Dalam penyesuaian dengan perkembangan konsep ilmu manajemen sebagai ilmu sosial yang konsentrasi terhadap fenomena sosial, ilmu-ilmu eksakta terlihat lebih condong ke aliran positivisme, sementara ilmu-ilmu sosial cenderung menganut paradigma critical theory atau paradigma constructivism.
Paradigma positivisme
Secara sistematis, pemaparan ilmu pengetahuan telah dimulai sejak abad ke-17. Positivisme disebut sebagai paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal, hadir bersama dengan dimensi ontologi, epistimologi, aksiologi, retorik, dan metodologi untuk menjawab berbagai pertanyaan atas fenomena sosial di dunia ini.
Dalam melihat fenomena sosial, fositivisme mengakui realitas tunggal dengan menekankan bahwa pengetahuan harus diperoleh dari fakta-fakta yang dapat diukur dan menepis keras pengalaman-pengalaman subyektif. Lebih tepatnya memperoleh data dari hasil pengamatan empiris, sehingga apa yang dihasilkan dilihat sebagai ilmu sejati.
Paradigma konstruktivisme
Paradigma konstruktivisme memandang ilmu sosial sebagai sebuah analisis yang sistematis melalui pengamatan langsung dan terperinci terhadap perilaku-perilaku sosial dalam masyarakat yang didasari pada pengalaman setiap individu. Disebutkan juga bahwa konstrutivisme hadir untuk mengkritik paradigma positivisme.
Konstruktivisme memiliki kriteria ontologi, epistemologi, dan metodologi. Kriteria ontologi melihat realita sosial sebagai sesuatu yang ada dalam bentuk majemuk. Epistimelogi cenderung menggunakan pendekatan subjektif untuk menjabarkan pengkonstruksian makna individu.Â
Adapun level metodologi, paradigma konstruktivisme menggabungkan hermeunetik dan dialetik. Maka dengan dengan demikian, makna interaksi sosial dapat dicapai dengan maksimal.
Paradigma pragmatisme
Paradigma pragmatisme menggabungkan antara konsep positivism dan konstruktivisme. Tokoh penting pragmatisme adalah Charles Sanders Peirce, James S. Will, John Dewey, dan Arthur F. Bentley.Â
Pragmatisme memberikan kebebasan kepada peneliti untuk memilih metode penelitian yang dirasakan sesuai, bahkan dapat menggabungkan kedua metode dasar tersebut sesuai situasi di lapangan. Sikap seperti ini juga terlihat saat membahas axiologi, metodologi, dan retorika yang selalu pada posisi jalan tengah.
 Demikian juga perihal konsep ontologi, pragmatisme melihat relaitas dalam dua dimensi, bisa tuggal seperti positivism dan bisa juga jamak seperti halnya konstruktivisme.
Dalam melihat permasalahan sosial hendaklah kasus per kasus. Teori-teori yang ada, dengan berbagai kelebihan masing-masing, tentu tetap sangat signifikan untuk permasalahan tertentu, mengingat permasalahan sosial sangatlah luas dan beragam. Yang saya pahami, teori ibarat pisau bedah di ruang operasi. Beda penyakit, tentu berbeda pisau bedah yang digunakan serta berbeda pula cara membedahnya.
Pradigma positivisme melahirkan metodologi penelitian kuantitatif, sementara paradigma konstruktivisme telah mendasari lahirnya metodologi penelitian kualitatif. Masalah sosial yang mencakup berbagai aspek kehidupan, tentu harus diteliti dengan berbagai metode kuantitatif dan kualitatif, atau gabungan kuantitatif dan kualitatif seperti konsep pragmatisme.Â
Oleh karena itu, semua paradigma di atas, tentu sangat mendukung perkembangan ilmu manajemen hingga saat ini.[]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI