Generalisasi dalam Penelitian Kualitatif
Dalam penelitian kualitatif, mekanisme pengambilan sampel berdasarkan pola purposif, dengan menentukan struktur sampel berdasarkan ciri khusus sesuai latar belakang permasalahan yang mengacu pada tujuan penelitian. Oleh karena itu penekanan permasalahan akan mengarah kepada kasus-kasus yang menunjukkan ketepatan konteks dalam mencari makna di balik fakta yang muncul di permukaan.
Penelitian kualitatif cenderung menggali permasalahan di balik apa yang terjadi pada sampel dalam bentuk penggalian makna lebih dalam yang bisa saja mencari jawaban atas sebab akibat dari sebuah fakta berdasarkan paradigma interpretif dan fenomenologi yang mengutamakan sesuatu yang sangat penting di balik apa yang tampak oleh kasat mata (fakta umum).
Kualitatif tidak serta merta mengambil kesimpulan dengan cara generalisasi berdasarkan keterwakilan populasi yang ada, apalagi lewat sampel yang terbatas. Oleh karena itu, generalisasi dalam penelitian kualitatif sangat tidak lazim dilakukan.Â
Lebih tegas lagi dijelaskan oleh Pirestone dalam (Polit & Beck, 2010) bahwa generalisasi memiliki tiga bentuk, yakni:
Pertama: Generalisasi klasik yang melakukan generalisasi sampel ke populasi.
Kedua: Generalisasi analitik yang mengembangkan teori sebelumnya sebagai template penelitian sebagai upaya konstruksi teori terbaru.
Ketiga: Generalisasi transferabilitas yang mentransfer kasus ke kasus.
Generalisasi dalam Penelitian Kuantitatif
Dalam penelitian kuantitatif, sampel acak bisa berbicara dalam kerangka menjelaskan sebuah kasus untuk mengeneralisasi populasi yang diwakili oleh sampel. Penelitian kuantitatif bersumber pada paradigma positivistik yang selalu mengukur segala sesuatu pada hal-hal yang tampak (fakta konkrit) yang akhirnya hasil atau kesimpulan akhir akan terlihat berbanding lurus dengan bukti yang ada.
Penelitian kuantitatif memang bertujuan untuk menghasilkan generalisasi sebagai sebuah hasil dari metode pemikiran estimasi berdasarkan pengukuran terhadap fakta yang ada sebagai sampel yang mewakili sebuah menyataan kebenaran yang terjadi atau mungkin terjadi untuk sebuah populasi yang besar.
Berbagai kalangan menyatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia, baik formal maupun informal yang dapat dilihat dari bentuk pola pikir masyarakat, banyak dipengaruhi oleh paradigma positivistik. Demikian juga dengan sikap beragama masyarakat di Indonesia, banyak diwarnai oleh paradigma positivistik, sehingga tak heran kalau cara menilai sesuatu menggunakan kaca mata benar salah atau hitam putih.
Jadi secara efistimologi, generalisasi berdasarkan satu atau dua kasus dalam bentuk sampel acak sangat sesuai dengan prinsip-prinsip ilmu alam yang mana hubungan antara variabel dapat dijadikan sebagai sebuah rumusan yang pasti serta dikaliam sebagai kebenaran atas alasan telah melewati uji hipotesis terhadap populasi berdasarkan jumlah sampel yang ditetapkan.Â
Maka hal inilah yang menjadi kelebihan metode penelitian kuantitatif yang mampu membuat asumsi dari hasil penyederhanaan atas masalah yang kompleks.
Contoh genaralisasi yang biasa kita dengar di Indonesia menyematkan teroris dengan pesantren, sehingga pesantren sering dilihat sebagai sarang teroris.Â
Demikian juga dalam melihat karakter khas sebuah kelompok masyarakat dengan label umum atas perilaku khusus anggotanya, seperti penyematan sifat lemah lembut buat orang Jawa, karakter keras kepada orang Madura dan orang Bugis, dan seterusnya. Umumnya setiap kelompok masyarakat pasti ada saja penyematan lebel dalam bentuk generalisasi.
Label-label umum tersebut juga tentu sangat subjektif, walaupun banyak anggota masyarakatnya yang berperilaku demikian. Maka tak jarang akibat generalisasi subjektif justeru menimbulkan konflik dalam masyarakat.
KL: 19072022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H