Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Malaysia di Mata Buruh Migran

18 Maret 2019   14:01 Diperbarui: 18 Maret 2019   20:02 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kantor perwakilan RI setempat merilis angka 2.7 juta orang Indonesia berada di Malaysia (Dok. Berita Harian)

Malaysia bak primadona bagi masyarakat Indonesia di Malaysia. Kaum perantau tersebut, terbukti bisa menempatkan diri dan berbaur dengan masyarakat setempat sejak puluhan tahun silam. 

Pepatah "di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung" benar-benar menjadi perinsip dalam bersosialisasi saat berbaur di negeri orang. Maka dari itulah, orang Indonesia di Malaysia senantiasa mendapat tempat di hati orang Melayu hingga hari ini.

Namun demikian, bukan berarti tidak ada masalah dan konflik. Tak sedikit juga yang kecewa dengan apa yang menimpa mereka di Malaysia. 

Di media massa, sering kita dengar berita-berita tidak enak menyangkut buruh migran Indonesia di Malaysia, baik itu sebagai pelaku kriminal maupun sebagai korban.

Terlepas dari itu semua, sebenarnya banyak hal yang mendukung betapa Malaysia menjadi pilihan utama sebagai tempat untuk mencari rezeki bagi kaum perantau. 

Publik mengetahui, banyak warga negara Indonesia yang sudah berstatus permanent residence (PR). Mereka orang Indonesia yang mendapat hak tinggal dan bekerja di Malaysia tanpa harus menggunakan visa kerja.

Hingga 2019, kantor perwakilan RI setempat merilis angka 2.7 juta orang Indonesia berada di Malaysia. Ini bukan angka yang sedikit karena setara dengan jumlah penduduk satu provinsi di Indonesia. Jumlah tersebut memang merupakan perkiraan kasar, termasuk di dalamnya migran ilegal yang pendataannya di luar kemampuan manusia dan sistem cangih apapun. Ada lima hal yang menjadi penyebab banyaknya orang Indonesia di Malaysia:

Pertama, faktor kedekatan geografis. Untuk mencapai Malaysia, cenderung tidak susah, bisa dengan hanya merogoh kantong Rp 750,000 sudah bisa menikmati layanan penerbangan nyaman dari beberapa kota besar Indonesia ke Kuala Lumpur, bisa juga menikmati penyeberangan kapal cepat dari Batam ke Johor, dari Dumai dan Pekan Baru ke Melaka, dari Tanjung Balai Asahan ke Pelabuhan Klang, dari Tanjung Balai Karimun ke Kukup, Johor, dan bahkan cara ilegal menggunakan jasa calo lewat jalan tikus menggunakan tongkang.

Kedua, situasi yang tetap serasa di Indonesia. Berada di Malaysia belum begitu serasa berada di luar negeri. Ke mana-mana kita bertemu orang Indonesia, asal rajin jalan, kita akan bertemu makanan khas Indonesia, minimal ayam penyet dan bakso. 

Suasana dan rasa Indonesia, terakumulasi di Chowkit, Kuala Lumpur yang bila berjalan di lorong pertokoan area yang menjadi pusat berkumpulnya masyarakat Indonesia di Malaysia, telinga kita akan langsung disuguhi tembang "Lagi Syantik" oleh pedangdut Siti Badriah.

Ketiga, kesamaan adat dan istiadat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh identitas Malaysia sebagai negara Islam sehingga adat istiadat dan konsep menyajikan makanan senatiasa berada dalam koridor jaminan halal.

Keempat, negara berkembang yang sedang giat membangun untuk mengejar ketertinggalan demi mencapai "Visi 2020" sebagai negara maju. Di segala penjuru Semenanjung, Sabah dan Sarawak, gencar membangun infrastruktur, terutama fasilitas transportasi. 

Di Malaysia timur, dibangun proyek mega Trans Borneo, jalan bebas hambatan membentang dari ujung timur hingga ujung barat Borneo, melintasi Brunei Darussalam. 

Di Semenanjung pula, sedang merampungkan pembangunan kereta api Mass Rapid Transit (MRT) fase III dan kereta api berkelajuan tinggi dari ujung utara ke ujung selatan Semenanjung Malaysia hingga ke Singapura.

Kelima, stabil dan kuatnya nilai mata uang Ringgi atas Rupiah, membuat tingginya eksodus buruh migran Indonesia ke Malaysia. Catatan Sidney Jones dalam bukunya "Making Money off Migrants: The Indonesian Exodus to Malaysia" mengupas secara gamblang tentang buruh migran di Malaysia yang walaupun masih kurang observasi karena banyak merujuk dokumen tertulis yang cenderung subyektif.

Malaysia semakin mendapat tempat di mata investor asing. Pada kuarter keempat tahun 2018, dana asing yang mengalir ke Malaysia tercatat naik drastis. Tentu ini sebagai bentuk kepercayaan dunia terhadap pemerintahan "Pakatan Harapan" pimpinan Mahathir Mohammad.

Kesimpulannya, Malaysia jelas memiliki kelebihan bagi buruh migran berbanding negara lain di Asia, Australia, Amerika, Eropa dan Afrika. Di Malaysia, buruh migran bisa kapan saja pulang ke Indonesia bila tiba-tiba rindu sanak keluarga di kampung halaman.

Yang paling penting, kita harus senantiasa berusaha untuk bisa bermanfaat untuk sesama agar pepatah "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," tak sekadar jadi penghias kata. 

Kita juga jangan terus melulu terbuai apalagi takut dengan pepatah "hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri" karena sejatinya kita tidak menginginkan hujan batu walau itu di negeri kita sendiri.[]

Sekadar berbagi
KL: 28032019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun