Seorang teman yang berdomisili di tanah Jawa ngomel-ngomel, dia menyayangkan karakter masyarakat yang cepat terprovokasi saat mendengar informasi atau saat membaca judul berita di medui massa. Menurutnya, orang-orang hanya mendengar sepintas informasi atau baru sekadar membaca judul berita langsung membuat justifikasi sendiri, padahal informasi dan isi berita memiliki arah dan maksud yang berbeda.
Katanya media sosial berpotensi besar menjadi wadah beredarnya berita palsu karena sering berasal dari sumber yang tidak valid berbanding berita di media massa arus utama. Sebenarnya hal ini juga punya alasan karena berita benar sudah bercampur baur dengan berita palsu sehingga masyarakat sulit untuk memilah-milahnya.Â
Setahun silam saya menulis artikel tentang banyaknya pekerja migran Indonesia di Malaysia yang tingkat kualifikasi pendidikannya rendah. Seorang pekerja migran mencak-mencak berkomentar kalau penulis tidak tahu persis kondisi pekerja migran dan tidak berpihak kepada mereka. Intinya dia tersinggung. Kalau memang demikian faktanya mengapa harus tersinggung? Â
Membaca komentar tersebut saya tersenyum saja. Masalahnya saya tahu persis isi artikel tersebut berpihak kepada buruh migran karena memberikan solusi dan mendorong pekerja migran untuk menuntaskan wajib belajar mereka lewat jalur program paket kesetaraan. Bahkan mendukung mereka selama di perantauan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi melalui kuliah online di Universitas Terbuka (UT).
Sampai di sini kira-kira di mana letak titik salahnya?
Baru-baru ini saya membaca artikel yang intinya ada masyarakat yang menolak penguburan jenazah yang terinfeksi Covid-19 di pemakaman area perkampungan mereka. Pertanyaannya kalau jenazah tersebut tidak boleh dimakamkan lantas mau diapakan? dibuang ke laut? Dibakar? Dibekukan? Permasalahan sederhana tetapi sengaja dipersulit.
Sebenarnya masalah ini simpulnya sama dengan kasus di atas, yakni ketidaktahuan masyarakat dan mereka yang telah terprovokasi oleh kabar bahwa virus yang ada pada mayat bisa menular kepada warga sekitar makam. Konsep menguburkan jenazah salah satunya supaya tidak timbul hal-hal negatif seperti virus yang ada pada mayat tidak tertular ke yang hidup. Oleh karena itu harus segera dikuburkan agar virus dapat ikut musnah di dalam tanah.
Dapat disimpulkan bahwa faktor orang cepat "ngegas" atau terprovokasi apabila mendapat berita tertentu, tak lain karena tingkat literasi yang masih rendah. Apalagi kita tidak terbiasa dengan teknik membaca cepat. Literasi kita masih berkutat pada tataran mendengar dan membaca teks saja, tidak terbiasa menganalisa situasi yang berkembang.Â
Literasi tidak hanya melulu pada mendengar, membaca teks, dan menulis saja. Lebih parahnya, dalam literasi dasar kita terbiasa membaca dengan mengeja setiap kata demi kata dalam kalimat. Sebuah pola membaca yang berat, membutuh waktu lama, dan tentu tidak menyenangkan. Makanya jangan heran kalau masyarakat kita cenderung malas membaca. Oleh karena itulah model infografis lebih diminati dan cepat dicerna oleh masyarakat berbanding menyodorkan berita berupa artikel.Â
Dalam berbagai laporan disebutkan bahwa tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat jauh di bawah, yakni nomor dua paling rendah di dunia. Dalam jurnal yang ditulis oleh I Made Ngurah Suragangga dan diterbitkan oleh Intitut Hindu Dharma, Denpasar, Bali disebutkan bahwa dari 65 negara yang diteliti tingkat literasi masyarakatnya, Indonesia berada di urutan ke-64.
Sementara itu, anak-anak dan masyarakat umum di negara lain sudah dibiasakan membaca dengan teknik skimming dan scanning atau berbagai teknik lainnya sehingga proses membaca dan menganalisa informasi menjadi lebih mudah dan cepat serta senantiasa menarik. Oleh karena itulah tingkat literasi di negara lain cukup tinggi dan sudah mencapai tahap yang tinggi.
Jadi kalau ada orang yang marah-marah, cepat ngegas atau cepat terprovokasi dengan sesuatu masalah, padahal itu belum tentu benar, maka jangan bingung apalagi ikut emosi karena memang tingkat literasi kita masih rendah, bung!
Sekadar berbagi.
KL: 14042020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H