Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Buka Topengmu! Pendidikan Kita Berwajah Pancasila

24 Mei 2016   13:19 Diperbarui: 25 Mei 2016   11:02 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga merupakan wadah pendidikan yang paling efektif bagi setiap anak. Tidak ada alasan yang dapat menyangkalnya, karena memang setiap anak tersebut lebih banyak tinggal bersama keluarga. Sebagai pendidikan informal, banyak hal bisa diperoleh anak di dalam sebuah keluarga. Memberikan teladan kepada anak agar taat beribadah. Mengajarkan dan mengarahkan anak untuk tetap menjaga dan menjalankan nilai-nilai dan prinsip-prinsip keagamaan dalam kehidupan sehari-hari. Menyosialisasikan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sehingga dalam pergaulannya, anak-anak bisa hidup dengan baik dan benar. Bahkan menanamkan nilai-nilai nasionalis ternyata bisa juga dimulai dari rumah.

Ini merupakan pengalaman keluarga kami. Bagaimana di keluarga kami rasa nasionalisme itu ditumbuhkan? Saya mulai dari kutipan singkat percakapan mamaku dengan adikku yang bungsu. Percakapan ini terjadi kira-kira tigapuluh tahun yang lalu. Ketika mamaku mengajak si bungsu kami tidur, selalu aja ada tawar menawar dan kesepakatan. Percakapan tawar menawar dan kesepatan tersebut, bisa dilihat pada tulisan berikut. Tentu versinya bahasa daerah (bahasa Batak), karena keluarga kami dalam kesehariannya di rumah menggunakan bahasa Batak.

“Jef…., beta modom!”(artinya : “Jef….., ayo tidur!”) mamaku menarik tangan adikku sambil mengajaknya ke kamar. Dengan harapan addikku tidak mengganggu kakak-kakaknya yang akan belajar.

“Dang olo ahu. Mamereng dohot mambege ende Garuda Pancasila jolo ahu sian TV!” (artinya : “Gak  mau. Mau lihat dan dengar lagu Garuda Pancasila dulu di TV!” sahut adikku.

“Molo songoni hupaima da! Marjanji ate, molo ngasae dibereng dohot dibege ho ende Garuda Pancasila, langsung modom da!”) (artinya : “Kalau begitu, mama tunggu ya! Janji kalau sudah selesai lihat dan dengar lagu Garuda Pancasila, langsung tidur ya!” Lanjut mamaku lagi.

Kisah ini masih segar diingatanku. Kebiasaan yang unik memang. Adikku yang bungsu tidak akan mau beranjak ke kamar tidur jikalau belum mendengar lagu Garuda Pancasila. Walau dia belum sekolah, tapi televisi berhasil mempengaruhi pikirannya untuk senang melihat lambang dan mendengar lagu Garuda Pancasila. Orangtua kami juga mau memahami keinginan adik saya, bahkan ini dijadikan sebagai peluang mengajarkan tentang rasa kebangsaan sejak dini.

Mungkin rekan-rekan pembaca, yang pernah nonton TVRI zaman dulu, pasti ingat dan mungkin masih bisa membayangkan kalau setiap malam selalu dikumandangkan lagu Garuda Pancasila. Bahkan dalam tanyangan singkat tersebut, satu persatu lambang dari setiap sila Pancasila akan ditampilkan. Mulai dari lambang  sila pertama, bintang. Selanjutnya sila kedua, rantai. Sila ketiga, pohon beringin. Sila keempat, kepala banteng. Sila kelima, padi dan kapas. 

Bagi kami, untuk menambah semangat dan antusisnya adik kami, tak jarang pula kami berlima ikut menyanyikan lagu tersebut.

Garuda Pancasila

Akulah pendukungmu

Patriot proklamasi

Sedia berkorban untukmu

Pancasila dasar negara

Rakyat adil makmur sentosa

Pribadi bangsaku

Ayo maju maju

Ayo maju maju

Ayo maju maju

Berbeda sekali dengan zaman sekarang, anak-anak sudah jarang mendengar lagu-lagu nasional yang demikian melalui media televisi. Anak-anak sekarang saban hari sudah disuguhi dengan berbagai iklan yang mengajarkan konsumerisme, sinetron yang merasuki pikiran anak-anak dengan budaya kekerasan, keserakahan, hedonis, individualis, kemewahan, konsumeris, dan masih banyak lagi. Bahkan celaka duabelasnya,   ada anak-anak yang mengira bahwa lagu parpol itu adalah lagu nasional.

Terlepas dari langkanya media hiburan di masa lalu jika dibandingkan dengan sekarang. Sehingga ada yang beralasan berkata bahwa dulu begitu antusias dengan acara-acara denikian karena memang tidak ada media lain, sehingga setiap orang akan menonton karena tidak ada pilihan. Bagi saya alasan tersebut sah-sah saja. Tapi perlu diingat, bahwa TVRI di zamannya telah berhasil 'merasuki' pikiran anak-anak untuk mengingat simbol-simbol kenegaraan, lagu-lagu nasional, bahkan berita-berita nusantara dan nasional setiap harinya. Atau perjuangan anak bangsa diberbagai pertandingan Sea Games, Asian Games, Olimpiade dan lain sebagainya.

Pendidikan Nasional adalah Pendidikan Berdasarkan Pancasila

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun