Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Anak Migran Ilegal Kesulitan Bersekolah di Malaysia

10 Oktober 2017   11:22 Diperbarui: 25 Oktober 2022   21:44 1503
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rapat terbatas konsep layanan pendidikan non-formal bagi anak migran ilegal dan pembukaan PKBM pada bulan Januari 2018 mendatang. Dok.Foto/TH Salengke

Eksodus masyarakat Indonesia ke luar negeri, khusus ke negeri jiran Malaysia, tak dapat dipisahkan dengan budaya merantaunya orang Indonesia. Dalam konteks Indonesia, ada unsur kebiasaan merantaunya masyarakat Indonesia ke luar daerah asal. 

Terlepas dari alasan dan tujuan merantau itu sendiri yang dominan untuk meningkatkan taraf eknomi keluarga, tak dapat dinafikan bahwa trend migrasi itu sendiri juga dilihat sebagai satu kebiasaan dan tuntutan sosial bagi kaum lelaki dalam sebuah masyarakatnya.

Pola migrasi orang Indonesia
Tiga terminologi besar mobilitas sosial masyarakat Indonesia yang dilihat dalam konteks perpindahan penduduk secara geografis yakni hijrah, merantau, dan transimigrasi. Yang paling bermasyarakat tentulah kata merantau yang menggambarkan tradisi leluhur yang terjadi secara penuh kerelaan yang sarat dengan nilai yang dianuti namun tidak mengikat dengan norma tertentu.

Hal tersebut di atas diperkuat oleh adanya penilaian kelompok masyarakat terhadap nilai sosial seseorang yang sudah merantau atau yang belum merantau ke luar kampung halaman. Mereka yang sudah merantau---berhasil atau tidak---akan memiliki nilai lebih seperti berani, tangguh, terlatih menghadapi permasalahan hidup, sehingga mereka yang telah merantau akan dilihat lebih siap menjalani tantangan hidup sehari-hari dalam berkeluarga.

Masyarakat yang cukup terkenal dengan tradisi merantau adalah orang Bugis, orang Minangkabau, orang Jawa, dan suku-suku lainnya di Indonesia yang telah membentuk komunitas kelompok yang cenderung memiliki kesamaan asal usul. Oleh karena itulah banyak paguyuban masyarakat Indonesia dari suku kaum tertentu di negara lain seperti Kampung Bugis di Singapura dan Malaysia, Kampung Jawa di Malaysia, Thailand, Tiongkok, dan Suriname. Kampung Kerinci di Malaysia, Kampung Aceh di Malaysia, dan banyak lagi komunitas orang Indonesia yang tidak mengatasnamakan kelompok masyarakat tertentu seperti yang ada di Australia dan Afrika.

Kendala pendidikan anak migran ilegal
Di Malaysia, orang-orang Indonesia dapat dilihat dalam tiga hal terkait status hukum keimigrasian seperti mereka yang telah bermigrasi lama, membentuk komunitas tertentu dan mendapat status Permanent Resident(PR), orang Indonesia yang merantau sesuai ketentuan hukum negara setempat dan mengantongi izin kerja (working permit), dan mereka yang melintasi perbatasan negara secara illegal.

Mereka yang berhijrah ke Malaysia secara ilegal, tentu menimbulkan banyak permasalahan terkait penempatan, perlindungan, dan pembinaan termasuk anak-anak mereka yang sudah mengijak usia sekolah yang terkendala secara de-facto dan de-jure.

Dari hasil pengamatan sederhana selama ini, anak para migran ilegal menghadapi bermasalah terkait layanan pendidikan karena tidak diterima masuk di Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN) yang ada di Kuala Lumpur, Johor Bahru, dan Kota Kinabalu. Namun demikian, mereka yang menginjak usia sekolah harus diberi layanan pendidikan karena pendidikan bagi warga negara merupakan hak dasar yang mutlak diperolehi.

Mensikapi hal tersebut, Perwakilan Ri di Malaysia membuka secara resmi Pusat Kegiatan Belajar masyarakat (PKBM) di Klang, Selangor, Community Learning Center (CLC) di seluruh perkebunan kelapa sawit wilayah Malaysia Timur yaitu di Sabah dan Sarawak.

Selama ini, layanan pendidikan bagi anak-anak migran Indonesia yang ilegal giat diselenggarakan namun belum digaungkan secara resmi di bawah perlindungan Perwakilan RI setempat, sehingga masih terkesan kucing-kucingan.

Menyikapi hal tersebut, semua pihak sebaiknya melakukan komunikasi intensif supaya bisa menemukan titik terangnya dalam memciptakan mekanisme layanan yang bijak supaya tidak mencederai aturan hukum negara setempat tetapi masyarakat Indonesia tetap bisa mendapatkan hak dasarnya untuk mengenyam pendidikan sebagaimana diundangkan dalam UUD-45.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun