitmen pemerintah sudah jauh lebih baik, dengan keberadaan Kartu Indonesia Pintar (KIP) memberi kesempatan yang kebih luas bagi anak bangsa ini. Tapi, apakah semua telah menikmatinya? Negeri kita luas, penduduknya masih banyak belum terjangkau. Peran swasta dan masyarakat mampu tetap dinanti.

Sebagai bagian dari bangsa ini, saya pernah berpikir dalam ranah gagasan. Bagaimana seandainya jika digulirkan semangat dan gerakan membuat polis asuransi pendidikan bagi anak-anak yang benar-benar kurang beruntung secara ekonomi, atau bagi anak-anak yatim piatu. Cara atau strateginya bisa digodok atau dipikirkan oleh pihak yang memiliki kompensi dalam bidang tersebut. Ini semata-mata untuk mempersiapkan masa depan anak bangsa secara serius oleh pihak swasta atau masyarakat yang memiliki kemampuan lebih secara ekonomi. Tentu ini adalah salah satu tindakan untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial, meminimalkan jurang kesenjangan sosial. Jadi bukan semata-mata memiliki tindakan untuk memberi bantuan social semata. Tetapi membangun tanggung jawab berkeadilan sosial. Meminjam istilah Ahok, bahwa sila kelima yang kita anut tidak berbunyi "Bantuan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" tapi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia".

Sesuai dengan UU Perlindungan Anak, No.23 tahun 2002 pasal 9 ayat 1 berbunyi demikian “Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.” Dalam UU tersebut tidak memberikan pengecualian. Permasalahannya, bagaimana jikalau orang tua tidak memiliki kemampuan? Bagaimana kalau pemerintah memiliki keterbatasan, mengingat banyaknya anak-anak yang orang tuanya tidak mampu. Apakah mereka dibiarkan begitu saja? Tentu ini menjadi pemikiran dan tanggung jawab bersama.

Wah, rasanya tidak adil juga kalau terus menerus membahas hanya satu sisi saja. Dari tadi saya sudah membahas tentang mempersiapkan anak bangsa dari kelompok yang kurang mampu. Nah, sekarang mata kita perlu juga tertuju kepada kelompok masyarakat dimana orang tuanya memiliki kemampuan ekonomi. Ternyata dari kelompok ini, ada juga masalahnya tersendiri.

Tidak semua memandang persiapan pendidikan anak tersebut dijadikan sebagai prioritas keluarga. Tidak sedikit juga yang tidak rela untuk mempersiapkan pendidikan dari sejak dini. Kenyataannya, banyak yang lebih memilih mendahulukan keinginan-keinginan mereka. Tidak mempermasalahkan bagaimana menyekolahkan anak di tempat kualitas atau mempersiapkan pendidikan anak sedini mungkin sehingga kelak bisa sampai mencapai pendidikan tinggi yang terbaik.

Terkadang memiliki pikiran bahwa urusan pendidikan, nanti dipikirkan setelah anak beranjak sekolah menengah atau sekolah tinggi. Toh hari-hari masih panjang. Apalagi masih memiliki harta ini dan itu. Kenyataannya banyak yang mulai kesulitan setelah benar-benar menghadapi masa tersebut, karena sebelumnya tidak mempersiapkan sedini mungkin. Dulu seolah-olah berpikir jabatan dan harta yang dimiliki dulunya akan abadi. Ternyata tidak menyadari ada berbagai faktor X yang dapat merubah kehidupan, ada faktor resiko yang mungkin terjadi di depan.

Jadi, ternyata banyak anak putus sekolah bukan semata-mata karena dulunya orang tuanya kurang mampu. Tapi karena masa lalunya memiliki kemampuan sehingga menyepelekan masa depan, atau tidak pernah menyisihkan dana persiapan pendidikan sejak dini. Alhasil anak tidak bisa kuliah, anak kuliah di tempat yang kurang berkualitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun