Tak sedikit publik Indonesia yang menilai bahwa lewat konten tersebut, Anies berusaha menancapkan dasar pencitraan di hati masyarakat masyarakat Jakarta, baik yang pro maupun kontra terhadapnya. bagi Anies, selama ini terkesan termarginalkan oleh pesatnya arus pembangunan era modernisasi dan globalisasi di tanah Jakarta.
Bahkan banyak yang menyatakan bahwa kalau ditelisik asal usul, antara pendatang dan pribumi yang telah lebur dalam proses asimilasi budaya sejak kota itu bernama Sunda Kelapa. Oleh karena itu, di Jakarta semuanya juga pendatang, termasuk gubernur terpilih Anies Rasyid Baswedan dan Basuki Tjahja Purnama (Ahok).
Untuk itulah dalam artikel sebelumnya, saya minta supaya pembeda antara pribumi (masyarakat asli setempat) dan non pribumi (masyarakat asing setempat) harus lebih disederhanakan sesuai konteks tempat dan kondisi negara yang berpalsafah Pancasila serta bersemboyan Bhinneka Tunggal Ikaagar kita tidak perlu menguras energi mempermasalahkan terminologi "pribumi" yang kini terjebak dalam ranah politik.
**
Bagaimanapun, baik Multatuli maupun Anies, keduanya telah sama-sama menghipnotis publik dengan goresan tangan mereka masing-masing. Multatuli mengguncang dunia lewat Max Havelaar, sementara Anies mengguncang Indonesia lewat selipan kata primbumi dalam orasi politik perdananya saat dilantik sebagai gubernur DKI Jakarta.
Kini secara defacto and dejure Anies Rasyid Baswedan telah terpilih. Maju mundurnya Jakarta berada di tangan Anies dan wakilnya Sandiaga Uno. Maka atas semangat persaudaraan, kebersamaan dalam Bhinneka Tunggal Ika, kita harus memberikan peluang mereka berkiprah, mendukung dengan sportivitas yang tinggi, dan bersama-sama mengawal mereka berdua agar tidak tergelincir dari rel harapan masyarakat Jakarta, karena kita tidak ingin Anies menjadi Multatuli yang gagal di Lebak, Natal, dan Ambon sebagai pegawai Hindia Belanda. (*)
Sekadar berbagi
KL: 19102017