Sejak maraknya budaya kampanye di Indonesia, maka sejak itulah kaum perempuan biasa dijadikan objek pemanis dalam kampanye politik. Dalam hal ekspolitasi, tentu bukan saja perempuan, tetapi juga laki-laki tak terlepas dari bentuk eksploitasi dimaksud.
Salah satu bentuk eksploitasi dapat dilihat dari hadirnya artis-artis perempuan yang dangdutan bersama di atas panggung saat kampanye berlangsung.
Persepsi baik dengan hadirnya artis saat berlangsungnya kampanye, tentu agar acara kampanye tidak berlangsung monoton orasi politik, tapi ada selingan hiburan sehingga massa yang digiring ke arena kampanye tidak bosan. Masalahnya pedangdut perempuan tak jarang yang sengaja pemer lekuk tubuh yang seksi.
***
Di lain sisi, artis perempuan yang dijadikan tontonan saat kampanye, jelas dijadikan umpan untuk penarik massa. Hal ini diakui oleh banyak pengamat sosial tanah air.
Keikutsertaan kaum perempuan dalam kegiatan kampanye, berbeda situasinya dengan kelompok organisasi perempuan yang menjadi bagian dari sebuah partai politik atau organisasi kemasyarakatan yang mendukung sebuah partai politik.
Amalan politik sektarian, tak lepas dari beberapa organisasi kemasyarakatan dan keagamaan yang mengelilingi sebuah partai politik untuk memberikan dukungan demi mencapai sebuah hajat politik bersama.
***
Kejadian terbaru pada diri mahasiswi salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta, Vincentia Tiffani yang melamar calon wakil presiden no urut 2 Sandiaga Uno, diketahui merupakan hasil setingan panitia adalah kejadian yang memalukan. Di sinilah bentuk eksploitasi perempuan demi sebuah ambisi kelompok tertentu.
Memang ketika perempuan dijadikan objek eksploitasi dalam kegiatan politik, maka serangkaian pesta demokrasi menjadi lebih semarak, seru dan hingar bingar, namun kesannya tak semestinya akan menjadi baik.
Bila kita berbicara untung-rugi, Tiffani bisa saja untung dan tentu bisa juga rugi. Untungnya bisa dikenal publik secara luas, beritanya viral dimana-mana, bahkan bisa mendapat simpati dan empati dari kubu tertentu sehingga memberikannya pekerjaan yang layak.
Manakala ruginya tentu banyak sekali. Publik akan melihat begitu dangkalnya pengetahuan dan sempitnya wawasan seorang mahasiswi perguruan tinggi yang tinggal di kota besar akan masalah poligami.
Ketika poligami dijadikan "lelucon" oleh seorang perempuan, kesannya akan menjadi hambar dan justru tidak mendatangkan tawa apalagi respek. Bahkan, orang yang bersangkutan akan dinilai murahan.
Dengan demikian, bisa dipastikan Tiffani akan menerima kecaman dari perempuan-perempuan di luar sana, baik dari kubu 01 dan bahkan juga dari kubu 02 sendiri, karena kecaman-kecaman itu sekarang, tak lagi berkaitandengan isu kampanye, melainkan sudah masuk ke ranah gender yang sangat sensitif.
Demikian, sekadar berbagi untuk suksesnya pesta demokrasi Indonesia.
KL: 29032019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H