Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Nasib Kurdistan Setelah Tujuh Puluh Dua Jam

3 Oktober 2017   17:09 Diperbarui: 3 Oktober 2017   22:27 3068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sinar matahari pada Kamis sore pekan lalu, masih terasa sangat menyengat di Erbil, pusat administrasi pemerintah wilayah semi otonomi Kurdistan, Irak Utara. Semua masyarakat Kurdi tampak bergairah karena tekun mendengar perkembangan hasil referendum kontroversial yang digelar Senin (25/7/2017) oleh pemerintah yang diketuai oleh Masoud Barzani.

Seperti yang saya sebutkan dalam artikel sebelumnya, referendum berarti awal kemerdekaan Kurdistan karena logikanya pasti semua orang ingin merdeka dan lepas dari kekuasaan pihak lain untuk mengurus wilayahnya sendiri dengan mandiri tanpa tekanan dari pihak manapun. Baca juga artikel "Saat Kurdi Menentukan Nasib Sendiri".

Kamis (28/9/2017), Komisi pemilihan mengumumkan 92% dari 3,3 juta orang Kurdi dan non-Kurdi yang telah memberikan hak suara, mereka mendukung upaya berpisah dari Irak. Secara terperinci disebutkan bahwa 2.861.000 orang telah memilih "ya" untuk merdeka dan 224.000 telah memilih "tidak". Jumlah pemilih adalah 72,61% di antara yang berhak memilih. Sementara yang lainnya tidak memberikan hak suara.

Dok. Krg.us
Dok. Krg.us
Tampaknya Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi tidak pernah berubah pikiran, tetap berpendirian tegas menentang sikap pemimpin Kurdi Masoud Barzani yang kekeh mengumumkan hasil referendum walaupun ditentang keras oleh banyak negara termasuk PBB. Barzani mencoba meyakinkan Baghdad bahwa setelah berlangsungnya referendum kemerdekaan, akan menempuh jalur dialog walaupun mereka sendiri sadar jalan untuk mencapai "kemerdekaan" masih sangat panjang dan berliku.

Merespon sikap Masoud Barzani dan pendirian rakyatnya yang mayoritas memilih pisah dengan Irak, parlemen Irak merekomendasikan kepada Haider al-Abadi untuk menghadapinya dengan kekuatan militer.

Sebelum berlangsungnya referendum, PM Irak mengajak pemimpin Kurdi Masoud Barzani untuk berdialog tetapi ditolak mentah-mentah. "Tidak ada dialog sebelum refendum," tegas Masoud Barzani sebagaimana dikutip oleh berbagai media internasional.

Sikap keras Masoud Barzani dibalas oleh PM Irak sebelum pengumuman hasil referendum yang nyatanya memihak kepada kemerdekaan Kurdistan. Dalam sebuah pidato resminya Abadi bersikeras bahwa dia "tidak akan pernah berdialog" mengenai hasil referendum dengan pihak Kurdistan Regional Government (KRG).

Peta wilayah Kurdistan yang berwarna merah.
Peta wilayah Kurdistan yang berwarna merah.
Penentangan dunia internasional
Terlepas dari apapun niat negara seperti, Irak, Turki, Suriah, Mesir, Rusia, Amerika, Inggris, dan juga PBB yang menentang dengan keras referendum tersebut. Turki secara resmi menyatakan sikap bahwa tidak akan pernah mengakui hasil referendum Kurdistan. Pada artikel sebelumnya sudah saya sampaikan alasan Turki yang khawatir munculnya penentangan serupa dari warga Kurdi yang ada di negaranya.

Memang secara de facto masyarakat Kurdi sudah menyatakan memilih merdeka, tetapi secara de jure, parlemen negara induk menolak dan menyatakan tidak sah. Negara tetangga semuanya mengatakan tidak sah, termasuk Amerika dan PBB. Sebenarnya  masyarakat internasional sangat menyayangkan sikap Kurdistan yang memilih refendum karena dinilai sangat berpotensi untuk mencuatnya konflik baru di daerah yang dijadikan program stabilitas keamanan paska pertempuran melawan ISIS.

Panjangnya daftar negara yang menolak referendum Kurdistan, tentu akan melemahkan posisi Kurdistan dalam menempuh jalan dialog dengan Baghdad dan PBB. Situasi tersebut akan membuka jalan yang seluas-luasnya bagi negara yang berkepentingan untuk melakukan invasi militer terhadap Kurdistan baik itu dilakukan oleh Irak sendiri ataupun negara-negara yang telah menentukan sikap menentang seperti Amerika dan Turki.

Konflik di Negeri 1001 Malam itu rupanya tak akan kunjung berakhir, malah akan membuka lebar konflik baru, minimal ancaman embargo dari negara tetangga untuk wilayah yang selama ini dikenal sangat kaya minyak itu. Bagi Irak, Kurdistan ibarat buah simalakama, apabila tidak dilepas, selamanya akan merongrong keamanan di Irak, tetapi apabila terlepas, hilanglah hak usaha ke atas telaga-telaga minyak yang selama ini membuat tajir rakyat Irak. (*)

KL: 03102017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun