Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gara-gara Menyingkat Kata

20 Februari 2019   22:11 Diperbarui: 2 Maret 2019   21:45 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Awak Aurora bersama para mahasiswa UT Pokjar Kuala Lumpur. Dok. Aurora.

Masyarakat milenial yang sehari-hari berkutat dengan smart phone, sudah sangat terbiasa dengan mengirim dan menerima pesan. Mereka hidup bak diburu waktu sehingga menulis pun harus singkat dan padat. 

Umumnya orang-orang akan selalu menyingkat kata saat chatting di WhatsApp dan juga di media lain. Bisa dikatakan menyingkat kata itu sebuah keharusan supaya pesan cepat terangkum dan segera sampai ke tujuan. 

Semua orang memaklumi dan bisa memahami maksud yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Artinya menyingkat kata saat chatting, bukan karena malas, tetapi supaya lebih efektif dan  tidak capek mengetik pesan yang panjang.

Hal yang jamak memakluminya, ternyata menjadi larangan keras di grup Aurora, sebuah komunitas menulis yang terdiri dari masyarakat perantau yang bergabung dalam Keluarga Besar Universitas Terbuka (UT) Pokjar Kuala Lumpur.

Akhir pekan lalu, saya berkomentar panjang lebar di WA grup Aurora, saya tidak sadari menulis kata "dulu" yang saya singkat dengan "dl" saja. Alhasil saya harus menjalani hukuman menabur tepung beras di seluruh muka.

Hukuman ini yang pertama kali saya alami, dan berharap ini yang pertama dan terakhir. Anggota-anggota lain ada yang belum pernah kena hukuman, ada yang baru satu kali seperti saya, dan juga ada yang lebih sari satu kali. Seingat saya, anggota lain yang pernah kena hukuman bedak, mas Syarif, mas Abdul Mugni, dan mbk Evi.

((Dok. Aurora)
((Dok. Aurora)
Saat mereka kena hukuman, saya senyam senyum sendiri, tanpa komentari apa pun. Dalam hati berbisik sendiri, jangan sampai saya kena hukuman karena tentu "memalukan" bila foto bedakan muncul di grup, apalagi di medsos. 

Kekhawatiran itu ternyata jadi kenyataan. Saya alpa, lalai dan hilang fokus saat mengetik banyak di grup. Celakanya, anggota lain menyadari pelanggaran itu. Saya tidak bisa mengelak sama sekali dan dituntut untuk segera menjalani hukuman "bedak muka" oleh mereka-mereka yang ingin melihat wajah badut pada malam itu.

Hari itu, saya sampai magrib di kantor, syukur di kantor ada tepung beras sisa goreng tempe ibu-ibu yang selalu masak untuk makan siang hari Jumat. Teman kerja segera membidik kamera ponselnya saat melihat saya menabur tepung ke muka. Teman tersenyum melihat muka saya yang belepotan, saya pun tersenyum karena tidak mungkin cemberut saat bermuka badut begitu.

Saya dan teman-teman menjalani hukuman dengan sportif dan senang hati, bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada diri dan semua anggota bahwa komitmen itu penting. Dengan ini, saya dan anggota lain jadi lebih berhati-hati, lebih berdisiplin dan juga fokus saat melakukan diskusi.

Awak Aurora saat program diskusi. Dok. Aurora.
Awak Aurora saat program diskusi. Dok. Aurora.
Inilah para awak Aurora Wafer yang masih aktif menulis hingga saat ini: Abdul Mugni, Desi Lastati, Dewi Windri Astuti, Dicky Setiyadi Pangestu, Evi Permatasari, Mahfudz Tejani, Pandu Winarsih, Rahman Nur, Syarif Hidayat, T.H. Salengke, Indri, Nur Afifah, dan Diana.[*]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun