Hubungan Indonesia-Malaysia itu sangat seksi. Kedua Negara bertetangga ini sangat akrab, masyarakatnya pun demikian. Namun sering juga diterjang masalah serta tersulut api dendam kesumat, lalu akur kembali.
Semangat kejiranan, prinsip satu komunitas ASEAN, koitmen Sosek Malindo, kerja sama IM-TGT, latgab militer, dan berbagai bertuk kegiatan bersama yang mengakrabkan hubungan masyarakat Indonesia-Malaysia.
Lalu bagaimana dengan sering munculnya konflik dalam berbagai persoalan sehingga menyebabkan retaknya hubungan kedua negara?
Pekan ini, masyarakat Indonsia dan Malaysia kembali saling cubit melalui media sosial terkait insiden petugas keamanan laut kedua negara saling gertak gara-gara nelayan yang menangkap ikan di perairan negara tetangga.
Tampaknya luka sejarah konfrontasi Indonesia-Malaysia 1965-1966 belum sembuh total. Serangkaian peristiwa klaim batas wilayah, klaim karya seni, dan perlakuan tidak menyenangkan terhadap buruh migran Indonesia seolah-olah menjadi cuka yang disiran untuk memperparah luka lama.
Kalau kita pahami konsep potensi konflik yang disebabkan oleh faktor kedekatan geografis, tingginya volume interaksi masyarakat, perkongsian batas wilayah, kesamaan asal usul budaya dan hal lainnya, maka kita akan memaklumi setiap dinamika hubungan yang cenderung berpotensi konflik.
Kasus yang membelenggu Korea Utara-Korea Selatan, India-Pakistan, Israel-Palestina, Jepang-Cina, dan konflik yang meretakkan hubungan negara-negara bertetangga di Timur Tengah.
Hubungan Indonesia-Malaysia tak ubah hubungan dua saudara kandung yang tentu lebih sering berkonflik bila dibandingkan dengan teman sepermainan atau teman sebaya yang tidak ada hubungan pertalian darah sama sekali. Jadi, sangat kecil kemungkinan Indonesia atau Malaysia akan berkonflik dengan negara yang letak geografisnya jauh di benua lain.
Ada satu hal yang perlu diermati dengan bijak, supaya kita tidak capek sendiri berkoar-koar bak pahlawan kesiangan. Setiap terjadinya insiden yang memicu konflik antara Indonesia dan Malaysia, masyarakat Inonesia lewat media massa akan tersulut cepat emosinya sampai aksi bakar bendera dan lain sebagainya. Sementara di lain sisi, Malaysia sendiri adem-ayem saja, bahkan banyak masyarakat Malaysia yang tidak tahu insiden apa yang terjadi.
Keributan yang dibuat di dalam negeri sebenarnya tidak akan menyelesaikan masalah yang terjadi. Justru akan lebih memperkeruh dan mempersulit proses penyelesaiannya.
Negara kita adalah negara hukum yang berdaulat. Biarkanlah pemerintah dan hukum yang menyelesaikannya. Kita harus fokus membangun masyrakat yang maju dan berwawasan global supaya negara lain tidak gampang mencaplok kedaulatan kita.
Dalam segala hal, Malaysia sangat berhutang budi dengan Indonesia, dan sebaliknya Indonesia juga sangat berhutang budi dengan Malaysia. Coba saja ingat bahwa lebih satu juta migran Indonesia kini sedang mencari rezeki di Malaysia, bayangkan saja kalau mereka dideportasi, bukankah Indonesia akan kelabakan memberikan mereka pekerjaan yang layak?
Saya khawatir kita capek sendiri berkoar-koar mengatakan hal yang tidak baik terhadap Malaysia, sementara pada saat yang sama mereka hanya senyum sinis dan menilai kita sebagai masyarakat yang tidak menghormati kedaulatan negara dan kurang menghormati hukum yang dianut bersama.
Sebagai masyarakat sebaiknya, jangan sampai kita ikut menambah panasnya situasi konflik. Sebaliknya mari kita redahkan dan damaikan agar hubungan kita dalam bernegara senantiasa terjalin mesra dan bisa bekerja sama untuk saling menguntungkan.
Salam komunitas ASEAN.
KL: 11042019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H