Tembang "Lagi Syantik" lantunan Siti Badriah dan suara merdu pedangdut Cita Citata lewat tembang "Sakitnya Tuh di Sini" memekik keras dari sebuah tokoh elektronik di wilayah Pasar Chowkit, Kuala Lumpur. Lagu yang kini lagi booming di negeri seberang itu terdengar saling bersahutan menghibur pengunjung Pasar Chowkit.
Sabtu siang, akhir pekan lalu, udara Kuala Lumpur terasa panas, jalanan macet, warung makan khas Indonesia dipenuhi pengunjung. Setiap akhir pekan kawasan Chowkit pasti ramai, baik warga setempat, bahkan para tenaga kerja asing dari bergai negara sahabat.
Umumnya, mereka datang ke Chowkit untuk berbelanja keperluan harian, seperti bahan makanan, buah-buahan dan rempah-rempah asal Indonesia. Banyak juga di antara mereka datang untuk mencicipi kuliner khas Indonesia seperti somay, lotek, bakso, pecel, rawon, dan juga nasi Padang. Barang Indonesia lainnya seperti jamu, kosmetik, barang tekstil seperti kain sarung, aneka jenis batik, mukena dan jilbab yang senantiasa diminati oleh masyarakat setempat.
Masyarakat Melayu lebih suka memakai sarung dan mukena produk Indonesia. Alasannya karena kualitas tenun dan bordir yang bagus. Oleh karena itu, saat mudik ke tanah air, mereka akan membawa barang secukupnya untuk dijual kepada kenalan masing-masing di Malaysia.
Kalau kain batik Indonesia memang dilarang keras masuk ke Malaysia untuk menjaga pasar produk batik setempat. Hal ini masuk akal demi melindungi produk dalam negeri sendiri.
Terkait harga barang di Chowkit sama saja dengan pasar di kawasan lain di Malaysia. Tapi kalau dibandingkan dengan harga di Indonesia, tentu jauh lebih tinggi karena menyesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat negara setempat. Misalnya Sarung Cap Atlas di Pasar Blok M, Jakarta dengan harga 75 ribu rupiah, di Chowkit dijual dengan harga RM38 (sekitar 130 ribu rupiah).
Pasar Chowkit terkenal serba Indonesia: mulai dari pedagang hingga barang yang jual hampir semuanya ala Indonesia. Kabarnya penguasa atau preman Chowkit juga orang Indonesia. Tak heran kalau media Malaysia menyebut kawasan itu "Mini Jakarta."
Kalau di tempat lain di wilayah Semenanjung Malaysia tidak ada tukang parkir liar, di Chowkit ada tukang parkir liar layaknya di Indonesia. Hanya saja bedanya kalau di Indonesia harga parkir cenderung ditentukan, kalau di Chowkit terserah kita mau bayar berasa saja akan diterima. Tidak bayar juga tak akan marah karena mereka sadar beroperasi secara ilegal.
Memasuki Pasar Chowkit seolah-olah kita berada di sebuah pasar di Indonesia, bisa lupa diri kalau sedang berada di Kuala Lumpur. Di setiap gerai barang tekstil misalnya, sang penjual berketurunan Minangkabau, Batak, dan Aceh akan menawarkan kita beraneka produk Indonesia.
Pasar Chowkit cukup santer di kalangan warga Kuala Lumpur dan sekitarnya. Siang malam, nadi bisnis terus berdenyut. Dari bisnis halal hingga bisnis terlarang seperti ganja dan barang curian. "Tak lengkap rasanya kalau tidak ada bisnis esek-esek," kata seorang sumber yang enggan disebutkan namanya.
Dari beberapa pengakuan, perempuan pemuas birahi di kawasan itu bukan semuanya berprofesi sebagai pelacur. Di antara mereka juga banyak yang terjerat memasuki kawasan Chowkit karena tertipu sindikat pengirim tenaga kerja.
Mereka terkurung dalam lingkaran hitam bisnis haram sang germo. Mereka ingin lari tapi tentu tak bisa, akhirnya terpaksa merelakan diri jatuh dalam pelukan lelaki hidung belang, walau hati mereka menjerit seperti jeritan Hetty Sanjaya dalam tembang "Aku bukan hidangan" yang terdengar sayup dari sebuah toko elektornik di pinggiran Chowkit. Begitulah suasana Mini Jakarta di Kuala Lumpur.[]
T.H. Salengke
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H