Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kalau Sudah Bermimpi, Bangun dan Berlarilah!

25 Mei 2016   09:56 Diperbarui: 25 Mei 2016   13:36 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Membagikan ilmu bagi orang lain. (dokpri)

Anda melihat sesuatu dan bertanya: “Mengapa?” Tetapi saya memimpikan sesuatu yang tidak pernah terjadi dan berkata: “Mengapa tidak?” – George Bernard Shaw

Penggalan kalimat kedua itu sangat menarik untuk dibahas.

…… Tetapi saya memimpikan sesuatu yang tidak pernah terjadi dan berkata: “Mengapa tidak?”

Sebenarnya itulah spirit of dream.“Mengapa tidak?” dua kata yang dapat mengguncang, karena dengan kedua kata tersebut jelas bahwa seseorang memiliki keyakinan, harapan dan meyakini adanya peluang di depan. Benar, tanpa ada keyakinan maka sia-sialah mimpi. Tetapi dengan keyakinan, seseorang akan semangat untuk action, akhirnya mimpi menjadi nyata.

Sebagai manusia yang diciptakan sempurna, seseorang itu diberikan pikiran dan kemampuan bermajinasi. Bagi yang mau maju kemampuan itu akan dimanfaatkannya, termasuk dalam merancang impian.

Dari kecil hingga sekarang, saya senang bermimpi. Berbagai impian telah bersarang dibenak. Ada yang sudah berhasil dicapai, kalau sudah tercapai bahagianya luar biasa. Adakalanya juga mimpi belum tercapai, saya yakin ini adalah bagian dari proses pembentukan diri dan karakter. Tapi ternyata ada mimpi-mimpiku yang tidak tercapai. Jangan berputus asa. Bagi saya kalau tidak tercapai tentu ada alasannya, mungkin belum sungguh-sungguh mengerjakannya atau itu bukan hak, rejeki atau apalah namanya. Tetapi dibalik itu ada pelajaran yang sungguh indah, yang akan mengajari saya bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna, hanya Tuhanlah yang sempurna.

Dari beberapa mimpi, yang masih segar dalam ingatan saya, bermimpi menjadi pembicara publik untuk pengembangan diri dan literasi. Ini merupakan mimpi yang kuat untuk saya raih. Sejak kuliah, saya telah memimpikan hal itu. Bahkan saya merantau ke Jakarta 2002 pun tidak terlepas dari mimpi tersebut. Keyakinan saya bahwa Jakarta adalah tempat yang tepat untuk memberi peluang belajar dan mengembangkan diri lebih besar menjadi seorang pembicara publik.

Sesudah di Jakarta saya rajin mengikuti seminar dan pelatihan untuk menambah ilmu dan wawasan. Mulai dari pelatihan Tung Desem Waringin, Luhut Sagala, Sabaruddin Napitupulu, Andrias Harefa, Rhenald Kasali, Merry Riana, dan masih banyak lagi. Bahkan saya pernah berdiskusi cukup panjang dengan Guru Ethos Indonesia, Jansen Sinamo, tentang strategi sukses menjadi pembicara publik. Satu tips menarik yang pernah disampaikannya, “Selalu lakukan ATM, Ambil, Tiru dan Modifikasi. Lama kelamaan kamu akan terlatih.” Dalam berbagai aktifitas hal ini mulai saya terapkan.

Setelah mulai melakoninya, ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apa yang dipikiranku, tidak semua bisa saya diwujudkan. Hingga saat ini mimpiku belum menjadi kenyataan. Belum menjadi pembicara publik yang profesional. Masih harus banyak belajar dan berlatih.

Kaetika membaca buku Malcom Gladwell, Outliers, tenyata saya disadarkan bahwa butuh 10.000 jam untuk menjadi ahli. Sementara saya? Belum ada apa-apanya. Ini salah satu yang menyemangatiku kembali untuk tetap berlatih.

Tapi apapun yang sudah dicapai, saya bersyukur kepada Tuhan. Semenjak merantau ke Jakarta, banyak kesempatan yang pernah saya alami. Mulai dari ketemu dengan pembicara-pembicara publik yang luar biasa. Hingga dapat terjun menjadi pembicara (pelatih) dalam berbagai even, yang walaupun ruang lingkup yang kecil.

Ketika saya bekerja di sebuah NGO, setidaknya saya pernah membawakan pelatihan kepada orangtua binaan kami sebanyak 120 kali. Istilah yang kami gunakan waktu itu PLA (Parent Learning Activity). Mulai dari topik Mengelola Keuangan Keluarga (MKK), Mengenali Gaya Belajar Anak, Time Management, dan yang lainnya. Disamping itu, saya juga sering menjadi pembicara untuk berbagai kegiatan pengembangan bisnis serta untuk para pelajar.

Menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan. (dokpri)
Menjadi pembicara dalam sebuah kegiatan. (dokpri)
Membagikan ilmu bagi orang lain. (dokpri)
Membagikan ilmu bagi orang lain. (dokpri)
Menurut pikiran awalku yang sempit, sepertinya sudah banyak yang saya lakukan. Sehingga sering cepat merasa puas. Tapi ternyata setelah baca hukumnya Malcom tadi, Hukum 10.000. Saya belum apa-apa ternyata. Mungkin kalau di total secara keseluruhan menjadi pembicara paling tinggi masih 1.000 jam, artinya masih kurang 9.000 lagi.

Kalau berbicara di depan siswa sih sudah sering. Sudah 20 tahun menjadi guru, baik ditempat formal maupun non formal. Tapi lagi-lagi dunia mengajar dan pembicara publik yang saya maksudkan disini sangat berbeda  Tapi bagiku tidak masalah. Artinya perlu belajar lebih banyak lagi, memperluas pengetahuan. Harus meningkatkan ketrampilan berbicara mulai dari komunikasi yang efektif, menjadi pembicara yang menarik, dan berbagai teknik-teknik lainnya yang mendukung.

Melalui even #unlimit8 dari Kompasiana. Saya diingatkan lagi untuk serius memikirkan dan harus mengerjakan impian tanpa batasku. Untuk itu setidaknya delapan langkah berikut menjadi poin-poin penting untuk saya kerjakan demi mencapai impianku.

  1. Memperdalam pengetahuan dan wawasan. Artinya saya harus lebih banyak membaca literatur, berdiskusi dengan orang-orang yang mendukungku serta mengikuti berbagai pelatihan yang relevan diberbagai kesempatan.
  2. Memokuskan diri pada tema-tema yang sesuai. Tema-tema pengembangan diri begitu luas. Saya harus lebih jeli memilih salah satunya. Sehingga hokum menjadi ahli tersebut menjadi lebih besar peluangnya.
  3. Mengaplikasikan kemampuan berbicara untuk berbagai kesempatan yang ada. Sehingga menjadikan diri terlatih dan terbiasa.
  4. Bergaul dengan para pembicara publik. Menurut hemat saya, era digital tentu lebih mudah melakukannya dibandingkan lima atau sepuluh tahun yang lalu.
  5. Mengikuti berbagai komunitas yang proaktif membangun untuk membangun impian.
  6. Menentukan capaian-capaian target dan goalserta mengevaluasinya secara berkala.
  7. Meningkatkan aktifitas diberbagai media social sebagai wadah promosi dan brandingserta rajin menulis.
  8. Pada akhirnya, yang kedelapan ini lauh lebih penting. Awali dan akhiri selalu dengan doa. Saya ingat betul dari sejak kuliah kalimat ini. Jika kita bekerja, kita yang bekerja. Jika kita berdoa, Tuhanlah yang bekerja.

Salam menembus mimpi. "Bermimpi-Bangun-Berlarilah"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun