Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Aku Mau Hidup 1000 Tahun Lagi

12 Mei 2016   10:00 Diperbarui: 16 Mei 2016   07:02 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku mau hidup seribu tahun lagi". Pasti pernah mendengar kutipan puisi ini. Betul sekali! Ini adalah kutipan dari akhir puisi Chairil Anwar yang berjudul “AKU”.

Kalau boleh bermimpi, saya ingin hidup seribu tahun lagi, seperti yang disampaikan dalam puisi Chairil Anwar. Bermimpi setinggi langit, boleh kan? Setidaknya sebelum mimpi itu dilarang atau dikenakan pajak, hehehe.... Mengutip pernyataan Sukarno “Bermimpilah setinggi langit….Jika engkau akan jatuh, jatuh di antara bintang-bintang”. Artinya, kalau tidak kesampaian tidak masalah toh? Bahkan bermimpi itu tidak ada ruginya, yang rugi itu bila tidak pernah memimpikan sesuatu.

Aku mau hidup seribu tahun lagi. Bagiku ini adalah unlimited dream. Bukan secara fisik loh! Kalau secara fisik, ogah. Tua bangat. Maksud saya, saya ingin memiliki karya-karya besar yang bisa dikenang sepanjang masa. Bisa bermanfaat dan bermakna bagi orang banyak. Atau singkatnya, tulisanku mampu menembus zaman. Walau ragaku telah tiada, tapi jejakku tetap ada.

Berawal dari Perpustakaan Mini

Semasa kecil, dari lima bersaudara, saya adalah anak yang  mengikuti jejak papa. Senang membaca. Bermula dari melihat kebiasaan papa membaca dan membantu membersihkan rak-rak bukunya yang berdebu. Rak-rak buku itu telah diisi lebih kurang dari 400 judul buku. Saya tidak rela juga melihat buku-buku itu cepat rusak karena tidak dirawat. Saya berharap bisa diwariskan nantinya ke saya. Terkadang, saya sampai mengorbankan waktu bermain untuk membersihkannya satu persatu. Tetapi bagiku itu adalah keasikan tersendiri, sama nikmatnya bila dibandingkan dengan bermain layangan.

Sambil membersihkan, terkadang saya bolak-balik buku-buku yang ada gambar. Maklumlah! Hampir 95 persen buku itu adalah kategori bacaan berat. Artinya, anak-anak seusiaku pada waktu itu, masih sekolah dasar, belum mampu mencerna informasi seberat itu. Apalagi temanya berbau teologi, filsafat, etika, psikologi, pendidikan,sejarah, budaya dan masih banyak lagi. Kalaupun ada tema untuk anak-anak, itu relatif sedikit.

Lambat laun ternyata kebiasaan itu memberi minat baru bagiku. Mungkin karena papaku menangkap perubahanku, mulai cinta buku, maka ayahku mulai berlangganan majalah anak-anak. Si Kuncung adalah majalah yang menjadi langganan kami cukup lama. Majalah yang sarat dengan pendidikan. Masih ingat betul, kalau pak pos datang, hatiku begitu girang. Kemudian berlanjut dengan buku-buku cerita anak-anak yang bernuansa rohani dan cerita yang menanamkan nilai-nilai di masyarakat.

Beranjak SMP, saya mulai tertarik membaca koran, Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) adalah koran langganan keluarga kami. Kebetulan hanya koran inilah yang popular di daerah kami. Tapi jujur, awalnya saya hanya tertarik dengan komik 'Nasib Si Suar Sair'. Lama kelamaan baru mulai tertarik dengan kolom remaja yang dimuat hari minggu. Di sana ada banyak pilihan untuk kaumi remaja sepertiku. Dari puisi, cerpen, sahabat pena dan tidak ketinggalan dengan Teka-Teki Silang (TTS).

Semakin sering membaca, rasanya tanpa karya, ada yang kurang. Ibarat tong diisi air tanpa disalurkan, pasti meluber kemana-mana. Untuk itu, ketika dibangku kelas 3 SMP, saya memberanikan diri mengirim karya-karya saya ke majalah. Salah satu karya yang saya kirimkan yang mendapat respon adalah Teka-Teki Silang (TTS). Bahkan pada akhirnya, majalah tersebut, Suara GKPI memberikan kesempatan kepada saya untuk membuat TTS rutin setiap bulan. Selama empat tahun hal ini saya lakukan. Dari kelas 3 SMP hingga kelas 3 SMA. Lumayan, dapat honor. Minimal nambah jajan dan ditabung. 

Keberhasilan itu, membuat saya semakin berani berani mengirimkan ke media lainnya. Saya mulai mengirimkan puisi ke koran. Betapa senangnya puisi-puisi tersebut mulai ditayangkan. Kemudian diakhir masa SMA saya mulai mengikuti lomba menulis tingkat remaja. Tidak saya duga sebelumnya, ternyata tulisanku meraih juara ketiga pada waktu itu.

Masa surut tiba. Setelah kuliah, saya mulai berhenti menulis. Alasan sibuk kuliah, mengajar dan berorganisasi yang ku "kambing hitamkan". Bahkan sampai akhir kuliah saya kurang produktif dalam menulis. Hanya mengisi kepala dengan berbagai buku bacaan saja.

Ternyata bakat tidak bisa dipendam. Ketika bekerja di Non Government Organization (NGO) tahun 2003, saya terdorong kembali untuk menulis. Kesempatan ini langka pikirku. Makanya ketika ditawarkan temanku, langsung saya ambil kesempatan itu. Walau hanya buletin, tapi lumayan bangga juga. Setidaknya buletin tersebut dicetak lebih kurang 10.000 eksemplar tiap bulannya. Artinya hasil pikiranku dibaca puluhan ribu orang, berharap bisa jadi berkat bagi orang lain. Adapun topik-topik yang saya tulis mulai dari topik pendidikan, pengembangan diri anak, pendampingan anak oleh orang tua. Selain itu, di kantor kami saya proaktif untuk membantu pembuatan modul pelatihan juga. Lumayan, bakat lama terkubur bangkit lagi. Sayangnya ini berlangsung hanya dua tahun saja. Saya pindah kerja. Menjadi guru tahun 2005. Kesempatan menulis hilang lagi. Maklum tidak seperti sekarang banyak wadah, jadi sangat mudah untuk menjaga konsistensi dalam menulis. 

Syukurlah, ada sebuah kesempatan untuk merecharge semangat dan kemampuan menulis. Saya mengikuti pelatihan menulis yang diselenggarakan Rumah Perubahan dari Pak Rhenald Kasali. Program “Guru Menulis”. Pelatihan tersebut sangat berdampak bagi semangat menulis saya. Saya mulai rajin kembali menulis. Bahkan saya mulai memotivasi dan memprovokasi siswa-siswiku untuk menulis. Kaget luar biasa. Dari siswa-siswiku ternyata banyak yang berpotensi menulis. Bahkan waktu itu ada yang berhasil menulis di harian kompas, majalah kawanku, dan lain sebagainya. 

Keberhasilan siswa-siswiku menulis di Kompas, menjadi cambuk bagiku. Saya tidak mau kalah dengan mereka. Saya mencari komunitas yang sejalan dengan minat menulisku. PROPEC (Profesional and Entrepreneur Club) adalah pilihanku saat itu. Kebetulan komunitas ini lagi berencana menerbitkan buku. Saya manfaatkan peluang tersebut.  Kapan lagi ikut menulis buku bersama orang hebat? Ini kesempatan emas yang sulit terjadi. Tulisanku bersama 30 orang-orang terkenal. Singkat cerita, buku antologiku yang pertama lahir. Judul bukunya “Dahsyatnya Milis”. Saya sendiri memberikan kontribusi dengan menuliskan topik “Hartawan Informasi” dalam buku tersebut.

Dari pengalaman hidup yang saya ceraitakan di atas, khususnya di dalam dunia menulis, sering terjadi pasang surut seperti gelombang laut. Terkadang bersemangat dan menghasilkan karya. Tapi sebaliknya terkadang mengalami demotivasi tanpa karya, dalam setahun bahkan bertahun-tahun. Tapi berharap ini tidak terjadi lagi.

Mimpiku Tak Akan Padam Lagi

Diusia menjelang 40 tahun, orang bilang begin life is forty. Komitmen, disiplin dan konsistensi, tiga unsur yang harus diramu menjadi “pil” kesuksesanku dalam hal dunia literasi. Aku tidak mau kecolongan lagi. Aku tidak mau menyia-nyiakan bibit potensi dalam diri. Sehingga mimpiku tidak melayang lagi entah kemana, yang kumau, mimpiku tak akan padam lagi.

Dari 2014, kembali lagi saya mulai menekuni dunia menulis hingga sekarang. Di awali dengan sebuah Writing Contest yang diselenggarakan oleh sebuah media nasional. Dari ribuan peserta, saya bersyukur pada Tuhan, kalau tulisan saya akhirnya masuk menjadi pemenang 'top ten'. Inilah awal kebangkitan dan percaya diri saya kembali untuk berkiprah di dunia literasi.

Awalnya saya terarik mengikuti kontes. Alasannya jelas! Deadline memaksa menyelesaikan tulisan tepat waktu. reward memacuku untuk memberi yang terbaik. Pada akhirnya saya berkesimpulan, tidak ada yang mustahil. Ternyata kalau ada niat yang tulus, keberhasilan sedang menanti. Dari tahun tersebut hingga sekarang, prestasi demi prestasi mulai saya capai. Salah satu yang paling berkesan ketika terpilih sebagai finalis lomba sebuah media nasional dan bekesempatan untuk mengunjungi daerah operasional TOTAL di Kalimantan Timur semuanya gratis..tis..tis. Wow…tidak pernah terbayangkan olehku.

Kedepannya, saya berharap bisa menghasilkan banyak tulisan-tulisan yang menginspirasi lebih banyak lagi. Menularkan semangat menulis. Hingga suatu saat kelak, akan tetap dikenang, “Aku Mau Hidup 1000 Tahun Lagi”. Untuk itu saya akan tetap memperbanyak membaca, memperbanyak menulis, meningkatkan kualitas tulisan, menyebarkan tulisan agar dinikmati orang, menciptakan branding, selanjutnya terserah masyarakat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun