Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Yang Terpasung dalam Stigma Komunis

30 September 2017   21:44 Diperbarui: 30 September 2017   22:50 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang diceritakan banyak orang tentang keberadaan dan bahayanya Partai Komunis Indonesia (PKI), saya kemudian mencoba membaca beberapa literatur yang mencatat banyak hal terkait komunis di Indonesia sebelum dan paska tragedi berdarah G30S/PKI, membuat saya jadi tertarik untuk menaganalisanya namun secara ringan-ringan saja.

Ketika banyak orang melihat sisi kekejaman dan bahayanya PKI/Komunis, saya cenderung teratarik melihat orang-orang yang tidak tahu menahu tentang ideologi komunis tetapi dilabel komunis seperti anak-cucu aktivis PKI yang "belum tentu" sepaham dengan ideologi pendahulunya itu, nyatanya turut menanggung beban yang amat sangat berat--dan mungkin--akan berlanjut sampai beberapa turunan kedepan.

Sewaktu saya duduk di bangku sekolah menengah, saya diberitahu oleh teman bahwa anak-anak dan cucu orang yang pernah terlibat dengan Partai Kmunis Indonesia (PKI) tidak boleh bersekolah, tidak boleh jadi pegawai negeri, tidak boleh ini dan tidak boleh itu, kemudian seterusnya.

Saya hanya heran mengapa begitu kuat stigma komunis menancap pada diri keturunan aktivis PKI? Apakah pasti ideologi kakek akan sepaham dengan cucunya? Kalau "iya," saya pikir wajar harus dilekatkan stigma itu dan tidak boleh diberikan kesempatan untuk bergeming sedikitpun untuk bergerak apalagi berpolitik. Akan tetapi kalau "tidak," maka kita telah memasung anak bangsa untuk meraih hak dasarnya mendapat pendidikan yang layak untuk berkarya di negerinya sendiri.

**

Apabila kita analisa film G30S/PKI yang akhir-akhir ini santer disebut-sebut dengan nonton bareng masyarakat serta membaca berbagai catatan yang muncul sejak terbitnya Supersemaryang berisi mandat untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang, terhitung sejak 12 Maret 1966. Maka sejak itu sudah dimulainya gerakan "Ganyang PKI dan antek-anteknya" yang dipimpin oleh Suharto.

Ketika gerakan tersebut dinyataka berhasil dan PKI sudah tumpas sampai ke akar-akarnya, berarti Indonesia bisa dikatakan bersih dari ideologi komunis. Lalu bagaimana dengan kekhawatiran  "bangkit kembali" dan berkembangnya ideologi terlarang, siapapun akan mengakui bahwa ideologi komunis sangat bertentangan dengan Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan agama. Oleh karena itu, sah-sah saja apabila mencuat dimana-mana kekhawatiran menyusupnya ideologi komunis dalam struktur pemerintahan. Dan tak salah juga bila muncul respon antipati masyarakat karena "memang" PKI adalah momok bangsa yang diwar-warkan oleh penguasa dan pelaku sejarah zaman orde baru.

**

Suharto telah berhasil memperlihatkan kehebatannya dalam situasi genting lewat mandat Supersemar dan kemudian diabadikan oleh Arifin C Noer lewat film G30S/PKI. Sebuah tayangan propaganda yang memperlihatkan kehebatan Suharto dan orang-orang yang kemudian menduduki posisi penting kabinet era Orde Baru.

Peristiwa kelam sejarah bangsa di akhir era Orde Lama itu sudah berlalu setengah abad lamanya. Selama Orde Baru, anak cucu orang-orang yang dikatakan pernah terlibat dengan PKI tidak mendapat kesempatan untuk berkembang di negeri kelahirannya sehingga banyak yang terpaksa lari ke luar negeri.

Tumbangnya era Orde Baru dan munculnya era reformasi tentu muncul harapan baru bagi mereka-mereka yang selama ini terpasung oleh stigma keluarga komunis. Tetapi harapan itu belum juga menemukan titik terang, tetap terpinggirkan dan terpaku dalam label yang mereka sendiri tidak suka karena tidak seideologi dengan kakek-neneknya dahulu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun