Mohon tunggu...
Thuluw Muhlis Romdloni
Thuluw Muhlis Romdloni Mohon Tunggu... lainnya -

Bukan penulis, hanya orang narsis dan numpang eksis :D www.senjasagarmatha.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Peringatan! Jadi Guru Les Jangan "Pekewuhan"

28 November 2014   03:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:39 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin benar kata orang bijak "Kita tidak akan pernah mendapatkan sesuatu jika terlalu menginginkannya"

Dan malam ini, "sabda" itu berlaku bagi gue.

Ceritanya, ratusan menit sebelumnya, gue sudah ngebayangin kalau malam ini, tempat gue ngajar les sudah "harus" ngebayar jasa gue. Sudah disepakati antar dua belah pihak, setiap empat pertemuan keringat gue akan dilap dengan dua lembar cepek. Jujur sih, jumlah segitu adalah jumlah terbesar sepanjang karir gue jadi tukang les. Saat BBM naik, sekali pertemuan (yang tak lebih sampai 2 jam) diganjar 50 rebu. Wuiiihhhh, gimana ga semangat datang ke rumah gedongan itu. Biarpun hujan petir melanda, mubazir rasanya gue lewatin. Selain bayarannya lumayan, jarak dari rumah gue ke rumah gedongan itu cuma 5 menit. Oon banget kan kalau sampai gue nglewatin 50 rebu begitu saja.
Duh, kira-kira gue terlalu mata duitan atau nggak sih? Duit oriented gitu?

Pas awal dikasih amplop, bokap anak les gue tanya "Udah empat kali pertemuan ya?"
Gue pura-pura tersentak--aduh bakat akting gue gak ilang-ilang meski udah ribuan casting disamperin dan gak ada satupun yang make gue sekedar jadi figuran atau minimal tukang parkir para kru lah. "Sepertinya iya, Pak." Jawab gue santai--padahal hati gue udah girang banget. Gak mungkin kan gue bilang "Iya Pak, sudah keempat, pasti mau ngasih bayaran kan?" (Dialog begituan gue yakin cuma ada di sinetron atau novel gokil tipis yang seandainya buat nglempar kepala orang ga begitu terasa sakitnya). Bim salabim, amplop putih itu disodorkan ke gue. Rasanya pingin banget segera buka, maka sepanjang jalan gue cuma bisa nebak-nebak, palingan cuma seratus rebu alias sekali jumpa 25 rebu (ini tarif minimal lama gue he he he). Sesampai kamar, dengan membaca ta'awudz (kali aja gue kenak sihir lantas isi amplopnya daun bolong kegigit uler) tangan gue merobek amplop itu. Duaaarrrrrrrr! kaget, terharu, seneng, campur jadi satu. Gue merasa "dihargai" banget kali ini. Hiks...

Tibalah 4 hari di putaran dua--malam ini. Hujan gerimis, dingin menusuk. Tak ada alasan tak datang ke rumah gedongan itu, sambil berharap-harap sepulang dari sana kantong baju sudah terselip amplop. Teman, gue emang lagi butuh banget duit, niat gue, besok lusa duit 200 rebu itu gue pakai gemukin dompet buat nyicil ngebayar tunggakan kuliah, ini sumpah niat gue dari hati terdalam. Jadi kalian jangan sok-sokan nuduh gue munafik. Emang sih ada rencana nonton The Hunger Game: Mockingjay Part 1 di tanggal tua begini, tapi kan HTM XXI di kota gue cuma 15rebu di hari senin-kamis (hari favorit gue nonton). Tanpa nerima gaji privat, insya Allah 15 rebu masih ada di dompet.  So, I think tidak tepat jika kalian bilang gue matre, tepatnya kalian bilang gue "malang" sebagai mahasiswa yang telat bayar iuran.

Udah jam 8 lebih dikit, penderitaan gue berakhir juga. OMG, bocah yang gue les malam ini sedang "kumat". Babarblas susah diatur. Gak fokus. Sak karepe dewe. Tapi gue sabar, mencoba menikmati, kan abis ini bayaran--kira-kira begitu alasan logisnya. Saatnya pamit. Begitu keluar pintu, bokap murid les gue tanya "Udah berapa pertemuan ya?" DEGGGG! Astaga, kenapa harus ada pertanyaan seperti itu? Kenapa dia tidak "haqqul yakin" saja bahwa memang malam ini dia tepat waktu ngebayar jasa les  gue. Hiks... akhirnya gue basa-basi, gak tahan kalau harus ngomong "Iya, sudah saatnya bayaran" atau sejenisnya. Lagi-lagi gue bersandiwara, 'Wah gak ingat, Pak." (sumpah, bakda ngomong sok bego begitu, gue pingin banget nabok jidat gue pake sandal). Gilanya, gue makin larut dalam sandiwara menyengsarakan ini, "Kalau ke sini gak terlalu ingat hari keberapa gitu, Pak." (Hueeeekkkk, gue kok tega ya ngeluarin dialog ginian, padahal di script yang dibuat Pak Salman Aristo gak ada dialog ituh). Perlahan lemes (meski tidak gue ucapkan dan tampakkan), hingga akhirnya bokap murid gue ngasih solusi. Amplop dibayar besok dan ke depannya mulai ada ABSEN. Tidaaaaakkkkkkk. Gue paling gak cocok dengan les model absen, bukan apa-apa Gais, tapi kesannya kita tuh haus duit gitu loh. Kan sana yang butuh, harusnya sana yang "mikir" kan? Hiks, kesedihan gue seolah bertumpuk-tumpuk.

Gue menghela napas, pulang dari rumah gedongan hati gue jumpalitan tak keruan. Terus mencoba berdamai, berpikir positif. Tapi tetap berkali-kali hati kecil gue misuh-misuh sopan, ngata-ngatain sikap culun gue. Malang nian nasib gue. Imajinasi adegan gue menghadap bagian administrasi kampus pudar, seolah-lagi nonton bioskop lalu proyektornya mati. Lima menit meniti jalan basah, gue sampai rumah.

Ya Allah, kok ada ya makhluk macam gue. Basa-basi jadi susah sendiri, tapi kalau gak jadi gak enak ati. Simalakama bukan sih? Help...help...

Nah, kembali ke perkataan orang bijak yang laen "Waktu akan mengobati segalanya"

Oke, kabar baiknya, "sabda" itu juga berlaku ke gue. Beberapa saat, setelah gue masuk rumah, nyapa bokap nyokap, masuk kamar, keluar ke ruang tengah, melongok ke kamar mandi, masuk kamar lagi, keluar lagi, eh gue jadi banyak mikir, ada hal-hal yang akhirnya merasuk, mendamaikan jiwa dan hati gue yang gundah. Kerennya, gue sempat berdesis "Alhamdulillah ala kulli khaalin", itu "mantra" yang lebih sakti dari "all iz well" lho. Ucapkan saja saat kau terkena "sial", moga Tuhan mau mengupas sesak dadamu, dan memeluk rasa sabarmu (ciaaaaahh garing banget gue tausiyah)

Teman, salah satu yang akhirnya menghibur gue adalah, bahwa sebelum kejadian ini, gue pernah ngalamin kejadian yang lebih sakit. Bayangkan, gue pernah..per...pernah..ga...gak...di..diba...dibayar les, dan itu bukan harga satu pertemuan, tapi SATU BULAN! Gimana gue gak megap-megap coba. Well, tapi itu sudah tertinggal jauh, dan sampai sekarang gue baik-baik saja, tidak terbayang lagi betapa ruginya gue satu bulan nggak dibayar, padahal tempat lesnya jauh, hujan badai pun gue tempuh. Ajaibnya, diantara 3 guru les di sana, hanya gue yang paling menonjol prestasi (nongolnya). Jarang-jarang izin, trus durasi lesnya paling lama. Awalnya memang kecewa sih, tapi lama-lama juga kecewa. Eh. Tapi akhirnya seiring waktu gue mau membuka hati. Yah, namanya orang, bisa saja lupa. Dan gue percaya, LUPA menjadi lakon dalam kasus gue saat itu. Maka, kesimpulannya, seharusnya malam ini gue tidak harus nangis darah, meratap sambil pukul-pukul dinding kamar. Karena jangankan tidak dibayar 1 pertemuan, satu bulan tak dibayar tak membuat gue jadi manusia paling merana sedunia. Ha ha ha. Belum lagi kasus-kasus lain pas gue gak dibayar waktu suruh ngemsi (tanpa kesepakatan di muka kalo panitia nyuruh gue ngemsi suka rela, sssttt padahal acara itu yang ngadain CSR produk gede), atau bayaran ngemsi gue di salah satu acara yang ngedatengin tokoh nasional akhirnya raib (mungkin jatoh di jalan), atau dapet job nyanyi tapi pulang-pulang cuma diberi ucapan makasih dan salam perpisahan penuh harap "kapan-kapan datang lagi ya".... Hua huaaaa semuanya kalau diingat-ingiat emang miris, tapi lama-lama jadi manis ding (secara muka gue cap moka)

So, malam ini gue belajar lagi menata hati. Yang terjadi biarlah. Moga ada hal lain yang akhirnya bisa gue genggam, sesuatu yang lebih bernilai dari sekedar uang. Keep smile ya Gais. Sama-sama belajar jadi anak manusia yang lapang dada dalam setiap peristiwa :-)

#cerita curhat ini tidak nyata tapi bukan fiksi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun