"...dalam konteks oksidentalisme, tidak harus mengecilkan diri sebagai orang timur dan memandang barat lebih segala-galanya. Tidak juga menolak  segala hal yang berbau barat, karena oksidentalisme dapat diartikan sederhana tentang cara pandang timur ke barat."
MASYARAKATÂ yang dikategorikan sebagai orang timur, cukup familiar dengan terminologi "orientalisme." Maklum banyak negara di barat dahulunya datang ke timur menebar pengaruh, baik itu untuk berdagang, berdakwah, dan bahkan menancapkan kekuasaan untuk menjajah. Maka munculah istilah gold, glory, dan gospel.Â
Lalu bagaimana dengan terminologi oksidentalisme? Seiring dengan semakin majunya dunia teknologi dan informasi, orang-orang timur semakin pintar, bahkan terbentuk gerakan oksidentalisme.Â
Banyak hal yang bisa dibahas secara ilmiah, namun dalam tulisan ini saya hanya ingin memberikan pengertian sederhana tentang oksidentalisme sebagai cara pandang timur ke barat.
Sebenarnya oksidentalisme tidak melulu berbicara perihal makro dan formal, tetapi apa saja yang dipikir dan dilihat sehingga membentuk persepsi orang timur terhadap barat. Hal yang sangat sederhana, bagaimana orang kampung di Indonesia sangat mengagumi turis "bule," itu sudah menjadi bagian dari cara pandang timur ke barat. Para turis "bule" dilihat identik dengan pintar, hebat, ganteng/cantik, kaya, dan berbagai pujian lainnya.Â
Contoh-contoh tersebut ada benar-salahnya. Terang saja turis-turis yang datang ke pelosok nusantara itu terlihat banyak "fulus" karena mata uang mereka lebih tinggi. Uang untuk beli sepiring nasi di negaranya mungkin bisa membeli lima piring nasi di Indonesia. Maka terkesanlah bahwa turis asing bisa membeli apa saja dengan mudah di negeri kita, sementara orang setempat hanya bisa menonton bak macan tak bertaring.
***
Lamanya bangsa barat berkuasa di negara-negara timur, Â menguras sumber daya alamnya, menjajah fisik dan psikis, membuat mental orang timur ciut duluan saat berhadapan dengan orang barat. Padahal, secara sederhana bahwa orang yang datang menjajah, mengeruk harta kekayaan negara lian, berarti di negara sendiri tidak memiliki persediaan yang cukup untuk membangun infra struktur sesuai kebutuhan negaranya.
Tak heran kalau sarjana Indonesia jebolan perguruan tinggi Amerika dan Eropa dilihat lebih dari sarjana lulusan dalam negeri, karena pikiran kita sudah terperangkap dalam cara pandang tidak objektif.
Diakui bahwa sejak era kolonial hingga sekarang senantiasa berlangsung penelitian besar-besaran oleh orang barat terhadap timur, sehingga membentuk cara pandang barat ke timur yang bisa diistilahkan orientasilme. Sebagai contoh, Clifford Geertz, antropolog terkenal Amerika yang berhasil mem-frame pemikiran orang Indonesia tentang stratifikasi beragama masyarakat Jawa dalam konsep santri, priyayi, dan abangan.Â