Mohon tunggu...
Thomas Suwarta
Thomas Suwarta Mohon Tunggu... -

Menjadi manusia pembelajar adalah ikhtiar hari-hariku. Filsafat dan teologi menjadi mata analisisku untuk memaknai realitas.Dengan menulis, aku memaknai realitas, dengan kritik aku menghindar dari pembekuan pemaknaan, dan dengan dekonstruksi, aku menghindar dari 'status quo' kebenaran, yang membuka kemungkinan pada pemaknaan yang baru...masih suka menyanyi, berorganisasi, dan bersosialisasi...terlahir pada 03 Juli 1983..kini sedang menikmati riuh rendah kehidupan kota metropolitan Jakarta...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemimpin Berkarakter Hati Nurani

14 November 2011   10:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:41 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Otober 2011 menandai ulang tahun ke-dua pemerintahan SBY-Boediono; 7 tahun untuk kepemimpinan SBY sebagai Presiden. Tak pelak, kado HUT Ke-2 ini bukannya jadi perayaan syukur, tetapi jadi aksi kutuk dengan sejumlah aksi demontrasi. Tak hanya di Jakarta, tetapi juga di kota-kota besar, bahkan sampai ke Kabupaten dan Kecamatan. Pesannya semua sama: SBY-Boediono Gagal. Konsekuensinya, SBY-Boedino Harus Turun dari jabatan sebagai presiden dan wakil presiden. Di baju para demonstran yang menduduki halaman depan istana negara pada 28/10, tertulis: SBY-Boediono Harus Turun. Enough is Enough.

Ada yang menarik dari aksi protes ini. Terlepas dari ada ada tidaknya tunggangan politik, toh kesadaran masyarakat atas kegagalan SBY-Boediono sangat nyata. Rasa aman masyarakat mulai terusik dengan banyak aksi kekerasan, terutama bom bunuh diri dari kelompok-kelompok radikal. Kebijakan impor kebutuhan pokok masyarakat telah mencekik petani-petani di dalam negeri. Harga beberapa kebutuhan pokok terutama beras melonjak naik, dari yang tadinya Rp 4500 menjadi Rp 8000. TKI di luar negeri masih juga tak mampu diurus dengan baik, sementara pada saat yang sama sang presiden berbangga hati menyatakan pada dunia internasional, bahwa Indonesia adalah negara dengan penegak HAM terbaik. Masih ada lagi. Daerah perbatasan RI dengan negara-negara tetangga dianaktirikan, yang berujung pada pencaplokan. Saudara kita di Papua masih dilihat sebagai kelompok pemberontak daripada kelompok masyarakat yang sebenarnya sedang berteriak kepada pemerintah: “Hey Pemerintah, Kalian dimana, hidup kami di Papua sudah susah. Dikemanakan emas dan burung cenderawasih kami?” Hebatnya lagi, pada saat yang sama, Korupsi makin menggerogoti hampir seluruh pemangku kepentingan publik. Partai Politik dan lembaga-lembaga publik menjadi jembatan dan lahan membajak uang rakyat. Proyek pemerintah atas nama rakyat pun menjadi bancakan.

Makin marah masyarakat, ketika di tengah korupsi yang kian menggurita itu, RI 1 alias Pak Presiden seperti hilang akal untuk menegakkan keadilan. Ada yang sudah nyata-nyata melakukan korupsi tetapi masih saja lolos. Dalih yang sudah biasa: “Kalau terbukti di depan hukum, silahkan saja.” Sementara pada saat yang sama, di tempat-tempat yang gelap sudah terjadi deal politik, untuk mengakali hukum. Alhasil, rasa keadilan masyarakat terlukai dengan sangat karena para koruptor kakap tak kunjung dijerat. Hukum hanya tajam pada masyarakat kecil tetapi tumpul pada para petinggi, terutama petinggi di sekitar pusat kekuasaan. Padahal, jualan pencitraan SBY-Boediono di awal kepemimpinannya adalah memimpin sendiri pemberantasan korupsi. Tentu saja masih ada kondisi lain, yang tidak bisa disebut satu per satu, di mana situasi bangsa sudah tidak lagi ‘nyaman’ sebagai rumah bersama yang memberi rasa aman dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Di sinilah letak afirmasi aksi massa yang menyerukan SBY-Boediono Gagal dan Diminta untuk meletakkan jabatan, bukan nanti di 2014 tetapi saat ini juga, saat rakyat sebagai pemegang kedaulatan menyatakan TURUN. Namun, istana dan Cikeas seperti tak punya telinga lagi untuk mendengar. Antara pura-pura tidak mendengar atau memang sudah factual menderita tuna rungu. Faktanya, tak ada sedikit pun respon balik terhadap aksi protes ini.

Persis ini kondisi pemimpin yang tak lagi punya kepekaan moral; pemimpin yang tak lagi punya telinga hati. Hati nurani sudah tak lagi laku. Karena kalau saja SBY-Boediono punya hati nurani, tentu keiklasan kekuasaan keduanya menjadi jawaban. Sikap iklas adalah sikap berdasarkan hati nurani untuk jujur pada diri sendiri dan rakyat, bahwa SBY-Boediono sudah tak lagi mampu mengurus negara dan masyarakat pada tepian yang lain sudah tak lagi percaya. Sikap defensive tidak selamanya sikap seorang yang berani bertempur dan bertahan di tengah badai. Bertahan adalah sikap seorang pengecut dan lebih dari itu, sikap seorang pembohong yang tak percaya diri. Bohong dengan diri sendiri dan bohong dengan rakyat yang memberikan amanat.

Sumpah pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober dan Hari Pahlawan Nasional setiap 10 November merupakan momentum refleksi mendalam atas kepemimpinan muda berdasarkan hati nurani, lebih khusus lagi hati nurani rakyat. Tak ada yang mampu menjawab sengkarut negara saat ini, selain kembali pada keutamaan moral yang bersumber pada Hati Nurani. Siapkah kader-kader partai mendidik diri jadi pemimpin berkarakter hati nurani? Kalau ini jadi, maka itulah Pahlawan sesungguhnya, yaitu Pempimpin yang Punya Karakter Hati Nurani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun