LALU LINTAS laut menjadi primadona bagi negara kepulauan, apalagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah lautnya luas dengan hasil laut yang tinggi, maka disebut sebagai negara maritim. Â
Saat berkesempatan menyisir perairan Indonesia dengan kapal perang Indonesia, rasa bangga dan berdecak kagum akan keindahan Indonesia dan juga sumber daya alamnya yang luar biasa berlimpah ruah.
Bayangkan saja, hasil kekayaan alam Indonesia dari luas wilayahnya 1,904,569 kilo meter per segi yang terdiri dari 17,504 buah pulau dengan bentangan garis pantainya 54.716 km yang apabila dikelola dengan baik dan jujur, maka cukup untuk mensejahterakan rakyat yang menempati urutan keempat terbanyak di dunia.Â
Penduduknya yang multikultur, meyoritasnya berinteraksi dalam berbagai keunikan tersendiri dari satu daerah ke daerah lainnya menggunakan jasa transportasi laut sehingga budaya maritim mendominasi khazanah budaya Indonesia, maka tak heran kalau Indonesia dijadikan sebagai poros maritim dunia.
Lebih menarik lagi, peran dan posisi Indonesia di Selat Melaka, lalu lintas laut nomor dua tersibuk di dunia setelah Selat Hormuz di Teluk Persia ini membuat NKRI serasa lengkap dan begitu menarik untuk dikelola. Di sini, Indonesia, Malaysia, dan Singapura pernah bekerja sama membangun ekonomi dan sosial budaya wilayah pesisir, lewat Sijori (Singapur-Johor-Riau).
Pertama kali melintasi Selat Melaka pada akhir tahun 1999 yang lalu, saya sudah melihat praktek bisnis "uang tunjuk" di dalam kapal penumpang rute Batam ke Johor. Sejak saat itu, saya merasakan banyaknya permasalahan di perairan yang dikongsikan oleh Indonesia, Singapura dan Malaysia itu.
Hingga hari ini, sudah tidak terhitung lagi berapa kali melintasi selat yang tidak pernah sepi dengan kapal-kapal tanker raksasa yang sarat dengan muatan kargo lintas negara bahkan lintas benua. Apabila kita menaiki pesawat terbang, maka kita akan saksikan deretan kapal-kapal bak antrian semut. Demikian jika kita menaiki ferry maka tak putus-putus kita akan berpapasan dengan kapal-kapal tanker yang besar.
Selat Melaka menyimpan segudang cerita. Saya ingat sekali mengikuti perjalanan KRI Tanjung Nusanive yang penuh membawa warga Indonesia ilegal yang dideportasi oleh pemerintah Malaysia dan juga melakukan investigasi penyelundupan para pelarian (asylum) dari Sri Langka, Afganistan dan beberapa negara konflik lainnya menuju ke Christmas Island dan Gold Coast Island, Australia.Â
Di Selat Melaka juga saya pernah menginvestigasi kasus perompakan kapal tanker yang penuh dengan timah batangan dari Indonesia ke Singapura, tragedi Kapal Vertex yang terbakar saat memindahkan bahan bakar minya (BBM) di tengah laut yang bergelora, dan termasuk kasus tertanggapnya aparat keamanan Indonesia-Malaysia yang terlibat dalam transnational crimedi Selat Melaka.
Publik tau persis berpuluh kali tengggelamnya kapal tongkang penyelundup pekerja ilegal dari dan ke Indonesia-Malaysia. Di selat ini juga berlangsung berbagai kegiatan ilegal (smuggling) seperti penyelundupan senjata api, ganja, prostitusi, dan juga istilah "kapal kencing" yang mencurangi muatan BBM.Â
Selat Melaka senantiasa menjadi bahan perbincangan keamanan dunia karena tingginya ancaman bajak laut (pirate) seperti halnya Laut Karibia. Tak terkecuali Teluk Eden yang terkenal dengan ancaman para perompak yang gahar dari Somalia bahkan peristiwa pengeboman USS Cole dan tangki minyak milik perancis oleh kelompok teroris wilayah Arab-Afrika.