Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Ditlantas dalam Melakukan Revolusi Mental di Jalan Raya

9 September 2015   12:42 Diperbarui: 9 September 2015   13:26 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Tiap hari begini, sampai kapan ya saya bisa bertahan?” , “Sudah pagi lagi, bakalan berjuang kembali ditengah-tengah kemacetan”, “Pergi pagi, pulang sore, di rumah sudah larut malam, semua karena macet ” “Pusing, capek, sudah banyak masalah di kantor, dijalanan disambut dengan macet.” Masih banyak celotehan rekan-rekanku yang berdomisili atau bekerja di Jakarta. Bahkan saya sendiripun, sering mengalaminya.

Bagi masyarakakat yang berdomisili di Jakarta, dan orang-orang dari luar Jakarta yang sehari-harinya harus bekerja di Jakarta, seperti dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, kemacetan merupakan tontonan yang biasa bahkan menjadi pengalaman sehari-hari. Mau tidak mau, suka tidak suka, ya harus dilakoni dan dinikmati. Ya, begitulah kira-kira salah satu konsekuensi tinggal dan bekerja di Jakarta. Terkadang hidup di jalan raya sepertinya tidak manusiawi.

Ini menjadi momok, orang sebenarnya tidak senang dengan keadaan ini, tapi tidak seorangpun bisa menghindar dari kemacetan. Pekerjaan menanti, berbagai kegiatan harus dilakoni tentu harus melewati jalan raya pula, yang saban hari kecenderungan mengalami kemacetan.

Kalau dihitung-hitung dari segi waktu, banyak penduduk Jakarta dan sekitarnya bisa menghabiskan empat jam (lebih/kurang) diperjalanan. Dari segi efektifitas, ini sudah tidak wajar lagi. Berangkat kerja, kena macet, alhasil ditempat kerja sudah capek dan mengantuk. Pulang kerja, kena macet, pulang ke rumah sudah malam dan letih, sehingga waktu bersama keluargapun terabaikan. Belum lagi dari dari aspek kesehatan, polusi udara karena asap kendaraan tidak terhindari. Sementara dari aspek psikis, bisa buat orang gampang marah dan tidak sabaran. Itulah serba-serbi kehidupan ditengah-tengah kemacetan Jakarta.

Kenapa macet masih belum terselesaikan?

Berdasarkan data yang pernah disampaikan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya melalui republika.co.id, bahwa kuantitas dari kendaraan bermotor di Jakarta meningkat 12 persen tiap tahunnya.

Jika dilihat dari segi pertambahan kendaraan per harinya, ada 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan yang bertambah. Jumlah tersebut didominasi oleh pertambahan sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500 per hari. Sedangkan kendaraan roda empat mengalami pertumbuhan sebanyak 1.600 unit per hari. Jumlah tersebut, berdasarkan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang dikeluarkan Samsat Polda Metro Jaya setiap harinya.

Jadi, jumlah unit kendaraan bermotor hingga akhir 2014 di Jakarta ada sebanyak 17.523.967 unit yang didominasi oleh kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit. Diikuti dengan mobil pribadi sebanyak 3.226.009 unit, mobil barang 673.661 unit, bus 362.066 unit, dan kendaraan khusus 137.859 unit.

Berbeda halnya dengan infrastruktur pendukungnya. Pertumbuhan jalan Jakarta yang hanya 0,01 persen per tahun. Sehingga bisa disimpulkan ini menjadi penyumbang utama kemacetan yang terjadi di Jakarta.

Melihat fakta-fakta diatas, jelaslah bahwa pertambahan kendaraan bermotor yang begitu pesat peningkatannya, serta pembangunan jalan raya yang tidak serta merta mengikutinya menjadi masalah utama kemacetan di Jakarta.

Berbagai cara telah dilakukan pemerintah untuk mengurai kemacetan, seperti pembatasan kendaraan yang memasuki area tertentu, car free day, three in one, larangan parkir di pinggir jalan. Berikutnya, peningkatan angkutan publik yang ‘lebih manusiawi’ seperti bus way, kereta api, dan seterusnya. Serta, meningkatan infrastuktur jalan raya yang bisa menampung lebih banyak kendaraan,seperti pelebaran jalan dan membangun jalan-jalan layang oleh pemerintah. Tetapi ternyata tidak serta merta Jakarta bebas dari kemacetan.

Harapan itu namanya kesadaran

Masih adakah harapan untuk Jakarta? Menurut hemat saya, harapan itu masih ada. Harapan itu sendiri namanya adalah kesadaran. Kesadaran untuk menjadikan Jakarta sebagai kota bebas macet. Kesadaran ini untuk memanusiakan manusia di jalan raya. Tentu menjadi tanggung jawab semua pihak. Baik pemerintah sebagai pembuat kebijakan, pihak swasta penyedia transportasi, masyarakat pengguna jalan raya serta polisi (Ditlantas).
Tetapi dalam tulisan ini, secara khusus penulis lebih kepada harapan masyarakat kepada polisi lalu lintas, untuk memecahkan kemacetan di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun