Sebuah memori puluhan tahun silam, masa-masa awal sekolah taman kanak-kanan (TK) di desa kelahiran saya--Seloto. Pada hari pertama, anak-anak lingkungan usia lima tahun, beramai-ramai datang ke balai desa, mereka diantar oleh orangtua masing-masing. Tak terkecuali saya yang juga ditemani ibunda tercinta.
Di hari pertama, seperti biasa adalah hari perkenalan. Setelah itu sekadar nyanyi-nyanyi dan bermain.
Di hari kedua, tak jauh berbeda dengan suasana hari pertama, hanya saja tidak ada sesi perkenalan. Selama di kelas, guru laki-laki hanya mengajak kami bernyanyi. Setelah sesi pertama, usai istirahat, kami diajak ke lapangan bermain-main, tak ubah dengan permainan yang biasa saya lakukan di luar waktu sekolah bersama teman-teman sebaya.
Pada hari ketiga, aktivitas di sekolah sama persis dengan hari kedua. Saya mulai bosan dengan rutinitas tersebut. Saya mulai berpikir untuk berhenti sekolah. Saya sampaikan niat ini walau resiko akan dimarahi. Ternyata orang tua mengakomodir alasan saya yang tidak lagi mau sekolah karena hanya bernyanyi dan bermain.
Karena enggan sekolah di TK, saya jadi tidak punya kegiatan, juga tidak ada hiburan, teman-teman sepermainan semuanya pada sekolah, baik di TK maupun SD. Saya harus sekolah!
Saya coba beranikan diri minta masuk SD ke ibu dengan sedikit mengancam kalau tidak dimasukkan ke kelas satu SD, maka saya tidak mahu bersekolah sampai kapan pun. Ibu jadi risau dengan tingkah saya, masalahnya saya belum cukup umur untuk diterima di sekolah dasar. Ibu mencoba bicara kepada kepala sekolah SDN Seloto, alhamdulillah saya diterima dengan status "barola" atau diikutkan saja sekadar belajar tanpa diperhitungkan keaktifan seperti murid-murid lainnya yang resmi bersekolah.
Pada hari pertama sekolah di SD, saya tidak diantar orang tua, karena dekat, saya berangkat dengan teman sepermainan yang kebetulan memang kelas satu SD.
Saya bersekolah dengan baju bebas, tidak punya nomor stambuk, namun setiap hari masuk dalam absensi kelas. Saat itu saya bertekat untuk rajin dan serius belajar. Tidak boleh berontak, saya tidak ingin hilang kesempatan bersekolah karena tentu akan hilang kesempatan saya bermain-main dalam suasana sekolah dengan teman sebaya.
Di hari pertama sekolah, dengan bekal satu buku tulis dan sebatang pensil, saya menulis, menirukan apa yang guru tulis di papan dengan kapur tulis yang berdebu. Tulisannya...
Ini Budi
Ini bapak Budi
Ini ibu Budi
Tiga kalimat itulah yang sangat berkesan hingga ke hari ini.
Saat itu, saya dapat nilai 100 dan tanda tangan guru yang mengajar. Girang rasanya bisa menulis, walau yang saya tulis itu belum bisa saya eja ata lafazkan dalam bacaan. Hari itu saya hanya mengikuti guru dan teman yang melafazkan apa yang tertulis di papan.
Saya pulang sekolah langsung perlihatkan tulisan dan nilai yang saya peroleh di sekolah. Ayah dan ibu memberikan pujian. Saya jadi semakin semangat sekolah dan rajin belajar.
Alhamdulillah, walau status murid “ikutan” gara-gara bersekolah belum cukup umur, tetapi berkat kesungguhan dan dorongan orang tua yang senantiasa mendampingi saat belajar di rumah, saya berhasil memperoleh nilai tertinggi saat ulangan catur wulan. Saya diumumkan meraih juara satu kelas dan mendapat hadiah buku serta alat tulis dari sekolah. Demikian prestasi yang saya raih secara berturut-turut selama tiga catur wulan. Oleh karena itu, walaupun saya belum cukup umur, saya tetap dinaikkan ke kelas 2 SD. Inilah hadiah paling berarti bagi saya yaitu diakui masuk dan naik ke kelas dua bersama teman-teman lainnya.
Saya yakini, selama ada kemauan, pasti ada jalan untuk meraih hasil yang memuaskan.[]
Sekadar berbagi di hari Selasa yang mendung.
KL: 20012019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI