sumber: mdpictures.com
Saya tidak akan mereview film Merry Riana. Selain minim keahlian mereview film, saya lebih senang menceritakan pengalaman saya menonton. Jauh-jauh hari saya sudah mendengar film ini rilis. Tidak ada kesan apa-apa. Bagi saya bahkan film ini "dadakan" muncul ke permukaan. Lain dengan film-film lokal akhir tahun yang sebelum rilis sudah ramai diperbincangkan. Atau saya saja yang ketinggalan. Karena diangkat dari buku laris, mungkin penggemar buku Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar (yang ditulis Alberthiene Endah) sudah heboh dengan kabar difilmkannya buku tentang perjalanan hidup Merry Riana tersebut.
Saya pertama melihat trailer Merry Riana di bioskop sesaat sebelum The Hunger Games: Mockingjay 1 diputar. Tidak ada hal menarik saya rasakan. Jika trailer berhasil memancing perhatian, biasanya langsung saya cari di youtube. Film Merry Riana saya abaikan begitu saya. Tidak masuk list film yang ingin saya tonton. Di media sosial, perhatian saya banyak terampas untuk film Assalamualaikum Beijing. Timeline ramai dengan postingan film tersebut. Artikel dan review film adaptasi novel Asma Nadia itu saya baca beberapa. Sama seperti Merry Riana, saya tidak terlalu berhasrat menonton Assalamualaikum Beijing. Mungkin ini lebih parah. Sudah banyak menelan banyak tulisan tentang Assalamualaikum Beijing, tapi belum membuat saya takluk.
Rasa tidak sreg saya dengan film-film lokal akhir tahun, sedikit banyak dipengaruhi rasa kecewa saya usai menonton Supernova. Berbulan-bulan lamanya sebelum rilis, saya menaruh perhatian besar pada perkembangangan filmnya. Saya suka tengok-tengok twitter Sorayafilms. Berharap ada info terkini seputar film adaptasi buku laris Dee itu. Saya pribadi dibuat jatuh hati dengan 2 film produksi Soraya sebelum mereka memproduksi Supernova. Dua kali jatuh hati menjadikan saya percaya, tidak ada film yang tidak bagus dari rumah produksi tersebut. Tapi Supernova mematahkan kepercayaan saya terhadap Sorayafilm.
Hingga tadi siang teman-teman kantor mengajak nobar. Sebagian teman memilih Assalamualaikum Beijing. Sebagian lagi Merry Riana. Akhirnya setelah berunding, sepakat menonton Merry Riana. Saya tidak berharap banyak dengan film Merry Riana. Meski saya tahu, produser film Merry Riana juga pernah memproduseri Ayat-Ayat Cinta dan Habibi Ainun. Dua film lokal yang sukses meraih jutaan penonton. Meski begitu, produser yang sama tidak selalu menjamin film bernasib sama bukan? Jadi, ceritanya saya masih sebelah mata menyikapi film Merry Riana :-)
Karena masuk awal-awal usai liburan, kantor pulang siang. Berangkatlah ke XXI di salah satu mall kota kami. Saat beli tiket, seat sudah penuh setengah. Padahal itu jam pertama pemutaran. Nampaknya film Merry Riana cukup berhasil menyedot minat nonton masyarakat. Minggu kemarin sempat mengunjungi filmindonesia.or.id untuk melihat data penonton film lokal terkini. Merry Riana termasuk sudah mengantongi 200ribuan penonton (minggu ini sudah 400ribuan, nyaris menyentuh angka 500ribu), mengalahkan PTE yang rilis duluan. Dan hampir menyamai jumlah penonton Supernova.
Dan film berjalan. Awalnya saya belum terbawa. Tapi lambat laun saya bisa mengecap lezatnya film itu. Adegan demi adegan mengalir halus. Sangat halus. Alurnya membuat hanyut. Nyaris tidak bisa saya tebak ke mana arah filmnya. Ada banyak kejutan-kejutan, cukup menghentak, memainkan emosi. Setting Singapura digambarkan sesuai porsinya. Beberapa titik memang sering dimunculkan berulang-ulang (katakanlah Marina Bay), tapi tidak begitu membosankan karena tepat penempatannya. Saya rasa, penonton film ini kenyang dengan suguhan lanskap Singapura. Membuat ingin mengunjungi negara kecil itu.
Konflik film ini juga beragam. Membuat saya tidak jenuh. Melihat kover filmnya, terbenak sekilas bahwa Merry Riana adalah film yang mengedepankan kisah percintaan 2 anak manusia. Padahal, bagi saya tema percintaan tidak terlalu mendominasi. Tapi percintaan di film ini berbobot. Tersaji penuh makna. Percintaan yang dewasa dan matang. Saya suka sekali dengan scene Merry dan Alfa menjelang akhir film, adegan mereka berciuman ditampilkan dengan "sopan". Saya mengapresiasi iktikad sang sutradara menjaga ketimuran dan budaya bangsa dalam film besutannya. Saya pribadi memang risih dengan film lokal yang mengeksplor adegan-adegan yang bukan merupakan identitas bangsa kita. Saya rasa, Merry Riana menjadi film istimewa yang membungkus tema cinta dengan bersahaja, tidak berlebihan, namun berkesan.
Tema persahabatan dalam film ini tidak kalah mengesankan. Beberapa bahkan menjadi titik tersulutnya haru. Banyak nilai-nilai persahabatan yang dapat kita jadikan cermin. Juga arti kerja keras, mengalahkan hidup, mengejar cita dan mimpi. Ibarat masakan dengan aneka bumbu, film Merry Riana menjadi sajian lezat, namun juga bergizi. Film ini semakin asyik dengan scene-scene yang memancing tawa. Menjadi pelengkap film, mengusir bosan. Tapi tak lantas membuat penonton kehilangan ruh film. Kesimpulannya, film ini memiliki paket lengkap sebuah tontonan.
Untuk akting pemain, memang baru kali ini saya menyaksikan perform dua peran utama film Merry Riana yang diperankan Chelsea Islan dan Dion Wiyoko. Saya cukup puas dengan akting mereka. Chemistry keduanya terjalin kuat. Artis senior Ninik L. Karim turut meramaikan film ini. Dan yang membuat saya melongo blo'on adalah Merry Riana yang asli ternyata juga ikut main :-)
Satu hal yang bagi saya agak menganggu. Yaitu soundtrack yang terlalu sering diputar. Sama seperti film Tenggelamnya Kapal Van Der Wick di mana lagu Sumpah dan Cinta Mati sering muncul. Meski begitu, ada satu lagu dalam film Merry Riana yang membuat saya jatuh cinta. Judulnya tidak tahu. Tapi sepertinya ada suara Marcell di sana. Tidak seperti film Habibi & Ainun yang memiliki satu soundtrack saja. Film Merry Riana sepertinya menyertakan lebih dari satu lagu tema.
Akhirnya, saya ingin memberikan 8 dari 10 bintang untuk film produksi MD pictures yang diangkat dari kisah nyata ini. Film yang berhasil menipu saya. Acuh saya terhadap film ini akhirnya membuat saya jatuh cinta. Semoga film bermutu semacam ini bisa menduduki box office Indonesia. Di masa-masa mendatang, film-film semacam Merry Riana harus banyak mendapat apresiasi. Produser harus yakin, film berkonten postif, inspiratif—bahkan meski membelok dari mainstream—tidak akan kalah "menjual" dari film lain yang mengedepankan sensasi tanpa pesan berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H