Sebentar lagi akhir tahun.
Giran melihat kalender usang. Merabanya. Kalender yang hampir setahun ini terpasang di dinding kayu rumahnya. Sudah tanggal tiga puluh. Bulan dua belas. Lelaki itu tersenyum. Senyum pedih. Senyum perih. Dia menghela napas, sejenak. Matanya beralih sebentar dari deretan angka-angka kalender. Mengintip sebuah foto—yang tak kalah usang dari kalender, foto dirinya dan seorang wanita. Foto itu terpasang abadi di dinding kayu. Perlu berjinjit bila ingin meraihnya untuk sekedar memandangi lamat-lamat dari jarak dekat.
Miyat. Nama wanita itu. Kekasihnya sehidup semati, yang sayangnya sudah terlebih dulu pergi. Miyat adalah jejak cinta yang tak pernah larut. Takdir hidupnya unik. Ia seperti diciptakan untuk ditemui, dicintai, dan dipisahkan dalam waktu yang sama. Akhir tahun.
Maka, detik-detik menemui akhir tahun, sama saja dengan menghadapi sejuta bongkah rindu yang dihujam ke hati Giran. Disaat semua orang bersuka cita. Giran justru merasakan hal yang berbeda. Memoar itu berkilas, membawanya pada sebuah hasrat kotor, juga hasrat bodoh. Untung, sejak Miyat pergi empat tahun silam, dan empat kali Giran hendak melakukannya, takdir bercerita lain. Sama saja, empat kali itu, tangan Giran selalu gemetar. Sama saja, empat kali itu, kaki Giran selalu bergetar. Sehingga ia luruh diatas lantai rumahnya. Tergugu. Menangis tanpa air mata. Suara sorak-sorai warga desa yang menyambut tahun baru dengan mercon dan berbagai bunyi-bunyian, terpaksa ia telan. Sesuatu yang amat sangat ia benci. Ya, sejak empat tahun terakhir ini.
Giran melepas pandangannya dari melihat foto usang dengan Miyat. Tanpa menoleh kalender, lelaki yang sebenarnya tampan itu beranjak. Kakinya melangkah menuju dipan di ujung ruang sunyi itu. Giran rebahan. Dipan tua berderit. Detak jam berirama dengan sayup suara jangkrik. Giran menelan ludah. Mengingat kembali sepotong perjalanan hidupnya setiap kali menemui ujung pergantian hari-hari.
Langit bergemuruh. Rupanya malam ini hujan akan membungkus kampung berjam-jam. Seperti yang sudah-sudah.
Angan Giran mulai mengalir... pada sebuah pertemuan, tanggal 30 Desember, jelang akhir tahun 2002.
Miyat gadis desa yang sederhana, berhati baik, berwajah cantik. Saat pertama kali bertemu di Kali Cadas untuk sama-sama mengambil air bersih, Giran mulai jatuh hati.
Air sungai yang jernih berkecipak. Miyat hanya tersenyum melihat ada lelaki datang, lantas menurunkan usungan bambu tempat mengait jerigen bermuatan sepuluh liter. Sepanjang hilir-mudik ke sungai, baru kali itu Miyat menemui wajah tampan seorang lelaki. Miyat menyimpan rasa herannya dalam hati. Juga penasaran, siapa gerangan lelaki itu. Rasa-rasanya tak ada lelaki kampung yang tidak ia kenali. Apakah ia pendatang? Atau mahasiswa dari kota yang tiap tahunnya datang dalam rangka KKN.
Giran tercekat—sejak langkah kakinya menyentuh bibir sungai, dari jarak seratus meter sebelum melewati jalan terjal menurun, Giran sudah lamat-lamat menangkap seorang gadis, membungkuk-bungkuk mengepaskan muncong jerigen pada arus sungai yang mengalir sedang itu. Saat dirinya berada lebih dekat, Giran tak bisa menolak desir hatinya melihat Miyat.
“Kau ambil air sendirian?” Giran memulai percakapan.
“Iya, Bang.” Miyat meringis mengangkat jerigen yang sudah terisi penuh. Setelah badan jerigen terhentak di permukaan tanah di bibir sungai, Miyat mengelap dahinya, lantas tersenyum ke arah Giran.
“Kenapa tidak ada yang membantumu? Bukankah ini pekerjaan yang tidak ringan?” Giran menghitung jerigen yang dibawa Miyat. Ada empat. Sama dengan jerigen yang ia bawa.
“Aku sudah terbiasa, Bang.” Miyat tersenyum. Aduhai, meski wajahnya nampak lelah, di mata Giran, senyum itu seperti kelopak mawar merekah yang diguyur cahaya purnama.
Miyat membungkuk, meraih satu jerigen yang belum terisi. Tanpa menoleh ke arah Giran yang masih tercekat, Miyat kembali turun ke sungai. Kakinya tenggelam sampai pertengahan betis. Moncong jerigen kembali diarahkan melawan arus air yang mengalir tenang.
Giran menghela napas. Hatinya tak keruan. Antara kasihan, terpesona, dan kebingungan karena merasa tak mampu melakukan suatu hal yang bersinggungan dengan perasaannya. Giran lalu mengikuti Miyat, mengambil jerigen, turun ke sungai, dan mengarahkan moncong jerigen pada permukaan air.
Sesekali Giran memperhatikan Miyat. Tanpa pernah tahu Miyat sendiri tengah bertanya-tanya tentang dirinya sepanjang mengambil air dengan jerigen keempatnya.
“Apa setiap hari kau turun ke sungai ini?” Tanya Giran saat tahu Miyat mulai mentas dari sungai. Jerigen keempatnya sudah penuh.
Miyat menoleh. Tersenyum. Lagi-lagi senyum itu seperti kelopak mawar merekah yang diguyur cahaya purnama.
“Tidak setiap hari, Bang. Paling seminggu sekali, atau sering-seringnya dua kali,” Miyat menyeka rambut yang terurai di dahi.
Giran mengangkat jerigen ke bibir sungai. Menghela napas. Nafasnya naik turun. Ini baru pertama kali ia turun sungai. Sudah dua hari pamannya sakit. Sedangkan persediaan air makin menipis. Merasa tahu diri, Giran memutuskan mengambil air di Kali Cadas. Hanya berbekal rute singkat dari bibi yang sebenarnya belum terlalu ia pahami. Giran nekat. Bertanya pada warga kampung cukup membantu Giran mencapai sungai berair jernih itu.
“Aku duluan, Bang,” Miyat mengangkat usungan bambu di lehernya. Membuat kedua mata Giran membesar. Giran kehilangan ribuan kosa kata di kepalanya. Namun saat langkah-langkah tak goyah yang meikul empat jerigen air milik Miyat menghilang di ujung jalan tanjakan, kata-kata itu baru muncul.
“Kenapa tadi aku tidak menanyakan siapa nama dan dimana rumahnya?” Giran mendesis. Panjang napasnya terhela. Rasa sesal cukup membuat gerakannya tak bergairah. Giran kembali turun ke sungai, membungkuk, mengarahkan moncong jerigen melawan arus sungai.
Keesok harinya. Giran kembali mendatangi Kali Cadas, bukan untuk mengambil air, melainkan untuk bermain-main. Meski kemarin menyesal karena kehilangan jejak Miyat, Giran menemukan satu suasana menyenangkan dari Kali Cadas. Sungai itu seperti telaga di tengah sahara membara yang dipanggang matahari. Menjadi tempat yang sangat penting bagi warga kampung yang dilanda kesulitan air sekalipun di musim hujan begini. Kontur sungai yang landai, berair jernih, dengan batu-batu yang setengah permukaannya tertelan air, menjadikan Kali Cadas tempat menyenangkan untuk berbasah-basahan menyegarkan badan.
Saat menuruni jalan terjal menuju bibir sungai, Giran kembali menangkap sosok gadis yang tengah membungkuk dengan kaki tenggelam setengah betis. Giran mempercepat langkahnya, badannya menyenggol jerigen yang diangkut seorang lelaki setengah baya yang berpapasan dengannya.
“Maaf, Pak. Maaf,” Giran menempelkan dua telapak tangannya di depan dada. Lelaki bercaping yang sempat tersentak itu menatap Giran sebal.
Sampai di bibir sungai. Giran segera menegur Miyat.
“Selamat siang,” Giran menyungging senyum. Miyat menoleh. Keterkejutannya langsung ia sembunyikan dalam waktu sekejap.
“Selamat siang, Bang.” Miyat tegak. Mengangkat jerigen air lantas berjalan patah-patah menuju bibir sungai. Miyat tersenyum, masih sama, senyum itu seperti mawar merekah yang diguyur cahaya purnama.
“Perasaan baru kemarin kau mengambil air di sini, bukankah kata kau hanya sekali atau dua kali seminggu datang ke sungai ini?” Tanya Giran.
Miyat tertawa kecil. Tawa renyah yang hilang begitu saja seperti ikut larut dalam gemericik air sungai menerjang batu-batu.
“Miyat itu setiap hari juga kesini,” sebuah suara muncul dari belakang Giran. Seorang lelaki sepantaran Giran yang sejak tadi sudah berada di sungai itu—namun sama sekali tidak Giran perhatikan, tengah meringis lalu beranjak menuju setapak menanjak. Giran sia-sia menoleh cepat. Wajah lelaki itu gagal ia tangkap.
“Abang sendiri, kenapa siang-siang begini datang kemari? Mau ambil air juga?” Mata Miyat mencari-cari jerigen di sekitar tempat Giran berdiri. Tak berapa lama Miyat mengerutkan dahinya.
“Abang tidak sedang mengambil air, kok. Abang ingin bermain-main saja di sungai ini,” Giran tersenyum tipis. Merasa geli dengan tingkah Miyat.
Miyat cuma mengangguk. Lalu kembali membungkuk mengambil jerigen, dan segera turun ke sungai. Kakinya terendam hingga setengah betis. Suara langkah menginjak kerikil sepanjang setapak menuju bibir sungai terdengar. Giran menoleh, seorang lelaki setengah baya datang memikul usungan bambu. Jerigen kosong di kedua sisinya bergoyang-goyang. Giran mulai merasa tidak nyaman mendapati orang lain datang. Ia ingin suasana Kali Cadas yang sepi, seperti kemarin.
Giran tersenyum melihat kegigihan Miyat. Benarkah setiap hari gadis itu kesini? Giran terus bertanya-tanya. Langkah lelaki itu mendekati tiga jerigen di samping usungan bambu yang tergeletak di atas tanah. Giran mengambil satu jerigen. Lalu bergegas turun ke sungai. Sekejap rasa dingin membalur kakinya. Air berkecipak.
“Abang bawa jerigen? Katanya mau main-main saja disini?” Miyat menoleh.
“Ini jerigen yang kau bawa. Abang ingin membantumu mengambilkan air,” Giran berkata mantap. Miyat mematung sejenak dalam posisinya—membungkuk seraya menoleh ke arah Giran.
“Terima kasih, Bang.” Kata-kata itu memang simpel. Tapi sesungguhnya menyimpan nilai kekaguman yang sekaligus makin membuatnya penasaran dengan sosok Giran.
Siang itu terik. Namun terasa teduh bagi Giran. Di bawah pohon mahoni yang berada tak jauh dari sungai, Giran duduk disamping Miyat. Diselingi suara gemericik sungai dan gesekan ilalang diterpa angin. Perasaan indah itu menyelinap perlahan.
Mereka berkenalan.
“Namaku Giran. Asli kampung sebelah. Tiga hari ini abang tinggal di rumah paman. Mumpung libur kerja.”
“Libur akhir tahun, ya, Bang?”
“Iya. Akhir tahun selau menyenangkan. Ibarat berada di sebuah jembatan menuju negeri yang baru. Ada janji-janji kehidupan yang lebih baik di depan sana. Muncul harapan-harapan. Rasa syukur juga membuncah, sudah setahun terlewati dengan berbagai harapan yang berhasil dicapai.”
“Abang kerja dimana?”
“Di Pusat Kota. Oya, kau belum mengenalkan namamu?”
“Aku kira Abang sudah tahu namaku,”
“Tahu dari mana? Kau belum mengatakannya,”
“Abang tidak memperhatikan lelaki yang tadi bilang bahwa setiap hari aku pasti kesini,”
“Oh iya, abang lupa. Benarkah tadi dia menyebut nama kau? Dan, eh, memangnya siapa lelaki itu?”
“Dia saudara sepupuku, Bang. Namaku Miyat.”
“Benarkah setiap hari kau kesini, Yat?”
“Benar.”
“Kenapa kemarin kau bilang hanya sesekali saja?”
“Tidak apa-apa, Bang. Nanti kalau aku bilang setiap hari, pasti Abang tidak percaya,”
“Abang memang tidak percaya kalau kau setiap hari kesini. Kenapa kau tidak menyuruh saudara lelakimu untuk mengambil air disini. Astaga. Kau perempuan, Yat.”
“Setiap hari kebun kami perlu diairi, Bang. Sedangkan aku tak punya saudara lelaki. Kami tiga bersaudara, perempuan semua. Ibu sudah tua, ayah meninggal lima tahun lalu. Tak mungkin aku suruh adik-adikku mengambil air. Fisik mereka tidak seperti aku, Bang.”
“Kau tidak sedang terburu-buru pulang, kan, Yat?”
“Tidak, Bang. Oya, apakah Abang tahu, malam nanti di lapangan kampung ada perayaan tahun baru? Seru, Bang! Ada pesta kembang api, mercon, dan atraksi musik tradisional.”
“Oya? Nampaknya kampung kau ini lebih meriah daripada kampungku. Di kampungku, malam tahun baru tidak diadakan acara yang dirayakan seluruh warga, hanya kelompok-kelompok kecil masyarakat saja,”
“Nanti malam datang, ya, Bang.”
Giran mengangguk. Tentu. Mereka berpisah. Untuk bertemu kembali nanti malam.
31 Desember, malam tahun baru 2003
Langit berkilau dengan kembang api. Sunyi malam pecah dengan suara mercon dan sorak-sorai. Alunan musik dan bunyi-bunyian tradisonal menambah kemeriahan. Di tengah kerumunan masyarakat yang bersuka cita, dua anak manusia tengah berjalan beriringan.
“Besok Abang kembali, Yat. Tapi Abang senang bisa bertemu kau.”
“Secepat itukah, Bang? Biasanya kapan saja pulang dari kota, Bang?”
“Tanggal dua Abang harus sudah sampai kota, Yat. Abang pulang setahun sekali, kalau akhir tahun begini. Doakan saja, semoga kelak kita masih bisa bertemu,”
Langkah kaki mereka terhenti. Giran dan Miyat saling berpadangan. Tak ada kata-kata memang. Tapi hati mereka bisa saling mendengar, membaca, dan meraba perasaan indah yang bergetar-getar.
Setahun berlalu. Tiba lagi di ujung putaran hari-hari.
31 Desember 2003
Siang itu Giran meluncur ke rumah pamannya. Setelah setengah jam berbincang-bincang. Giran segera menuju Kali Cadas. Setahun cukup membuat rindunya bertumpuk-tumpuk. Ia berharap bertemu Miyat. Seperti setahun lalu, di hari yang sama, ia terkenang betul detik-detik indah itu. Nampaknya Kali Cadas akan menjadi bagian cerita indah dalam kehidupannya.
Langkah Giran terhenti di bibir sungai. Tak ada Miyat. Hanya dua orang lelaki, satu diantaranya bersiap meninggalkan bibir sungai karena semua jerigennya sudah terisi. Seorang lelaki yang masih berada di sungai berseru saat melihat Giran.
“Woiiiii, apakah kau Giran? Lelaki dari kampung sebelah?”
“Iya, Bang. Aku Giran,”
“Kau pasti sedang menunggu Miyat, bukan? Tenang, sebentar lagi dia juga datang. Kau terlalu cepat kesini, Giran.” Lelaki itu terkekeh. Giran sudah mengira lelaki itu adalah saudara sepupu Miyat. Apakah Miyat telah banyak bercerita tentangku kepada saudara sepupunya itu?
Benar. Suara langkah kaki menginjak kerikil di sepanjang setapak terjal tertangkap telinga Giran. Lelaki itu membalik badannya. Miyat muncul, raut wajahnya datar. Sesekali tangannya menyeka rambut yang jatuh di kening. Saat langkahnya sampai di ujung setapak yang mengarah ke bibir sungai, Miyat baru tersadar ada seorang laki-laki yang sudah setahun ini ia cemaskan.
Senyum Miyat merekah, meski akhirnya kepalanya tertunduk, malu. Giran mendekati Miyat. Suara siulan menggoda dari saudara sepupu Miyat melengking di angkasa. Itu adalah pertemuan indah kedua mereka. Sepuluh detik mereka saling diam. Sibuk mencari kata-kata pembuka yang pas.
“Selamat siang, Yat. Apa kabar kau setahun ini? Masih ingatkah kau dengan Abang?”
“Miyat sehat, Bang. Miyat tidak mungkin lupa. Ya Tuhan...” Miyat kehilangan kata. Gadis itu tergugu. Haru merayapi hatinya.
Siang itu, usai mengambil air berdua, Giran dan Miyat duduk-duduk di bawah pohon mahoni—tempat yang setahun lalu juga mereka singgahi. Suasana indah itu masih terasa sama. Gemericik air sungai yang menerjang batu-batu, berpadu dengan irama ilalang diterpa hembusan bayu. Damai. Mereka bercengkrama, mengurai kerinduan yang tak terkatakan.
Malam harinya, masih sama seperti tahun lalu, mereka kembali menikmati perayaan malam tahun baru di lapangan kampung. Ditengah kerumunan masyarakat yang tengah bersuka cita, dua anak manusia berjalan beriringan. Langkah mereka pelan menginjak rumput-rumput basah.
“Besok Abang harus balik, Yat.” Giran tercekat.
“Karena tanggal dua harus sudah sampai kota,” Miyat hafal betul terusan kalimat itu.
Mereka tertawa, lepas.
“Yat, tahun lalu, disaat yang sama, Abang meminta kau untuk mendoakan agar kita bisa kembali bertemu. Dan rupanya Tuhan mengabulkan. Malam ini, Abang ingin menyampaikan satu hal lagi. Tidak sekedar harapan agar kita masih bisa dipertemukan. Tapi lebih dari itu, Yat.”
Langkah mereka terhenti. Giran dan Miyat saling berpandangan.
“Malam ini Abang ingin mengikat kau dengan ikatan yang kuat. Agar setahun kedepan, Abang merasa lebih tenang. Karena jika ikatan itu sudah lahir, kau tak mungkin melayang kemana-mana. Karena tali itu ada di genggaman Abang,”
Miyat tersenyum haru. Air matanya luruh tanpa isakan. Kepalanya mengangguk patah-patah. Rasanya ingin sekali ia memeluk Giran—hal yang sama dirasakan oleh Giran, tapi ia sadar, itu belum saatnya.
“Di akhir tahun ini, saksikanlah, Abang meminang kau, Yat.”
Itu perkataan paling indah yang pernah didengar Miyat. Malam itu juga, Giran menyambangi rumah Miyat, bertemu ibu dan saudara dekat lain yang kebetulan sedang berkumpul usai merayakan malam pergantian tahun. Saat keinginan suci itu disampaikan, semua mengangguk mengiyakan.
“Abang pulang dulu, Yat. Terimakasih atas kebesaran hati kau dan keluarga kau. Doakan, tahun depan kita benar-benar bisa menikah.”
Miyat tak mampu berkata-kata. Bibirnya bergetar. Sekujur badannya juga menggigil. Giran ingin sekali mengusap air mata dan memeluk Miyat erat. Tapi urung, itu belum saatnya untuk ia lakukan.
Setahun berlalu. Tiba lagi di ujung putaran hari-hari.
31 Desember 2004
Pernikahan sederhana digelar. Tepat di akhir hari dari 360 hari yang terus berputar. Malam perayaan tahun baru di lapangan kampung, tak lagi dihadiri dua manusia yang sama-sama berhasil melalui ujian cinta selama bertahun-tahun lamanya. Mereka telah membuktikan arti cinta sejati. Kesucian cinta. Dan kesungguhan memelihara nyala cinta itu sendiri.
Giran dan Miyat tengah berada di kamar pengantin. Layaknya dua merpati yang saling berbagi kasih, layaknya kumbang mengecup bunga di taman keindahan, layaknya perahu bergegas menghampiri tepi pantai untuk berlabuh. Purnama menjadi saksi. Gelora asmara bergulung-gulung. Wangian cinta menyerbak harum.
Setahun berlalu. Tiba lagi di ujung putaran hari-hari.
31 Desember 2005
Giran mengajak istri tercintanya pulang ke kampung halaman. Setahun Miyat ikut Giran tinggal di kota. Dan rencananya tahun ini nanti, Miyat dan Giran akan tinggal di sini, di kampung Miyat. Setahun kedepan Giran cuti bekerja di kota. Ia akan nyambi jualan penganan kecil-kecil untuk anak-anak kampung. Semua itu ia lakukan karena sebuah anugerah indah telah Tuhan hadiahkan.
Miyat hamil. Sudah tiga bulan. Giran bertekad kuat, ia akan selalu mendampingi Miyat hingga anak pertama mereka lahir. Giran tak ingin melewatkan hari-hari spesial kelahiran buah cintanya. Giran hanya ingin anak-anaknya terlahir dengan menghirup aroma desa yang damai. Bukan hawa kota yang angkuh dan gersang.
Malam tahun baru. Untuk kedua kalinya perayaan pergantian tahun di lapangan kampung tidak dihadiri dua anak manusia yang teguh memegang kesejatian dan kesucian cinta. Giran mengajak istrinya pergi ke Kali Cadas. Tempat bersejarah mereka. Tempat seperti di mana Adam dipertemukan dengan Hawa. Mereka menembus gelap. Bergandengan menyusuri jalan setapak terjal menuju bibir sungai. Suara letusan mercon terdengar samar. Hanya gemericik air sungai Kali Cadas yang terdengar nyaring berirama tenang.
Dua obor menyala. Seperti cinta mereka yang terus menyala dan pantang untuk padam. Giran menuntun istrinya turun ke sungai. Mereka seperti anak kecil yang kegirangan bermain air. Sekujur badan Giran dan Miyat sempurna basah. Lampu obor makin meredup. Mereka duduk berdekatan di atas sebuah batu di tengah sungai. Tangan kiri Giran merangkul Miyat. Sementara tangan kananya mengelus perut Miyat.
Saat Giran ingin membisikkan kata-kata mesra, suara gemuruh dari arah yang tidak dimengerti tiba-tiba datang membawa arus deras yang menghantam. Air bah itu tak bermata. Ia terus menggelora, menerjang apa saja yang dilalui. Ia tak pernah peduli dengan dua kekasih sejati yang tengah berbunga-bunga itu. Ia dengan ganas melepas rangkulan Giran dari pundak istri tercintanya.
Malam tahun baru itu menjadi catatan merah. Setelah beberapa malam di tahun-tahun sebelumnya menjadi catatan indah.
Angan Giran terputus.
Sampai disini, air mata Giran mulai menetas. Merembes mengaliri pipi. Giran ingin mengusapnya. Tapi urung. Ia biarkan. Matanya menoleh lagi ke arah foto yang tergantung di dinding kayu, lalu mendarat di kalender usang. Tepat menatap angka tiga puluh. Tinggal sehari, tinggal besok. Apakah besok harus aku lakuakan pengulangan-pengulangan itu?
Giran kembali melayarkan ingatannya pada sepotong kisah hidupnya.
Tahun 2006
Sebagian berita awal tahun di koran lokal adalah seputar Giran dan Miyat. Seputar sepasang suami istri yang hilang dan diperkirakan hanyut di Kali Cadas yang tersapu air bah pada malam pergantian tahun. Meski keesok harinya, tanggal satu Januari, jasad Giran di temukan, terdampar di bibir sungai tak jauh dari lokasi lintasan air bah. Giran masih bernyawa. Meski sekujur badannya luka.
Bilangan minggu hampir sebulan, jasad Miyat tidak ditemukan. Perempuan malang itu dinyatakan hilang. Giran pasrah. Meski itu sama saja melumpuhkan separuh nyawanya. Hari-hari di tahun baru yang dulu menjanjikan kehidupan lebih baik, menjadi serentetan perkabungan Giran. Separuh nyawanya benar-benar lumpuh.
Sudah empat tahun berlalu.
Dan setiap kali tiba di akhir tahun, setiap kali menemui malam tanggal 31 Desember, Giran selalu dipaksa larut dalam episode tak terlupakan itu. Setiap tahun selalu begitu. Selalu menumbuhkan hasrat bodoh untuk menyusul Miyat. Sudah empat kali rencana menyusul itu gagal. Sudah empat kali tangan giran selalu gemetar, juga kaki-kakinya. Sehingga pisau yang sudah mengarah di depan ulu hatinya terjatuh. Sehingga seutas tali yang siap mengantarnya pergi ia putus sendiri. Entah. Takdir tak pernah mengizinkan. Atau barangkali memang Tuhan masih sayang pada lelaki itu. Giran pun hanya tergugu sepanjang malam. Sementara banyak manusia yang tengah bersuka cita, tak tahu. Bahwa malam tahun baru bagi Giran, adalah malam penyiksaan yang maha dahsyat. Malam yang selalu mencoba menjadi catatan merah. Bukan cataan indah seperti yang sudah-sudah.
Entah untuk saat ini nanti. Entah untuk besok malam. Kenangan bertahun-tahun itu terputus. Giran terpejam, melesat ke alam mimpi. Bekas air matanya diterpa cahaya lampu ruang sunyi itu.
***
Malam tahun baru 2011
Dengan tangan gemetar, Giran melingkari tanggal 31 di kalender dengan sepidol merah. Ia bergegas keluar rumah. Menyusuri jalan menuju Kali Cadas. Sepanjang jalan kampung terasa sepi. Orang-orang sudah pergi ke lapangan. Tak ada obor yang ia genggam. Ia terus berjalan. Cepat-cepat. Ia ingin menyusul Miyat.
Giran berdiri di atas batu. Arus sungai cukup deras. Tadi hujan mencurah sepanjang sore.
“Hai air bah! Datanglah kau! Lahaplah aku! Aku terlalu bodoh dalam urusan ini. Aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri. Aku sendiri penyebab kematian istriku. Hai air bah! Datanglah kau! Tak ada gunanya pisau dan tali. Empat tahun benda-benda itu tak mau mengantarku agar bisa menyusul istriku. Mungkin memang kau yang berhak, memang kau yang berhak!”
Giran tergugu. Tubuhnya lunglai. Jatuh ke sungai. Arus deras sungai berkecipak. Membusa sejenak. Giran terus memanggil-manggil air bah. Bahkan mencercanya karena tak kunjung tiba. Tak ada orang yang mendengar suara Giran. Semua berkumpul di lapangan desa. Merayakan pergantian tahun.
“Bang! Bang Giran! Apa kau Bang Giran? Bang sedang apa kau di situ, bagaimana kalau air bah itu datang lagi? Bang, ini Miyat, Bang! Ini Miyat! Miyat masih hidup, Bang! Miyat lama tinggal di desa ujung dekat hulu sungai, Bang! Maafkan Miyat baru bisa datang sekarang, Bang! Miyat kira Abang sudah pergi, Miyat kira...”
Giran mengangkat kepalanya. Suara itu sangat dikenalnya. Giran bangkit. Mencari sosok pemilik suara. Karena pandangannya terbatas—langit agak mendung, tak ada cahaya bulan, Giran terus melangkah menuju bibir sungai. Sepertinya suara tadi bersumber dari arah situ. Miyat pasti tidak bawa obor, batin Giran.
“Di mana kau, Yat? Di mana kau?”
Giran mentas dari sungai. Berjalan patah-patah menuju semak belukar di bantaran sungai. Suara Miyat tadi di situ. Giran menebas semak-semak dengan tangannya. Tak ada siapa-siapa. Miyat tak ada. Giran tergugu. Tubuhnya kembali runtuh di atas tanah yang berjarak cukup jauh dari bibir sungai.
Saat itulah, datang air bah yang tadi dipanggil-panggil Giran.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H