Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Simbol Sosial dan Kegilaan Gelar

28 September 2017   18:08 Diperbarui: 29 September 2017   09:09 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelar akademik dan haji membuat salah kaprah masyarakat awam

Indonesia merupakan salah satu negara yang masyarakatnya sangat suka akan simbol-simbol sosial. Sebab musababnya memang jelas sekali, karena simbol sosial seperti gelar akademik dan gelar agama dapat menjadi kendaraan yang bisa mengangkat status sosial seseorang dalam masyarakatnya.

Coba kita amati bagaimana masyarakat kita mensikapi gelar akademik dan gelar haji, seolah-olah menjadi sesuatu yang fatal kalau tidak tertulis dengan benar gelar akademik dan gelar agama di surat-surat undangan pernikahan atau sejenisnya. Secara tulisan, selalu saya baca ada permohonan maaf di bawah surat undangan yang berbunyi "kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penulisan gelar". Demikian halnya secara lisan, sering saya dengan pembawa acara di sebuah hajat masyarakat, sang pembawa acara (MC) selalu juga saya dengan di akhir acara kata-kata "kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan dalam penyebutan gelar".

Tentu permohonan maaf seperti di atas juga punya alasan yakni pernah ada yang marah-marah atau minimal menegur karena tidak menuliskan gelar pada namanya.

Sejauh itukah kita gila dengan simbol-simbol duniawi? Sehingga banyak yang sering jadi salah kaprah bila simbol kebanggaan diri itu tidak selalu tersematkan dengan nama seseorang. Makanya kata-kata almarhum dan almarhumah bagi orang Islam yang sudah meninggal dunia cenderung menjadi sebutan khusus, tidak lagi bernuansa nada do'a sesuai arti kata tersebut.

**

Dalam waktu yang sudah cukup lama, saya bertemu dengan seorang teman di sebuah kantin kampus terkemuka dan kebetulan sudah kelar studi S3-nya di Negeri Jiran. Dalam canda tawa, saya sebutkan satu nama--kawan kami--tanpa menyebut gelar akademiknya karena saya tidak tahu. Langsung saya ditegur kalau harus panggil DR...karena sudah wisuda dan mendapat ijazah dengan gelar Philosophy Doctor (Ph.D).

Tentu saya iyakan saja keinginannya karena memang tidaklah sulit untuk menyebut gelar walaupun berderet 5 gelar. Tetapi sekali lagi, akan fatalkan apabila tidak menyebutnya dalam kegiatan bukan akademik? Dalam hal menyebut karena menghargai jerih payahnya untuk mencapai gelar terbut iya sah-sah saja, tetapi tidak menjadi suatu yang ganjil apabila tidak ter-sebut-kan gelar itu. 

Demikian juga dengan gelar HAJI. saya khawatir malah akan menjadi pintu riya dengan memasang hurup "H" di depan nama. Panggilan gelar Haji (H) bagi orang muslim yang sudah menunaikan rukun Islam kelima ke tanah suci Mekka memiliki unsur eksklusif berbanding rukun Islam yang lain karena besarnya perjuangan untuk melakukan kewajiban tersebut baik materi maupun non-materi. Oleh itulah seolah-olah ada kewajiban untuk melekatkan gelar Haji pada nama orang tersebut.

Lantas bagaimana dengan orang yang bersyahadat? Bukankah sebuah pengorbanan yang tidak mudah untuk mengikrarkan diri memeluk sebuah agama yang bahkan tidak sedikit orang yang disuir dan tidak diakui sebagai anggota keluarga karena sanggup keluar dari agama asal untuk bersyahadat? Tidak perlukah kita bubuhi gelar"M" di depan namanya sebagai tanda bahwa yang bersangkutan sudah muslim?

Bagaimana seterusnya dengan muslim yang solat? Mengapa tidak dibubuhi gelar "M" untuk Musolli, membubuhi hurup "S" di depan nama mereka yang berpuasa untuk merujuk kata Shaimin/Shaimat, dan demikian juga perlu menulis hurup "M" di depan nama orang muslim yang berzakat sebagai Muzakki.

**

Kegilaan masyarakat Indonesia terhadap gelar akademik dan agama membuat orang berlomba-loma untuk meraihnya. Orang sanggup berhutang memenuhi kebutuhan belanja, menjual harta benda yang terbatas demi untuk berhaji, bahkan orang yang ditinggalkannya di kampung halaman tidak berkecukupan, sementara dirinya mengetahui kewajiban berhaji hanya bagi mereka yang mampu secara fisik dan materi.

Di kalangan masyarakat Sasak-Lombok, gelar haji bukan saja sebatas orang mengetahui bahwa dirinya yang sudah berangkat ke tanah suci, akan tetapi sebutan haji akan merubah status sosial seseorang. Sebagaimana diceritakan oleh rekan saya dari Gerung, Lombok Barat,  orang Sasak yang sudah berhaji sebutan sosialnya akan berubah dari "amak" menjadi "mamik".

Dok.Muslim.or.id
Dok.Muslim.or.id
Para pejabat daerah yang tiba-tiba punya gelar

Memang diakui bahwa gelar menjadi sesuatu yang penting dalam dunia kerja dan pergaulan sehari-hari sebagi sebuah prestise. maklum dunia kita masih terpaku pada kualifikasi akademik untuk bekerja dan kepangkatan berbanding negara lain yang mengutamakan skill atau keahlian untuk menduduki sebuah posisi.

Karena maraknya gelar bodong, tiap saya mengunjungi sebuah daerah, selalu saja ada cerita dari teman ngopi, yang curhat tentang para pejabat daerah yang tiba-tiba memakai gelar akademik tingkat magister dan doktoral. Pasalnya, masyarakat bisa menilai keberadaan para pejabat di daerahnya yang mengikuti perkuliahan reguler akhir pekan dan yang "katanya" online.

Reguler akhir pekan atau online juga harus wajar. tidaklah tiba-tiba dalam kurun waktu yang singkat sudah melekat saja gelar-gelar mentereng di depan dan belakang nama sang pejabat.

Mendengar dan sedikit mengamati curahan analitikal teman-teman di beberapa tempat yang pernah saya temui, sebenarnya pasti punya alasan yang bisa ditarik benang merahnya. Dan logikanya untuk meraih gelar doktoral dengan penelitian ilmiah "disertasi" yang standard saja memerlukan ekstra tenaga dan pemikiran serta waktu yang panjang untuk menghasilkan sebuah riset yang terukur dan teruji.

Karena masyarakat awam sangat gamang dalam mensikapi gelar yang melekat pada diri seseorang, dan pemilik gelar kebelet untuk punya embel-embel nama supaya keren, maka tidak begitu memperhatikan proses dalam menempuh dan meraih gelar yang disandangnya.

Oleh sebab itulah sering kita dengar dalam dunia akademik, aksi oknum jual beli ijazah sarjana, makelar pembuat skripsi dan berbagai karya ilmiah kesarjanaan lainnya serta tindakan plagiarisme ilmiah padahal semua itu merupakan penyimpangan yang tak ubahnya dengan mencuri hak orang lain. Walau susah membendung plagiarisme, tetapi minimal kedepannya kasus plagiat bisa menurun. Semoga!(*)

KL:28092017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun