Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terminologi "Pribumi" yang Mendadak Tenar

18 Oktober 2017   10:29 Diperbarui: 19 Oktober 2017   11:18 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari Balaikota, Senin (16/10) yang lalu, kata "pribumi" mencuat, membahana ke seantero nusantara lewat pidato perdana Gubernur DKI terpilih Anies Rasyid Baswedan. Sebuah kata sederhana sebenarnya, tetapi ia memiliki makna emosional bagi rakyat Indonesia. Terminologi pribumi lah penjajah meciptakan dikotomi masyarakat yang ada di Indonesia saat itu sehingga dapat dilihat lewat batasan peran interaksi antara mereka dengan sang empunya negeri.

Tanpa diungkapkan oleh Pak Gubernur pun, terminologi pribumi tetap memiliki makna diskriminatif yang dengan kebetulan disampaikan secara verbal oleh Anies Baswedan pada saat semua mata yang pro dan kontra tertuju padanya. Dengan demikian, publik menilai pemilihan kata "pribumi" yang dipakai untuk maksud membela masyarakat lokal DKI Jakarta malah sebaliknya telah membuka lembaran sejarah silam bangsa yang sangat pahit yaitu terjajah dan tertindas oleh bangsa pendatang.

Sebenarnya siapa saja boleh membuat istilah khusus dalam melihat sebuah masyarakat dalam bentuk stratifikasi dan juga diferensiasi sosial. Namun demikian, tentu tidak perlu "bermain api" di sekitar masyarakat multi ras, agama dan etnis karena kalau kita saring-saring, sejatinya sangat tipis sekali untuk menunjuk yang mana satu pribumi dan yang mana satu non-pribumi. Jangan-jangan semua yang berdomisili di Jakarta adalah pendatang.

Sejarah Pengelompokan Masyarakat di Indonesia

Sebagaimana disebutkan di atas tadi, bahwa bangsa kolonial telah mengkelas-kelaskan masyarakat Indonesia yang secara kasat mata memang sudah hidup dalam bingkai yang satu walau sejatinya mereka berbeda. Perbedaan itu berpotensi besar terwujud di Indonesia mengingat kondisi geografis wilayah nusantara yang berpulau-pulau.

Coba sejenak kita lihat kelas sosial yang dibuat oleh para penjajah dalam tiga kelompok kelas utama yaitu:

Pertama: Orang Eropa dan keturunannya.

Kedua: Orang Timur seperti Arab, Cina, India yang datang untuk berdagang dan berdakwah.

Ketiga: Orang Pribumi atau penduduk asli yang lahir dan berkembang di Indonesia.

Kita bisa juga cermati bagaimana Antropolog Amerika Cliffort Geertz yang telah mengelompokkan masyarakat jawa dalam bukunya "The Religion of Java" dengan stratifikasi Priayi, Santri,dan Abangan.

Sementara itu, kalau masyarakat Indonesia yang berbicara, maka kelas sosial yang dilihat berdasarkan asal usul, status dan pencapain seseorang pasti akan terbentuk kelas sosial seperti ini sbb:

Pertama: masyarakat pribumi yaitu orang yang lahir di daerah tersebut, sama sekali tidak dikaitkan dengan nama-nama bangsa/etnis lain di luar Indonesia.

Kedua: orang asing yang pada diri mereka yang melekat nama bangsa di luar Indonesia serta tidak diakui sebagai WNI.

Dari tiga contoh pengelompokan masyarakat di atas, saya dengan sangat yakin bahwa semua itu terbentuk, sarat dengan kepentingan dan bahkan cenderung tendensius.

Oleh karena itu, semua yang lahir di Indonesia dan memiliki kartu tanda penduduk Indonesia dalah pribumi Indonesia. Mereka yang non-pribumi adalah mereka yang datang dari luar Indonesia (asing) dan tidak diakui untuk kepemilikan status kewarganegara (KTP). Maka dengan ini terminologi pribumi dan non-pribumi sangat jelas.

Kebehinnekaan dalam Terminologi Pribumi-Non Pribumi

Kita harus senantiasa berusaha merajut kebhinnekaan bangsa Indonesia, dengan adanya falsafah Bhinneka Tunggal Ika, kita akan benar-benar bisa mengakui perbedaan-perbedaan yang ada dan dapat memaknai perbedaan itu dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari untuk merajut persatuan dan kesatuan.

Menagapa harus demikian, karena manusia lahir dengan cara yang sama, lalu tumbuh dan berkembang dengan cara tersendiri sehingga muncullah diferensi faktual yang sama sekali tidak bisa kita sanggah tetapi hanya bisa kita akui dan maknai.

NKRI harga mati tidak akan terwujud kalau petak-petak nusantara yang menjelma dalam keberagaman yang besar ini tidak dijaga dengan penuh semangat persaudaraan.

Mengakhiri tulisan singkat ini dengan ajakan mari bersama rajut petak-petak nusantara supaya masyarakat Indonesia yang berbeda-beda suku, agama, dan bahasa, dalam bingkai NKRI yang utuh. Kita junjung persamaan karena kita datang ke dunia ini dengan cara yang sama, dan akan meninggalkannya dengan cara yang sama.(*)

Salam Bhinnneka Tunggal Ika

KL: 18102017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun