Eksodus masyarakat Indonesia ke Malaysia begitu sangat dinamis, terjadi secara legal dan ilegal melalui beberapa pintu masuk. Keberadaan mereka di Negeri Jiran, sangat dominan dan membentuk kumpulan-kumpulan masyarakat sesuai asal usul (suku) di tanah air.
Dari pintu legal seperti Airport dan Pelabuhan, mereka masuk dengan berbagai alasan seperti tugas dinas, keperluan medikal, belajar, berdakwah, dan melancong untuk berbagai kepentingan, bisa bertujuan sekadar jalan-jalan atau menjenguk keluarga.
Manakala dari pintu ilegal yang biasa disebut sebagai jalan tikus merupakan pintu dilematis hilir mudiknya para migran yang keluar masuk dengan segala risiko dan problematikanya. Pintu ini biasanya digunakan oleh mereka yang memang berniat bekerja secara ilegal karena enggan mengikuti prosedur yang panjang atau calon tenaga kerja yang ditipu oleh agen penyalur.
Yang masuk lewat pintu resmi banyak juga yang jadi ilegal setelah berada di daerah perantauan atas berbagai faktor. Adapun yang masuk ke Malaysia secara ilegal, sudah pasti akan menetap dan bekerja secara ilegal selama perantauan.
Masyarakat Indonesia yang masuk ke Malaysia dari kedua pintu itu nota bene akan menetap di Malaysia dalam jangka waktu yang cukup panjang, bahkan tak sedikit yang berkeluarga dan melahirkan keturunan.Â
Bila ditinjau dari hukum keimigrasian negara setempat, status anak-anak masyarakat Indonesia itu pun beragam. Ada yang legal dan ada juga yang ilegal sesuai status izin tinggal orang tua mereka di Malaysia.
Masalah Layanan Pendidikan bagi Buruh Migran di Malaysia
Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, demikian mafhum bunyi sebuah ayat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, buruh migran yang tidak sempat menuntaskan pendidikan mereka di tanah air dan berhasrat untuk bersekolah di negeri tempat mereka merantau, tentu pemerintah harus berupaya memberikan hak warga negaranya itu.
Demikian juga halnya dengan anak-anak buruh migran yang saban tahun kian tumbuh mencapai usia anak sekolah, tentu mau tidak mau harus difikirkan untuk diberikan hak pendidikan yang merupakan hak dasar yang diamanatkan oleh UUD-45 tanpa disebutkan anak itu berstatus legal atau ilegal.
Sejak Pemerintah Malaysia tidak lagi mengakomodir layanan pendidikan bagi warga negara Indonesia di sekolah milik pemerintah (Sekolah Kebangsaan) atas alasan tidak adanya subsidi bagi siswa negara lain, maka tuntutan untuk menyediakan fasilitas sekolah bagi anak buruh migran semakin tinggi.
Tuntutan untuk bersekolah juga datang dari tenaga kerja Indonesia ilegal supaya anak-anak mereka juga diberikan akses pendidikan selama merantau di Malaysia.Â