Mohon tunggu...
T.H. Salengke
T.H. Salengke Mohon Tunggu... Petani - Pecinta aksara

Ora et Labora

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Simbol Sosial dan Kegilaan Gelar

28 September 2017   18:08 Diperbarui: 29 September 2017   09:09 2192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

**

Kegilaan masyarakat Indonesia terhadap gelar akademik dan agama membuat orang berlomba-loma untuk meraihnya. Orang sanggup berhutang memenuhi kebutuhan belanja, menjual harta benda yang terbatas demi untuk berhaji, bahkan orang yang ditinggalkannya di kampung halaman tidak berkecukupan, sementara dirinya mengetahui kewajiban berhaji hanya bagi mereka yang mampu secara fisik dan materi.

Di kalangan masyarakat Sasak-Lombok, gelar haji bukan saja sebatas orang mengetahui bahwa dirinya yang sudah berangkat ke tanah suci, akan tetapi sebutan haji akan merubah status sosial seseorang. Sebagaimana diceritakan oleh rekan saya dari Gerung, Lombok Barat,  orang Sasak yang sudah berhaji sebutan sosialnya akan berubah dari "amak" menjadi "mamik".

Dok.Muslim.or.id
Dok.Muslim.or.id
Para pejabat daerah yang tiba-tiba punya gelar

Memang diakui bahwa gelar menjadi sesuatu yang penting dalam dunia kerja dan pergaulan sehari-hari sebagi sebuah prestise. maklum dunia kita masih terpaku pada kualifikasi akademik untuk bekerja dan kepangkatan berbanding negara lain yang mengutamakan skill atau keahlian untuk menduduki sebuah posisi.

Karena maraknya gelar bodong, tiap saya mengunjungi sebuah daerah, selalu saja ada cerita dari teman ngopi, yang curhat tentang para pejabat daerah yang tiba-tiba memakai gelar akademik tingkat magister dan doktoral. Pasalnya, masyarakat bisa menilai keberadaan para pejabat di daerahnya yang mengikuti perkuliahan reguler akhir pekan dan yang "katanya" online.

Reguler akhir pekan atau online juga harus wajar. tidaklah tiba-tiba dalam kurun waktu yang singkat sudah melekat saja gelar-gelar mentereng di depan dan belakang nama sang pejabat.

Mendengar dan sedikit mengamati curahan analitikal teman-teman di beberapa tempat yang pernah saya temui, sebenarnya pasti punya alasan yang bisa ditarik benang merahnya. Dan logikanya untuk meraih gelar doktoral dengan penelitian ilmiah "disertasi" yang standard saja memerlukan ekstra tenaga dan pemikiran serta waktu yang panjang untuk menghasilkan sebuah riset yang terukur dan teruji.

Karena masyarakat awam sangat gamang dalam mensikapi gelar yang melekat pada diri seseorang, dan pemilik gelar kebelet untuk punya embel-embel nama supaya keren, maka tidak begitu memperhatikan proses dalam menempuh dan meraih gelar yang disandangnya.

Oleh sebab itulah sering kita dengar dalam dunia akademik, aksi oknum jual beli ijazah sarjana, makelar pembuat skripsi dan berbagai karya ilmiah kesarjanaan lainnya serta tindakan plagiarisme ilmiah padahal semua itu merupakan penyimpangan yang tak ubahnya dengan mencuri hak orang lain. Walau susah membendung plagiarisme, tetapi minimal kedepannya kasus plagiat bisa menurun. Semoga!(*)

KL:28092017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun